JATIMTIMES - Ketika Surabaya jatuh ke tangan Mataram pada Mei 1625, desas-desus tentang ekspedisi besar-besaran Sultan Agung ke Blambangan segera menyebar. Encik Muda, seorang pedagang Cina dari Kendal, mengabarkan bahwa Mataram mengerahkan hingga 30.000 prajurit ke ujung timur Jawa. Namun, laporan resmi Belanda pada Oktober tahun yang sama segera membantahnya. Raja Mataram, kendati ambisius, belum menjadikan Blambangan sebagai prioritas utama. Dalam tahun-tahun berikutnya, perhatian istana justru tersita oleh kampanye militer ke barat, termasuk rencana penyerbuan ke Batavia (1628–1629).
Raja Blambangan, menyadari potensi ancaman dari barat, mulai menjalin kedekatan dengan VOC. Pada 24 September 1628, ia secara eksplisit meminta bantuan Kompeni untuk mempertahankan negerinya. Kunjungan Antonio van Diemen pada 1631 mencatat bahwa Raja Blambangan sangat ingin menjalin kerja sama dagang dengan Belanda. Namun, Van Diemen menolak dengan alasan strategis: keterlibatan langsung dengan Blambangan akan memprovokasi Mataram.
Baca Juga : Bukan Solo atau Semarang, Justru 5 Kabupaten Ini Terjebak Lingkaran Setan Kemiskinan di Jateng
Blambangan saat itu berada di bawah pengaruh politik Dewa Agung Gelgel dari Bali. Menurut Daghregister 25 Juli 1632, Raja Blambangan bahkan sedang berada di Bali, menandakan posisi subordinat. Dewa Agung bukan sekadar pelindung; ia mengontrol penuh wilayah Blambangan, bahkan juga menguasai Lombok dan Sumbawa. Ia berupaya keras membujuk VOC agar menyerang Mataram dari timur, guna mengalihkan perhatian Sultan Agung.
Konflik Pecah: Intervensi Bali dan VOC (1632–1633)
Tahun 1632 menjadi titik balik. Mataram mulai mengintai Blambangan dengan serius. Seorang mata-mata Jawa diselundupkan bersama seorang nakhoda Cina bernama Bincki untuk menyurvei kekuatan dan kesiapan Blambangan. Raja Blambangan yang curiga, menahan kapal tersebut, namun mata-mata telah lebih dahulu melarikan diri.
Di tengah tekanan eksternal, Blambangan justru menghadapi gejolak internal. Raja Maes Cariaen digulingkan dan dibantai bersama keluarganya oleh seorang tokoh yang disebut "Singersarrij", yang dengan dukungan hadiah mewah kepada bangsawan Bali, diangkat sebagai Raja Blambangan yang baru. Dewa Agung kemudian mengirim utusan khusus ke Blambangan untuk memastikan kendali atas wilayah ini tetap berada dalam genggamannya.
Laporan Oosterwyck, kepala perdagangan VOC, menyebut bahwa Blambangan, Panarukan, dan Blitar telah beberapa kali dikuasai Mataram, tetapi selalu direbut kembali oleh sekutu Bali. Raja Bali kemudian menawarkan kerja sama kepada VOC dengan syarat bantuan armada laut, karena kekuatan maritim Mataram terlalu superior. Ia bahkan mengklaim bahwa pasukan Bali lebih unggul dan mampu menguasai Jawa jika diberi dukungan logistik.
Ekspedisi Sultan Agung: Gerak Strategis dan Perang Total (1636–1640)
Sultan Agung akhirnya memutuskan mengirim ekspedisi militer ke Blambangan. Panglima lapangan adalah Pangeran Silarong, didampingi oleh Pringgalaya dan Padureksa sebagai inspektur kerajaan. Pasukan berkumpul di Pasuruan, bergerak melalui Kediri dan Lumajang, lalu menuju Blambangan. Di sisi lain, Adipati Blambangan meminta bantuan kepada Bali, yang mengirim 500 prajurit pilihan di bawah komando Dewa Lengkara dan Dewa Agung. Panji Buleleng dan Macan Kuning turut serta.
Pertempuran pecah. Menurut Babad Tanah Djawi, pasukan Bali dikenal dengan penggunaan sumpit beracun yang mematikan. Namun mereka kalah telak. Kota Blambangan direbut, rakyat melarikan diri ke pegunungan, dan Ki Mas Kembar, putra adipati, tertangkap. Seorang guru spiritual, Salokantara, juga ditangkap dan dibunuh secara brutal atas perintah Silarong. Sebuah mitos pun lahir: suara ghaib dari Salokantara bersumpah akan menjelma menjadi raja kelak dan membalas kematian tersebut.
