free web hit counter
Scroll untuk baca artikel
Lingkungan

Kenapa Raja Ampat Dapat Julukan Surga Terakhir di Bumi?

Penulis : Binti Nikmatur - Editor : Nurlayla Ratri

13
×

Rencana Rilis PlayStation 6 Berpotensi Terungkap, Berkat Microsoft

Share this article
Stik Playstation
Keindahan bawah laut Raja Ampat. (Foto: @greenpeaceid)

JATIMTIMES - Raja Ampat, kawasan kepulauan yang terletak di ujung barat Papua Barat Daya, kerap dijuluki sebagai "Surga Terakhir di Bumi". Julukan ini bukan sekadar pemanis kata, tapi merujuk pada kekayaan alam dan keanekaragaman hayati lautnya yang luar biasa.

Secara geografis, Raja Ampat merupakan bagian dari segitiga terumbu karang dunia atau Coral Triangle. Ini adalah kawasan dengan tingkat keanekaragaman hayati laut tertinggi di dunia.

Baca Juga : Apa Dampak Tambang Nikel di Raja Ampat? Ini Penjelasannya

Berdasarkan data dari BLUD UPTD Pengelolaan Kawasan Konservasi (KK) Perairan Raja Ampat, wilayah ini menjadi rumah bagi lebih dari 1.600 spesies ikan karang dan lebih dari 550 jenis terumbu karang. Angka itu mencakup sekitar 75 persen dari total spesies terumbu karang yang ada di seluruh dunia, menjadikan Raja Ampat sebagai pusat biodiversitas laut global.

Tak hanya itu, tercatat pula lebih dari 700 spesies moluska hidup di kawasan ini, termasuk tujuh jenis kerang raksasa. Lima spesies penyu laut langka juga menjadikan perairan ini sebagai habitatnya, bersama dengan berbagai jenis hiu seperti hiu karpet (wobbegong) dan hiu epaulette yang memiliki karakteristik unik.

Selain keunggulan dari sisi bawah laut, Raja Ampat juga dikenal dengan keindahan daratannya. Wilayah ini terdiri atas lebih dari 1.500 pulau kecil, atol, dan beting, yang tersebar di sekitar empat pulau utama, yakni Waigeo, Batanta, Salawati, dan Misool.

Keunikan geografis dan ekosistemnya menjadikan Raja Ampat sebagai laboratorium alam terbuka yang sangat penting, tidak hanya untuk Indonesia, tapi juga bagi dunia. Namun, pesona dan kekayaan Raja Ampat kini tengah menghadapi ancaman.

Aktivitas pertambangan nikel disebut-sebut mulai menimbulkan kerusakan di kawasan Raja Ampat. Laporan dari Greenpeace mengungkapkan bahwa lebih dari 500 hektare hutan di beberapa pulau kecil seperti Gag, Kawe, dan Manuran telah ditebang akibat ekspansi tambang. 

Padahal, pulau-pulau tersebut seharusnya dilindungi oleh Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil.

Selain deforestasi, sedimentasi dari kegiatan tambang juga dinilai berisiko tinggi merusak ekosistem laut, termasuk terumbu karang dan biota yang hidup di dalamnya.

Baca Juga : Lumajang dan Awal Islamisasi Jawa:  Arya Pinatih, Sunan Giri, dan Arya Tepasana

Menteri Lingkungan Hidup, Hanif Faisol Nurofiq, menyatakan pihaknya akan turun langsung meninjau lokasi tambang nikel di Raja Ampat.

“Raja Ampat sedang kami teliti. Mapping sudah kami lakukan. Saya akan ke sana secepatnya,” kata Hanif, dikutip Antara, Jumat (6/6/2025). 

Hanif juga menegaskan tidak akan tinggal diam jika aktivitas tambang terbukti merusak lingkungan. “Atau paling tidak, kami akan segera ambil langkah-langkah hukum terkait aktivitas tambang di Raja Ampat, setelah kajian selesai. Kalau terbukti melanggar, akan kami tindak,” tegasnya.

Rencana kunjungan ini dilakukan menyusul kritik dari masyarakat sipil yang menyuarakan kekhawatiran terhadap keberlangsungan ekosistem Raja Ampat. 

Di sisi lain, Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Bahlil Lahadalia menyebut akan menutup sementara aktivitas tambang nikel di Raja Ampat. Bahlil juga akan memanggil pemegang izin tambang nikel di kawasan Raja Ampat untuk dilakukan evaluasi menyeluruh.