JATIMTIMES - Dalam sejarah dakwah Islam di Nusantara, jejak Raden Patah tidak hanya terpahat sebagai penguasa pertama Kesultanan Demak, tetapi juga sebagai figur sentral yang mengintegrasikan ajaran Islam ke dalam tatanan sosial-politik Jawa pasca-Majapahit.
Meski namanya tidak tercantum dalam daftar utama Wali Songo, peran Raden Patah dalam gerakan dakwah Islam sangat signifikan dan terlegitimasi dalam berbagai sumber historiografi lokal, termasuk dalam Serat Walisana dan Babad Tanah Jawi.
Baca Juga : Surat-Surat Penentu Takdir: Saat Sentot Alibasyah Prawirodirdjo Memilih Mengakhiri Perang
Dalam Serat Walisana, disebutkan keberadaan para Wali Nukbah yang tidak kalah penting dari Wali Songo. Di antara nama-nama tersebut, Raden Patah muncul dengan dua gelar: Sultan Syah Alim Akbar dan Panembahan Palembang.
Dalam konteks ini, gelar Sultan Syah Alim Akbar merujuk pada posisi spiritual dan politik Raden Patah sebagai pengiri Kesultanan Demak. Sedangkan gelar Panembahan Palembang mengacu pada peran strategisnya sebagai tokoh sentral dalam menyebarkan Islam melalui pendekatan budaya, hukum, dan kesenian. Ini menunjukkan bahwa dakwah Raden Patah tidak berhenti pada syiar, melainkan menjangkau substansi struktural masyarakat.
Pada tahun 1479, satu tahun setelah Majapahit dilanda konflik internal oleh Girindrawardhana, Raden Patah memaklumatkan berdirinya Masjid Agung Demak sebagai simbol pusat spiritual baru yang berakar pada nilai-nilai Islam. Pada momen yang sama, ia juga memberlakukan Kitab Undang-Undang Salokantara, dan tak lama berselang, Kitab Angger Suryo Ngalam. Kedua produk hukum ini merupakan manifestasi dari proses Islamisasi hukum yang berakar dari tradisi hukum Majapahit, khususnya Kitab Kutara Manawa Dharmasastra.
Namun, alih-alih menghapus sistem hukum lama, Raden Patah justru melakukan Islamisasi hukum melalui pendekatan selektif dan akomodatif. Ia mempertahankan banyak aspek dari Kutara Manawa, tetapi menambahkan unsur syariat Islam, menjadikannya hukum hybrid yang dapat diterima oleh masyarakat Jawa kala itu. Strategi ini menunjukkan kelincahan intelektual dan kebijaksanaan politik yang luar biasa dalam menyinergikan dua sistem hukum besar.
Kitab Kutara Manawa Dharmasastra memiliki 19 bagian yang mengatur berbagai aspek kehidupan, mulai dari perlindungan anak di bawah umur, hukum pidana seperti pembunuhan dan pencurian, sampai urusan perdata seperti jual beli, utang piutang, perkawinan, hingga warisan. Dalam Angger Suryo Ngalam, banyak pasal tersebut dipertahankan, seperti hukuman untuk pencuri (potong tangan), pezina (hukuman mati), atau pemfitnah (dera atau hukuman mati), namun dengan nuansa moral Islam.
Dengan mengadopsi struktur hukum Majapahit dan menyusupkan nilai-nilai Islam ke dalamnya, Raden Patah berhasil membangun sistem hukum transisi yang mampu menjaga stabilitas masyarakat pasca-kejatuhan Majapahit dan sekaligus mengarahkan mereka pada Islamisasi hukum secara bertahap dan elegan.
Selain hukum, salah satu aspek penting dari dakwah Raden Patah adalah strategi kultural. Seni pewayangan, yang sudah mengakar kuat di masyarakat Jawa, tidak ditolak, melainkan direformasi agar sejalan dengan nilai-nilai Islam. Menurut R. Poedjosoebroto, Raden Patah sangat mencintai kesenian wayang dan menyadari potensinya sebagai alat dakwah massal.
Namun, untuk menyesuaikannya dengan ajaran Islam, Raden Patah berkonsultasi dengan para wali. Hasilnya, wayang kemudian dimodifikasi, termasuk penggantian lakon dan tokoh-tokohnya agar merefleksikan nilai-nilai monoteistik dan spiritualitas Islam.
