JATIMTIMES - Perwakilan Ombudsman RI Jawa Timur (Jatim) mencatat adanya kerawanan praktik pungutan liar (pungli) di sekolah negeri pada momentum tahun ajaran baru. Pungli tersebut diduga dilakukan oleh pihak sekolah kepada wali murid.
Kepala Perwakilan Ombudsman RI Jawa Timur Agus Muttaqin menyebut, pihaknya menerima laporan terkait dugaan praktik pungli di sekolah hampir setiap bulan. Namun, laporan terbanyak biasanya diterima pada masa awal tahun ajaran baru.
Baca Juga : Polres Batu Tetapkan Tersangka Dugaan Tindak Asusila Santriwati di Pondok, Tapi Tidak Ditahan
"Memang, laporan terkait pungutan ini kami terima setiap bulan. Yang terbanyak itu dua hingga tiga bulan setelah SPMB selesai. Yakni, sekitar November atau memasuki tahun ajaran baru,” kata Agus Muttaqin, Kamis (22/5/2025).
Agus bilang, banyak sekolah yang berdalih melakukan penggalangan dana, namun dalam praktiknya tetap mengandung unsur pungutan. Padahal, itu bertentangan dengan Permendikbud Nomor 44 Tahun 2012 dan Nomor 75 Tahun 2016 tentang Komite Sekolah.
Dalam regulasi tersebut, sebenarnya masih ada ruang bagi sekolah untuk menggalang dana dari wali murid. Namun, itu bersifat sumbangan. Bukan pungutan yang memiliki persyaratan tertentu. Ia menegaskan, ada perbedaan mendasar antara sumbangan dan pungutan.
Menurutnya, penggalangan dana dalam bentuk sumbangan, tidak ada batas minimal nominal. Selain itu, juga tidak ada batas waktu penyetoran, dan tidak ada sanksi jika tidak membayar.
Sedangkan pungutan, ada komponen nominal tertentu, ada deadline kapan harus disetor, dan ada ancaman sanksi bagi siswa yang tidak membayar. ”Fakta yang terjadi, praktik pungutan itu ada, tapi dibungkus dalam bentuk sumbangan,” ujarnya.
Lebih lanjut, Agus juga mengkritik keras sikap beberapa sekolah yang justru fokus mencari siapa pelapor pungutan ke Ombudsman, alih-alih memperbaiki sistem administrasi penggalangan dana mereka.
Padahal, jika pelanggaran tersebut sudah masuk ke ranah hukum, pihak sekolah bisa saja terjerat hukum atau bahkan menjadi tersangka. ”Seharusnya, kepala sekolah itu berterima kasih kalau ada wali murid yang melapor tentang adanyanya pungli. Bukan justru mencari pelapornya untuk kemudian mengintimidasi,” urainya.
Ia menyebut, pungutan di sekolah ini terjadi hampir merata di semua jenjang pendidikan, yakni SD, SMP, hingga SMA/SMK negeri. Bahkan, pungutan yang dibungkus dalam bentuk sumbangan itu, selalu dikaitkan dengan syarat kelulusan atau keikutsertaan dalam ujian, yang jelas-jelas melanggar aturan.
Baca Juga : Bobot Terberat Capai 1,2 Ton, Ini Ragam Jenis Sapi Kurban Prabowo di Jatim
Misalnya, ketika tidak membayar pungutan itu, siswa tidak boleh ikut ujian. ”Bahkan ada yang dirumahkan. Padahal, penggalangan dana itu tidak ada hubungannya sama sekali dengan proses belajar-mengajar atau kelulusan siswa,” tuturnya.
Tim pemeriksa dari Ombudsman biasanya minta agar sekolah mengubah pungutan menjadi sumbangan. Caranya, sekolah mendistribusikan kuisioner berisi pilihan boleh tidaknya menyetor uang ke sekolah.
Perbedaan pemahaman pihak sekolah antara partisipasi sukarela dan pungutan ilegal menjadi salah satu penyebab utama masih maraknya praktik sumbangan bermuatan pungutan di sejumlah sekolah negeri.
Parahnya lagi, ia menilai tidak ada ketegasan pemerintah daerah (pemda) dalam menegakkan aturan Permendikbud Nomor 44 Tahun 2012 dan Nomor 75 Tahun 2016 yang melarang segala bentuk pungutan di sekolah. Hingga kini, belum adanya produk hukum daerah seperti Peraturan Daerah (Perda), Peraturan Gubernur (Pergub), Peraturan Wali Kota (Perwali), atau Peraturan Bupati (Perbup), yang secara rinci mengatur larangan pungutan beserta sanksinya.
Kondisi itu bisa dimanfaatkan sejumlah sekolah sebagai celah untuk tetap melakukan pungutan dengan dalih sumbangan. Akibatnya, sekolah kerap memaknai aturan secara bebas, sehingga praktik penggalangan dana yang seharusnya sukarela berubah menjadi kewajiban yang disertai tekanan dan ancaman.
Ia pun mendesak Pemerintah Daerah untuk segera menerbitkan regulasi teknis yang lebih detail sebagai turunan dari Permendikbud, agar tidak ada lagi penafsiran bebas oleh sekolah. ”Jika tidak ada aturan yang spesifik, maka sekolah akan seenaknya menafsirkan sendiri. Dan inilah yang membuat praktik pungutan masih marak terjadi hingga hari ini,” pungkas Agus.