JATIMTIMES — Tanda-tanda lahirnya demokrasi baru itu tampak di salah satu ballroom Hotel Santika, Kota Blitar. Bukan dari mimbar elite politik, melainkan dari kursi-kursi deret mahasiswa yang tak sekadar hadir, tetapi bicara, bertanya, dan berpikir kritis.
Forum bertajuk Sosialisasi dan Pendidikan Pemilih Berkelanjutan pada 13 Mei 2025 lalu bukan sekadar agenda formal KPU RI dan Komisi II DPR RI, melainkan menjadi momentum kolektif untuk membangun demokrasi yang lebih dekat dan relevan bagi generasi muda.
Baca Juga : Aksi Gila Bakar Pikap di Blitar, Pelaku Diduga Alami Gangguan Jiwa
Unisba Blitar, melalui mahasiswanya, tampil bukan sebagai pelengkap barisan audiens. Mereka mengambil peran. Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) kampus ini menggandeng Himpunan Mahasiswa Program Studi (HMP) dan Unit Kegiatan Mahasiswa (UKM) untuk ikut terlibat dalam diskusi yang mengupas tantangan demokrasi pasca-Pemilu 2024 dan membedah arah Demokrasi 5.0 ke depan.
Ketua KPU Kota Blitar Rangga Bisma Aditya yang membuka acara menyebut bahwa demokrasi yang sehat bukan semata soal prosedur. Ia menyebut partisipasi aktif generasi muda sebagai pilar utama kelangsungan sistem demokrasi yang adil dan berkelanjutan. “Saya menyaksikan semangat itu hidup di tengah mahasiswa. Mereka bukan hanya tahu hak pilihnya, tapi juga ingin tahu bagaimana sistem ini dibangun dan dijaga,” ujarnya dalam sambutan.
Wali Kota Blitar H Syauqul Muhibbin—akrab disapa Mas Ibin—mengamini pernyataan tersebut. Dalam keterangannya, ia menyebut pendidikan pemilih yang berkelanjutan adalah tameng awal untuk mencegah konflik demokrasi yang bersumber dari ketidaktahuan dan manipulasi politik. Mas Ibin menyebut mahasiswa sebagai titik tumpu harapan bangsa dalam merawat ruang-ruang politik yang sehat.
“Demokrasi itu tak bisa dijaga hanya oleh undang-undang dan aparat. Ia tumbuh karena pemahaman yang merata, terutama di kalangan muda,” katanya.
Diskusi panel berlangsung dinamis. Tiga narasumber utama dihadirkan: Anggota Komisi II DPR RI Romy Soekarno, anggota KPU Provinsi Jatim Choirul Umam, dan akademisi sekaligus lawyer Dr Khoirul Anam. Ketua KPU Blitar memberikan cenderamata kepada Romy Soekarno sebagai tanda sinergi antarlembaga.
Di tengah forum, Romy Soekarno menekankan bahwa Pemilu 2024 adalah panggung pembelajaran bagi semua pihak. Disinformasi digital dan algoritma politik dinilai menjadi tantangan baru. Ia menyebut masa depan demokrasi—yang ia istilahkan sebagai Demokrasi 5.0—harus dibangun dengan tiga prinsip: tanpa wajah palsu, demokrasi yang bernapas, dan yang mampu mengoreksi dirinya sendiri.
“Mahasiswa hari ini bukan sekadar pemilih, mereka adalah calon pemimpin masa depan. Demokrasi kita butuh darah segar dan keberanian untuk berpikir kritis,” ungkap cucu Bung Karno itu.
Salah satu yang menarik dalam forum adalah peran mahasiswa sebagai penggerak diskusi. Ziyadatu Sinta, presiden BEM Unisba Blitar yang memoderatori jalannya panel, tampil lugas. Ia menegaskan bahwa demokrasi seharusnya tak berhenti sebagai seremoni lima tahunan. Dalam forum itu, ia menyuarakan keresahan mahasiswa atas pola pendidikan politik yang masih bersifat dangkal dan seremonial.
