JATIMTIMES - Pemerintah Kota (Pemkot) Malang tengah melakukan penyesuaian penerapan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2022 tentang hubungan keuangan pemerintah pusat dan pemerintah daerah (HKPD).
Penyesuaian tersebut juga dilakukan atas dampak yang muncul akibat penerapan regulasi baru tersebut. Salah satunya adalah berkurangnya potensi sejumlah jenis pajak yang menjadi sumber pendapatan asli daerah.
Baca Juga : Misteri Brawijaya V: Menapak Jejak Sri Prabu Kertawijaya di Situs Biting Lumajang
Di Kota Malang, penerapan UU tersebut berdampak pada potensi pajak kos-kosan yang tak lagi dapat dipungut. Padahal, bisnis tersebut memiliki potensi untuk menyumbang PAD hingga mencapai Rp 8 miliar.
"Kurang lebih Rp 8 miliar, ya. Kalau dulu kan di atas 10 kamar itu dia kena pajak, masuknya di kategori pajak hotel," ujar Kepala Badan Pendapatan Daerah (Bapenda) Kota Malang, Handi Priyanto.
Catatan yang ia terima, tak hanya Kota Malang yang merasakan dampak atas penerapan undang-undang tersebut. Selain Kota Malang, yang paling banyak terdampak adalah Yogyakarta.
"Tetapi memang yang paling banyak terdampak karena adanya UU itu, Kota Malang dan Jogja," tutupnya," imbuh Handi.
Hal serupa juga dibenarkan oleh Kepala Dinas Tenaga Kerja, Penanaman Modal dan Pelayanan Terpadu Satu Pintu (Disnaker-PMPTSP) Kota Malang Arif Tri Sastyawan.
WSelain melalui UU HKPD, tidak adanya pajak kos-kosan di Kota Malang juga telah diatur dalam Perda Kota Malang tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah (PDRD).
Baca Juga : Capai Rp 497,9 Miliar, Transaksi Ekonomi Kelompok Tani Hutan Jatim Tertinggi Nasional
"Pajak kos-kosan itu sudah tidak ada di Perda Pajak Daerah dan Retribusi Daerah (PDRD) kita. Artinya, walaupun orang punya kos-kosan dengan kamar 40, 100, 200, itu tidak ada pajaknya," ujar Arif.
Arif menjelaskan, UU Nomor 1 Tahun 2022 resmi berlaku pada Januari 2024 lalu. Artinya, sudah satu tahun lebih Pemkot Malang menghapus usaha kos-kosan dari salah satu objek pajak daerah.
"Dulu, kos-kosan dengan lebih dari 10 kamar sudah kena pajak. Tapi sekarang sudah tidak bisa lagi dikenakan pajak karena di aturan pusat memang tidak boleh. Cantolan hukumnya di pusat tidak ada, sehingga di perda PDRD kita juga tidak bisa dimasukkan," kata Arif.