Salah satu figur kunci dalam babak ini adalah Raden Wangsakartika, putra Pangeran Pringgalaya. Awalnya dikenal sebagai bandit buangan, ia justru berjasa besar dalam pertempuran Blambangan. Ia menyusup ke benteng musuh, mengamuk, dan membunuh Panji Buleleng dan Macan Kuning. Tindakan heroik ini memicu kehancuran total pasukan sekutu Bali.
Sisa-sisa perlawanan Blambangan bertahan di Gunung Wilis, berlindung pada seorang pertapa bernama Sakanda. Namun mereka tetap diburu. Sakanda ditangkap dan dibunuh, nasib yang sama seperti Salokantara. Rumah-rumah penduduk dibakar, kekayaan dijarah, dan kedua putra adipati dibawa ke Mataram. Keduanya kemudian diangkat sebagai bupati Blambangan di bawah pengawasan Mataram, sebagaimana dicatat oleh Meinsma (1874:145). Padureksa, selaku inspektur kerajaan, dipromosikan menjadi Pangeran Tepasana. Salah satu dari putra adipati tersebut adalah Ki Mas Kembar, yang kelak tampil sebagai penguasa Blambangan dengan gelar Tawangalun.
Dengan jatuhnya Blambangan, Mataram untuk pertama kalinya berhasil menancapkan pengaruhnya di ujung paling timur Jawa. Tetapi kemenangan ini tidak datang tanpa harga. Perang Blambangan bukan hanya kampanye militer, tetapi juga perang propaganda, intervensi asing, dan pembantaian internal yang memperlihatkan kompleksitas politik Jawa abad ke-17.
Sultan Agung berhasil mengalahkan koalisi Bali-Blambangan, tetapi benih perlawanan dan dendam spiritual seperti yang diucapkan Salokantara tetap hidup dalam memori rakyat Blambangan. Dalam jangka panjang, wilayah ini tetap menjadi titik lemah imperium Mataram, rawan terhadap ekspansi kembali Bali maupun penetrasi Belanda.
Sejarah mencatat bahwa Blambangan tidak pernah sepenuhnya jinak. Kejatuhannya pada 1640 hanyalah babak pertama dalam siklus panjang perlawanan rakyat di timur Jawa, yang baru benar-benar ditundukkan satu abad kemudian oleh kekuatan kolonial.
Sultan Agung Hanyokrokusumo: Raja Penakluk, Budayawan, dan Arsitek Kejayaan Mataram
Dalam lanskap sejarah Jawa abad ke-17, nama Sultan Agung Hanyokrokusumo menjulang laksana gunung yang menjangkau langit. Sebagai raja ketiga Kesultanan Mataram Islam, ia bukan sekadar penguasa yang memperluas wilayah dan menaklukkan kota-kota penting di pesisir utara Jawa, melainkan seorang pemimpin visioner yang meninggalkan warisan monumental dalam bidang militer, ekonomi, politik, hingga kebudayaan. Pemerintahannya dari tahun 1613 hingga wafatnya pada 1645 menjadi era keemasan Mataram yang belum pernah terulang.
Sultan Agung dilahirkan pada 14 November 1593 di Kotagede, pusat awal Kesultanan Mataram. Nama kecilnya adalah Raden Mas Rangsang, kadang juga disebut Raden Mas Jatmika. Ia merupakan cucu dari pendiri dinasti Mataram, Panembahan Senapati, melalui ayahnya Panembahan Hanyokrowati. Sementara dari ibunya, Ratu Mas Adi Dyah Banowati, ia mewarisi darah biru Kesultanan Pajang, karena sang ibu adalah putri Pangeran Benowo—raja ketiga Pajang. Dengan garis keturunan ini, Sultan Agung memiliki legitimasi ganda: sebagai ahli waris Mataram dan Pajang, dua kekuatan besar yang mewarisi kejayaan Demak.
Baca Juga : Pemkab Malang Koordinasi ke BPK soal Temuan Situs Diduga Benda Purbakala
Riwayat penaklukan Tuban pada 1619 menjadi salah satu tonggak penting dalam proyek ekspansi Sultan Agung. Tuban, yang kala itu merupakan kota pelabuhan besar dan pusat kekuasaan lokal yang menolak tunduk, dijadikan target strategis. Adipati Tuban menolak supremasi Mataram, dan ini dianggap sebagai tantangan terbuka terhadap otoritas pusat.
Sultan Agung tidak tinggal diam. Ia mengutus dua panglima pilihannya, Martalaya dan Jaya Suponta, memimpin ekspedisi ke pesisir utara. Penaklukan Tuban bukan hanya peristiwa militer, melainkan bagian dari grand strategy untuk menguasai jalur perdagangan maritim dan menekan pengaruh asing, terutama VOC yang mulai menancapkan kuku di Batavia. Peristiwa ini menandai awal dominasi Mataram atas pantai utara Jawa dan menjadi simbol kebangkitan kekuasaan agraris atas maritim.
