JATIMTIMES - Raja Ampat dikenal sebagai surga dunia dengan keindahan lautnya yang mendunia. Namun, kawasan konservasi ini kini menghadapi ancaman serius akibat semakin meluasnya izin tambang nikel di wilayah tersebut. Hingga pertengahan tahun 2025, tercatat lebih dari 22.000 hektare lahan di Raja Ampat telah masuk dalam konsesi pertambangan nikel, termasuk di pulau-pulau kecil seperti Gag, Kawe, Manuran, Manyaifun, dan Batang Pele.
Masuknya aktivitas pertambangan di daerah yang kaya akan keanekaragaman hayati ini menimbulkan pro dan kontra. Di satu sisi, tambang dianggap sebagai peluang ekonomi, terutama karena Indonesia menjadi pemasok utama nikel dunia untuk kebutuhan baterai kendaraan listrik. Namun di sisi lain, tambang juga menimbulkan kerusakan lingkungan, konflik sosial, serta ancaman terhadap mata pencaharian masyarakat adat yang bergantung pada laut dan ekowisata.
Baca Juga : Lamajang Tigang Juru dan Situs Biting: Jejak Kerajaan Islam Tertua di Kaki Gunung Semeru
Pada Juni 2025, pemerintah pusat mulai mengambil langkah serius dengan menangguhkan sementara beberapa izin tambang untuk dilakukan evaluasi menyeluruh. Namun, masyarakat, aktivis lingkungan, hingga lembaga internasional mendesak agar izin tersebut tidak hanya ditangguhkan, tapi juga dicabut secara permanen.
Artikel ini akan membahas secara mendalam skala dan penyebaran izin tambang nikel di Raja Ampat, berdasarkan data resmi dan fakta lapangan terbaru. Tujuannya adalah untuk memberikan gambaran utuh mengenai perkembangan pertambangan di wilayah yang seharusnya dijaga kelestariannya.
Izin Tambang di Raja Ampat
1. Total Konsesi & Sumber Izin
Hingga Juni 2025, terdapat lima konsesi tambang nikel di Raja Ampat, diterbitkan oleh pemerintah pusat (KK & IUP produksi) dan daerah (SK Bupati)
2. Ringkasan Perusahaan dan Luas Konsesi
Hingga pertengahan 2025, terdapat lima perusahaan pemegang izin tambang nikel di wilayah Raja Ampat dengan total konsesi mencapai sekitar 25.400 hektare. Luasan ini tersebar di beberapa pulau kecil yang rentan secara ekologis. Berikut rincian per perusahaan:
PT Gag Nikel merupakan pemegang Kontrak Karya (KK) yang beroperasi di Pulau Gag dengan luas konsesi mencapai 13.136 hektare. Izin ini berlaku hingga November 2047, meskipun luas daratan Pulau Gag sendiri hanya sekitar 6.500 hektare, menunjukkan adanya potensi tumpang tindih dengan wilayah laut. (https://indonesiabusinesspost.com/4457/policy-and-governance/antam-s-subsidiary-holds-nickel-mining-license-on-raja-ampat-s-gag-island-bahlil)
PT Anugerah Surya Pratama (ASP) mendapatkan IUP dari pemerintah daerah untuk wilayah Pulau Manuran seluas 1.167 hektare, dengan izin berlaku selama 10 tahun sejak Januari 2024 hingga Januari 2034. Perusahaan ini sudah mengantongi dokumen AMDAL dan UKL-UPL. (https://en.antaranews.com/news/358437/nickel-mining-in-raja-ampat-sparks-heated-debate)
PT Kawei Sejahtera Mining (KSM) memegang konsesi seluas 5.922 hektare di Pulau Kawe. IUP diberikan sejak tahun 2013 dan berlaku hingga 2033. Namun, perusahaan ini dilaporkan membuka sekitar 5 hektare area tambang di luar batas wilayah izin, yang kini sedang dievaluasi. (https://en.antaranews.com/news/358437/nickel-mining-in-raja-ampat-sparks-heated-debate)
PT Mulia Raymond Perkasa (MRP) mendapatkan IUP eksplorasi pada tahun 2024 untuk wilayah di Pulau Batang Pele dan Manyaifun, dengan luas konsesi mencapai 2.194 hektare. Meski kegiatan survei dan eksplorasi telah dilakukan, perusahaan ini belum menyelesaikan dokumen lingkungan yang dibutuhkan.
