free web hit counter
Scroll untuk baca artikel
Peristiwa

Relokasi Warga Totog Maospati Magetan: Ketika Penataan Aset Mengusik Kemanusiaan

Penulis : Basworowati Prasetyo Nugraheni - Editor : Dede Nana

13
×

Rencana Rilis PlayStation 6 Berpotensi Terungkap, Berkat Microsoft

Share this article
Stik Playstation
Wilayah Totog yang akan direlokasi Pemda Magetan

JATIMTIMES – Di sudut wilayah Maospati, tepatnya di kawasan Totog, ada potongan realita yang tidak tersorot lampu sorot pembangunan. Di sanalah 16 kepala keluarga kini menghadapi keputusan berat: meninggalkan rumah yang telah mereka tempati puluhan tahun demi kebijakan relokasi yang digulirkan Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Magetan.

Relokasi ini menyasar 20 bangunan semi permanen yang berdiri di atas tanah aset milik Pemkab Magetan. Sejak awal, kawasan ini memang bukan milik pribadi warga, namun dulunya pernah disewa masyarakat sekitar tahun 1960-an. 

Baca Juga : Wali Kota Malang Apresiasi Pentas Kangen Studio Seni KaKaSya: Kita Harus Bikin Drama Malangan

Sejak 2016, tak lagi ada hubungan kontraktual antara penghuni dan kelurahan, sebagaimana disampaikan Lurah Maospati, Indra Ariesta Ardy. “Warga menyadari bahwa lahan yang mereka tempati merupakan aset Pemkab. Magetan. Mereka sepakat untuk pindah dan kami dari kelurahan akan membantu proses relokasinya,” ujar Indra.

Skema bantuan yang ditawarkan memang terdengar sederhana namun krusial: bantuan pembongkaran, pengangkutan barang dalam radius Maospati, dan prioritas jika ke depan dibangun kios UMKM di lokasi yang sama. Tapi semua itu, kembali lagi, masih menunggu keputusan anggaran dari pemerintah daerah.

Namun di balik kesepakatan administratif, tersimpan keresahan yang tak bisa disederhanakan. Di rumah-rumah berdinding bata dan beratap genteng tua, anak-anak warga Totog masih belajar menghadapi ujian sekolah. Besok mereka akan duduk di bangku ujian. Tapi tak ada yang tahu, apakah esok mereka masih bisa pulang ke rumah yang sama ke gang sempit tempat kenangan mereka tumbuh.

“Kami tidak menolak pembangunan, tapi jangan begini caranya,” ungkap Sugeng Riyono, salah satu warga yang terdampak. 

Ia menunjukkan tanda silang putih di tembok rumahnya tanda bahwa bangunan itu harus segera dikosongkan. “Kami bahkan diancam pemutusan listrik dan air kalau tak segera pindah,” lanjutnya.

Tenggat waktu yang diberikan pemerintah cukup singkat hingga 20 Juni 2025. Bagi sebagian orang, dua minggu mungkin bisa digunakan untuk merencanakan liburan. Tapi bagi warga Totog, dua minggu terlalu singkat untuk mencari rumah baru, mengamankan sumber penghasilan, dan memindahkan hidup yang selama ini tertata.

Baca Juga : Sunan Amangkurat I dan Kota Bata Plered: Mimpi yang Dibangun dengan Tangan Besi

Paryadi warga lainnya menyayangkan tidak adanya kepastian dari pemerintah soal masa depan mereka. “Katanya kami akan diprioritaskan kalau ada kios baru, tapi sampai sekarang tak ada surat resmi. Kami butuh jaminan, bukan janji, selain itu  penggantian Rp 2 juta per kepala keluarga itu buat kami juga tidak cukup. Dulu kami pasang listrik saja habis Rp 1,7 juta, nanti ditempat baru kan harus pasang lagi. Belum sewa kontrakan per bulannya,” keluhnya.

Kritik pun datang dari DPRD Magetan. Dalam inspeksi mendadak yang dilakukan Komisi B, Ketua Komisi Rita Haryati menyarankan agar bentuk kompensasi diperluas. “Bukan kewenangan komisi B secara teknis, tapi secara kemanusiaan kami mendorong adanya tambahan bantuan. Setidaknya untuk mengurangi beban warga,” ujarnya.

Bagi pemerintah, ini mungkin soal penataan aset. Tapi bagi warga Totog, ini soal keberlangsungan hidup. Mereka bukan menolak perubahan, hanya ingin diajak bicara lebih manusiawi. Mereka tidak menuntut rumah mewah, hanya kepastian untuk tetap bisa tinggal dan bekerja dengan tenang.

Satu hal yang pasti: relokasi bukan hanya soal memindahkan barang, tetapi juga memindahkan kehidupan. Dan jika tak ditangani dengan hati, bisa jadi yang hilang bukan hanya atap dan dinding, tetapi rasa percaya kepada mereka yang seharusnya melindungi.