Puncak perlawanan Sultan Agung terhadap kolonialisme tercermin dalam dua ekspedisi besar ke Batavia, masing-masing pada 1628 dan 1629. Tujuan utamanya adalah menghancurkan basis kekuatan VOC yang saat itu dipimpin Jan Pieterszoon Coen. Meski upaya tersebut tidak berhasil merebut Batavia secara penuh, serangan tersebut mengguncang posisi Belanda dan memperlihatkan keseriusan Mataram sebagai kekuatan politik-militer terbesar di Jawa.
Pasukan Mataram sempat merebut Benteng Hollandia, dan mengacaukan pertahanan Belanda. Namun, kendala logistik, medan yang asing, serta wabah penyakit tropis menjadi hambatan besar. VOC, dengan dukungan logistik dan persenjataan superior, akhirnya mampu bertahan. Meskipun begitu, ekspedisi Sultan Agung tetap dikenang sebagai bentuk nyata perlawanan raja Jawa terhadap kolonialisme Eropa—jauh sebelum munculnya perjuangan nasional di abad ke-20.
Sultan Agung menyadari bahwa kekuatan militer harus ditopang oleh ekonomi yang kokoh. Ia menjadikan beras sebagai komoditas utama kerajaan. Mataram membangun sistem irigasi yang canggih untuk masa itu, memanfaatkan aliran sungai besar seperti Opak dan Progo. Produksi pertanian meningkat drastis, dan surplus pangan digunakan untuk menopang logistik perang serta memperkuat kesejahteraan internal rakyatnya.
Ia juga memusatkan kekuasaan atas pelabuhan-pelabuhan strategis untuk mengendalikan perdagangan dan memutuskan pengaruh para adipati pesisir yang kerap bermain ganda antara Mataram dan VOC. Dengan pendekatan ini, ekonomi Mataram bukan saja stabil, tetapi juga sanggup bersaing dengan kekuatan maritim yang lebih mapan.
Tak hanya militer dan ekonomi, Sultan Agung juga tampil sebagai pemimpin spiritual dan kultural. Ia menciptakan Kalender Jawa Islam, yang menyelaraskan sistem penanggalan Hijriyah dengan kalender Saka Hindu-Buddha. Inovasi ini mencerminkan strategi sinkretisme budaya: memperkuat Islam sambil tetap merangkul akar tradisi Jawa.
Di bidang bahasa dan sastra, Sultan Agung menetapkan bahasa Bagongan sebagai bahasa resmi istana, membedakannya dari bahasa ngoko atau krama yang digunakan masyarakat awam. Ia mendukung pertumbuhan seni pertunjukan, ukir, lukis, dan arsitektur. Mataram di bawahnya menjadi pusat budaya yang mempengaruhi seluruh Jawa dan Nusantara.
Ia pun mendesain tatanan birokrasi yang tersentralisasi. Para bupati diangkat dan diturunkan atas restu raja, bukan berdasarkan keturunan atau kehendak lokal. Sistem ini membuat kontrol pusat atas daerah lebih ketat dan memungkinkan konsolidasi kekuasaan yang solid. Di sisi lain, hal ini menimbulkan benih-benih perlawanan dari elite lokal, terutama di masa-masa akhir Mataram dan setelahnya.
Sultan Agung wafat pada tahun 1645, dimakamkan di Imogiri, kompleks pemakaman raja-raja Mataram yang ia rancang sendiri di perbukitan selatan Yogyakarta. Imogiri menjadi simbol spiritual sekaligus geopolitik: ia membangun bukan hanya sebuah makam, tetapi pusat legitimasi kekuasaan dinasti.
Warisan Sultan Agung melampaui zamannya. Ia dikenang sebagai raja pemersatu Jawa, penentang kolonialisme, patron seni, dan penguasa yang mempertemukan Islam dengan budaya lokal secara harmonis. Catatan para pengamat Belanda seperti Rijcklof van Goens, maupun karya lokal seperti Babad Tanah Jawi, menyajikan gambaran kontras antara kekaguman dan ketakutan terhadapnya. Ia adalah raja yang keras kepala, ambisius, dan tak ragu menggunakan kekuatan; namun juga adil, berwawasan jauh, dan teguh pada nilai kebudayaan negerinya.
Dalam historiografi Nusantara, Sultan Agung menempati posisi unik: bukan hanya sebagai simbol kekuasaan, tetapi sebagai paradigma pemimpin yang memadukan kekuatan, kearifan lokal, serta resistensi terhadap penjajahan. Kepemimpinannya merupakan cermin dari kebesaran Mataram, dan jejaknya masih terasa hingga kini dalam kalender, bahasa, seni, serta semangat perlawanan budaya yang diwariskannya. Ia bukan sekadar tokoh sejarah—ia adalah fondasi dari gagasan kebangsaan Jawa dan Indonesia.