PT Nurham memperoleh izin tambang pada tahun 2025 untuk area di Pulau Waigeo seluas 3.000 hektare. Dokumen AMDAL telah tersedia, namun hingga saat ini belum dimulai kegiatan produksi di lapangan. (https://en.antaranews.com/news/358437/nickel-mining-in-raja-ampat-sparks-heated-debate)
Dengan luas konsesi yang besar, dan beberapa berada di kawasan konservasi serta pulau kecil, perizinan tambang ini menimbulkan kekhawatiran akan kerusakan ekologis yang sulit dipulihkan. Pemeriksaan lebih lanjut terhadap keabsahan dokumen dan kesesuaian lapangan sangat diperlukan.
Keterangan Tambahan
Luas konsesi PT Gag Nikel melebihi luas daratan Pulau Gag (~6.500 ha), menunjukkan adanya entitas wilayah perairan dalam izin tersebut. (https://medium.com/%40ichsanfachrisrj/raja-ampat-a-paradise-plundered-for-nickel-5f1dd8ebe66a)
Pembekuan izin oleh Menteri ESDM Bahlil Lahadalia dilakukan karena kekhawatiran atas tumpang tindih area tambang dengan zona UNESCO Geopark dan kawasan konservasi. (https://asianews.network/indonesias-energy-ministry-temporarily-halts-nickel-mining-operations-in-raja-ampat/)
3. Status Kepatuhan & Aktivitas Lapangan
Hingga Juni 2025, aktivitas tambang nikel di Raja Ampat terus berlanjut, dengan berbagai tingkat kepatuhan terhadap dokumen lingkungan dan regulasi. Beberapa perusahaan menunjukkan komitmen untuk konservasi, tapi sejumlah masalah administratif dan teknis juga muncul.
PT Gag Nikel
Dokumen lengkap: memilki AMDAL sejak 2014, adendum 2022/2024, dan Izin Pinjam Pakai Kawasan Hutan (IPPKH). Teknis produksi rampung, namun belum memiliki Sertifikat Laik Operasi (SLO) untuk pembuangan limbah ke lingkungan. (https://sorongraya.inews.id/read/551768/pt-gag-nikel-tegaskan-komitmen-dalam-inovasi-tambang-ramah-lingkungan)
Konservasi lingkungan: sejak 2019, perusahaan melepasliarkan lebih dari 8.000 tukik penyu sisik di Pulau Gag. Direktur Eksekutif Budi Santoso menyebut upaya ini sebagai wujud tanggung jawab sosial dan ekosistem. (https://keuangandigital.com/detail/42388/komitmen-pt-gag-nikel-perusahaan-tambang-yang-memimpin-konservasi-penyu-sisik-di-raja-ampat)
4. Masalah Administratif & Transparansi
Kurangnya transparansi: Kepala DPMPTSP Raja Ampat, Moch Said Soltief, menyebut pihaknya belum menerima dokumen resmi AMDAL atau laporan kegiatan produksi dari Gag Nikel. Laporan perusahaan masih menunjukkan tahap pembangunan, bukan produksi.
Tunggakan pajak MBLB: Kepala BP2RD Noak Komboi mengungkap adanya tunggakan pajak ratusan miliar rupiah. Namun Manajer Rudy Sumual membantah dan menyatakan PT Gag telah menyetor Rp 2,655 triliun sejak 2018.