“Kami ingin menjadi mitra kritis, bukan sekadar penonton. Demokrasi tanpa partisipasi dan aksi hanyalah dekorasi,” ucap Ziyadatu di tengah forum, disambut anggukan para peserta.
Suasana ruang diskusi semakin hidup saat Wakil Presiden BEM Alfan Thariq melontarkan isu keadilan digital dalam konteks Pemilu 2029. Menurutnya, tak cukup bicara soal teknologi canggih, jika akses dan literasi masih timpang. “Demokrasi digital hanya akan menjadi mimpi elitis bila rakyatnya tertinggal dari kemajuan zaman,” ucapnya, memperingatkan bahwa demokrasi masa depan harus inklusif secara teknologi.
Forum yang berlangsung dari pukul 09.30 hingga 12.30 WIB ini tak hanya menghasilkan wacana. Ia menjadi panggung aktualisasi mahasiswa sebagai subjek politik yang sadar dan kritis. Diskusi ditutup dengan sesi tanya jawab, diikuti penyerahan cinderamata simbolik kepada peserta yang aktif.
Baca Juga : Usai Jemput Sekolah, Ibu dan Anak di Pagerwojo Hilang Terseret Arus
Wakil Rektor III Unisba Blitar Dr Supriyono menyebut keterlibatan mahasiswa dalam agenda ini sebagai bagian dari pembentukan karakter kebangsaan. Ia menilai kegiatan semacam ini sebagai wahana pembelajaran politik paling nyata dan aplikatif. “Kampus bukan hanya tempat mencari gelar, tapi tempat membentuk kepedulian. Demokrasi akan tumbuh jika kaum muda turun tangan, bukan hanya bersuara di media sosial,” tegasnya.
Menurut Supriyono, institusi pendidikan tinggi tidak boleh hanya menjadi menara gading. Ia menegaskan, kampus memiliki tanggung jawab moral dan strategis untuk mencetak pemimpin muda yang visioner dan berintegritas.
“Pimpinan Universitas Islam Balitar berkomitmen untuk membangun generasi pemimpin muda Indonesia di masa depan. Oleh karena itu, kami sangat mendukung segala bentuk kegiatan yang mendorong mahasiswa berpikir kritis, konstruktif, berjejaring, dan mengambil peran aktif dalam isu-isu kebangsaan,” ujarnya.
Lebih jauh, ia menekankan pentingnya partisipasi generasi muda dalam proses demokrasi sebagai salah satu fondasi utama kemajuan bangsa. Menurutnya, demokrasi tak akan tumbuh sehat bila anak muda hanya menjadi penonton pasif.
“Demokrasi akan terus tumbuh bila kaum muda terlibat bukan sebagai penonton, tetapi sebagai pelaku yang sadar, jujur, cerdas, amanah, komunikatif, bijaksana, dan bertanggung jawab,” tambah Supriyono, yang membidangi kerjasama, kewirausahaan, kemahasiswaan, dan pengembangan nilai-nilai Islami di Unisba Blitar.
Dalam konteks inilah, kegiatan seperti sosialisasi pemilu tidak hanya menjadi program teknokratis, tetapi juga momentum ideologis—membangun ruang perjumpaan antara negara dan warga muda, antara sistem dan suara-suara kritis, serta antara prosedur dan nilai. Di tangan mahasiswa, demokrasi tak hanya dibicarakan, tetapi diperjuangkan secara aktif dan kontekstual.
Supriyono pun menilai bahwa keterlibatan mahasiswa dalam forum kebangsaan seperti ini adalah bagian dari proses pembelajaran yang utuh: belajar menjadi warga negara yang sadar hak dan tanggung jawab, sekaligus belajar menjadi pemimpin yang tangguh menghadapi tantangan zaman.
Sosialisasi ini menjadi pengingat bahwa demokrasi sejatinya bersifat dinamis dan menuntut keterlibatan kolektif. Di Blitar, api demokrasi itu menyala kembali—bukan dari kantor politik, tetapi dari kampus dan semangat para mahasiswa yang ingin mengambil bagian dalam sejarah.