JATIMTIMES - Kejaksaan Tinggi (Kejati) Jawa Timur (Jatim) terus mendalami kasus dugaan tindak pidana korupsi pengadaan tanah untuk perluasan kampus Politeknik Negeri Malang (Polinema) tahun 2019–2020. Kini, Kejati Jatim telah menetapkan dua orang sebagai tersangka dalam kasus tersebut.
Kedua tersangka tersebut adalah Direktur Polinema periode 2017-2021 Awan Setiawan, dan Hadi Setiawan selaku pemilik lahan yang dijual ke institusi tersebut.
Baca Juga : Kejari Situbondo Tingkatkan Kasus Dugaan Korupsi Dua Bidang PUPP ke Penyidikan, Berikut Alasannya!
Awan Setiawan ditetapkan sebagai tersangka berdasarkan Surat Penetapan Nomor: Kep-80/M.5/Fd.2/06/2025. Sedangkan penetapan Hadi Setiawan sebagai tersangka berdasarkan Surat Penetapan Nomor: Kep-81/M.5/Fd.2/06/2025.
Asisten Pidana Khusus (Aspidsus) Kejati Jatim Saiful Bahri Siregar menegaskan, keduanya langsung ditahan selama 20 hari ke depan, terhitung mulai Rabu (11/6/2025). Hal ini sesuai dengan Surat Perintah Penahanan Nomor: Print-8477/M.5/Fd.2/06/2025 atas nama Awan Setiawan dan Print-8499/M.5/Fd.2/06/2025 atas nama Hadi Setiawan.
"Kedua tersangka dijerat Pasal 2 ayat (1) jo Pasal 18 dan/atau Pasal 3 jo Pasal 18 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP," ujarnya, dikonfirmasi Kamis (12/6/2025).
Kasus ini bermula dari pengadaan lahan seluas 7.104 m² di Kelurahan Jatimulyo, Kecamatan Lowokwaru, Kota Malang, yang dilakukan tanpa melibatkan panitia pengadaan resmi. Harga tanah ditentukan sebesar Rp6 juta per meter persegi, atau senilai total Rp42,6 miliar.
"(Penentuan harga tanah) ini tanpa penilaian dari lembaga appraisal sebagaimana diwajibkan dalam peraturan perundang-undangan," papar Saiful Bahri Siregar.
Lebih lanjut, Kejati Jatim juga menemukan bahwa proses negosiasi dilakukan langsung oleh AS dengan HS sejak lahan masih berstatus Petok D. Sertifikat Hak Milik (SHM) baru terbit pada 31 Oktober 2019.
Sementara uang muka sebesar Rp3,87 miliar telah dibayarkan oleh Polinema pada 30 Desember 2020. Pembayaran tersebut dilakukan sebelum adanya akta jual beli dan surat kuasa penjualan dari para pemilik tanah.
Baca Juga : Bobol Ruko, Residivis di Tulungagung Diringkus saat Jualan
Dokumen-dokumen seperti Surat Keputusan Direktur, berita acara, hingga akta jual beli diduga dibuat dengan tanggal mundur (backdate). Modus tersebut diduga dilakukan untuk mencocokkan proses pembayaran yang sudah dilakukan sebelumnya.
Selain itu, pengadaan lahan tersebut juga tidak sesuai dengan Rencana Detail Tata Ruang (RDTR) Kota Malang, karena sebagian besar lahan berada di zona sempadan sungai dan ruang manfaat jalan, sehingga tidak layak untuk pembangunan kampus.
Sampai akhir tahun anggaran 2021, dana yang telah dibayarkan Polinema ke Hadi Setiawan mencapai Rp22,6 miliar. Namun, hak atas tanah belum diperoleh dan belum tercatat sebagai aset negara.
Sebagian dana bahkan dititipkan kepada notaris dan internal Polinema untuk pembayaran Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB), padahal menurut undang-undang, pengadaan tanah untuk kepentingan umum dikecualikan dari kewajiban tersebut. "Akibat perbuatan ini, negara diduga mengalami kerugian hingga Rp22,6 miliar," tandasnya.