5. Tuntutan Transparansi dari DPR
Anggota Komisi IV DPR Robert Joppy Kardinal meminta keterbukaan terkait:
Alokasi dana CSR (min. 2–4% dari laba)
Keterlibatan tenaga kerja lokal dan pengusaha daerah dalam rantai pasok
Penahanan pajak dan tanggung jawab lingkungan
Robert menyatakan:
6. Pengakuan & Tantangan Lingkungan
Gag Nikel meraih penghargaan “Good Mining Practice” dari Kementerian ESDM dan KLHK pada tahun 2024, dan menegaskan komitmennya pada inovasi tambang berkelanjutan melalui media gathering pada Februari 2025. Officer Manager Rudy Sumual menyebut, perusahaan beroperasi sesuai regulasi lingkungan termasuk AMDAL tahun 2014 dan SK KLHK tahun 2022.
Namun, masih ada dasar kekhawatiran terkait efektivitas pengawasan dan dampak tambang terhadap ekosistem laut dan kawasan konservasi.
Baca Juga : DLH Kota Malang Bakal Hadirkan Vending Machine Tukar Botol Plastik Jadi Uang
Penolakan Masyarakat Adat
Masyarakat adat Raja Ampat secara tegas menolak kehadiran tambang nikel di wilayah mereka. Penolakan ini didasarkan pada kekhawatiran terhadap dampak lingkungan, sosial, dan budaya yang serius. Beberapa tokoh masyarakat dan aktivis menyuarakan aspirasi mereka secara langsung:
Elon Salomo Moifilit, Ketua Badan Pengurus Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (BPAN) Papua Barat, menyatakan:
“Raja Ampat bukan hanya destinasi wisata bahari dunia, tetapi juga rumah bagi ribuan jiwa masyarakat adat yang telah menjaga ekosistemnya selama berabad-abad. Tambang nikel berisiko menghancurkan kehidupan kami, baik di darat maupun laut.”
Agus Yosi Wanimbo, Tokoh Masyarakat Adat dari Kampung Manyaifun, menegaskan:
“Kami tidak anti-pembangunan, tapi pembangunan harus ramah lingkungan dan menghormati hak-hak adat. Izin tambang yang diberikan tanpa melibatkan kami secara penuh adalah bentuk pelanggaran hak asasi.”
Maria Kale, Perempuan adat dan aktivis lingkungan, menambahkan:
“Jika tambang terus berjalan, mata pencaharian kami sebagai nelayan dan petani akan hilang. Kami minta pemerintah mendengar suara kami dan segera mencabut izin tambang.”
Dalam pertemuan bersama pemerintah daerah dan kementerian terkait pada awal 2025, perwakilan 12 kampung di Raja Ampat secara resmi mengajukan surat penolakan izin tambang nikel. Mereka meminta pencabutan seluruh izin yang dinilai merugikan lingkungan dan kehidupan adat.
Ringkasan Poin Utama
Terdapat 5 konsesi utama tambang nikel di Raja Ampat:
PT Gag Nikel (Pulau Gag)
PT Anugerah Surya Pratama (ASP) (Pulau Manuran)
PT Kawei Sejahtera Mining (KSM) (Pulau Kawe)
PT Mulia Raymond Perkasa (MRP) (Pulau Batang Pele dan Manyaifun)
PT Nurham (Pulau Waigeo)
Status pengelolaan konsesi beragam:
Beberapa dalam tahap produksi aktif (PT Gag Nikel),
Ada yang masih di fase eksplorasi (PT MRP),
Serta izin yang sedang dalam kondisi berhenti sementara atau evaluasi.
Aktivitas pembukaan lahan dan reklamasi telah berlangsung secara signifikan, namun proses reklamasi dan pengelolaan lingkungan belum optimal dan perlu pengawasan ketat.
Pemerintah merespons dengan melakukan pengawasan intensif, inspeksi lapangan, dan pada beberapa kasus memberlakukan pembekuan izin tambang untuk memastikan kepatuhan terhadap peraturan lingkungan dan izin resmi.