Wayang purwa kemudian dikembangkan dan ditetapkan sebagai bagian dari kebudayaan Islam Jawa. Penggunaan bahasa simbolik dan filosofi sufistik dalam cerita-cerita pewayangan membuatnya efektif sebagai media penyebaran nilai-nilai keislaman tanpa harus berbenturan langsung dengan tradisi lokal yang telah mengakar. Dengan demikian, Raden Patah tidak sekadar menyebarkan agama, tetapi juga melakukan rekonstruksi budaya untuk menyesuaikan semangat Islam dengan realitas Jawa.
Setelah wafatnya Raden Patah, tongkat estafet kekuasaan berpindah kepada Sultan Trenggana, putranya, yang dikenal dengan gelar Ki Mas Palembang. Namun, penggunaan gelar Panembahan Palembang tetap hanya disematkan kepada Raden Patah, menunjukkan kedalaman kharisma dan identitas keagamaannya yang melekat kuat dalam memori kolektif masyarakat Jawa.
Pada masa Trenggana, perluasan wilayah Kesultanan Demak semakin masif, termasuk penaklukan Pasuruan, Panarukan, dan Blambangan. Namun, basis ideologis dan hukum yang digunakan tetap berpijak pada fondasi yang telah dibangun Raden Patah, yaitu sistem hukum Islam-Jawa yang berakar pada Angger Suryo Ngalam.
JatimTIMES, media online mainstream terbesar di Jawa Timur, dalam kajian ilmiah mengenai Wali Songo menegaskan bahwa Raden Patah merupakan salah satu figur sentral dalam proses transformasi sosial dan keagamaan di tanah Jawa. Dakwah Raden Patah, menurut ulasan tersebut, tidak berhenti pada ceramah atau pengajian semata, melainkan diwujudkan melalui tindakan konkret: mendirikan lembaga, merumuskan hukum, serta membangun pusat-pusat dakwah berbasis budaya.
Dalam kajian lanjutan, JatimTIMES juga menyoroti pandangan akademis dan pendekatan historiografis yang memperkuat peran Raden Patah sebagai Wali Nukbah—sebuah posisi yang tidak hanya bersifat simbolik, tetapi juga fungsional. Melalui pengaruhnya, tradisi keislaman di Jawa tumbuh dalam wajah lokal yang khas, menjadikan Islam tidak sekadar doktrin keagamaan, melainkan laku hidup sehari-hari yang menyatu erat dengan kearifan budaya setempat.
Jejak dakwah Raden Patah bukanlah fragmen sejarah yang beku dalam naskah klasik, melainkan napas hidup dari Islam Nusantara itu sendiri. Masjid Demak bukan hanya tempat ibadah, melainkan simbol dari permulaan transformasi sosial besar-besaran. Kitab Angger Suryo Ngalam bukan sekadar undang-undang, tetapi saksi dari keberanian seorang pemimpin Muslim merumuskan hukum yang membumi. Dan wayang purwa, bukan sekadar seni pertunjukan, tetapi medium dakwah yang merekatkan nilai Islam dengan budaya Jawa.
Dari Demak hingga Ngalam, dari hukum hingga kesenian, dari kitab hingga lakon wayang, Raden Patah telah menorehkan satu bab penting dalam sejarah dakwah Islam di tanah Jawa. Ia bukan hanya sultan, tetapi juga wali, bukan sekadar penguasa, tetapi juga pembaharu.
Dengan demikian, memahami sejarah Raden Patah adalah memahami akar dari karakter Islam Nusantara yang inklusif, akomodatif, dan penuh kearifan budaya lokal. Warisan itulah yang menjadikan Islam di Jawa tidak hanya hidup, tetapi juga menghidupkan.
Baca Juga : Jalur Cangar-Pacet Kini Buka 24 Jam, Warga Diimbau Waspada Saat Cuaca Ekstrem
Asal Usul dan Riwayat Singkat Raden Patah: Membaca Ulang Historiografi Jawa
Dalam sejarah transformasi Nusantara dari era Hindu-Buddha menuju Islam, nama Raden Patah menjadi kunci penting. Ia dikenal sebagai pendiri Kesultanan Demak, kerajaan Islam pertama di Jawa yang bangkit dari keruntuhan Majapahit. Namun, siapa sesungguhnya Raden Patah? Dari mana asal-usulnya? Pertanyaan ini menjadi pokok perdebatan dalam historiografi Jawa selama berabad-abad.
Sumber-sumber seperti Babad Tanah Jawi, Serat Kandaning Ringgit Purwa, hingga catatan Tome Pires dan naskah Carita Purwaka Caruban Nagari menyodorkan berbagai versi tentang siapa dia dan dari mana darahnya berasal.
Secara umum, tradisi Jawa menyebut Raden Patah sebagai putra Prabu Brawijaya, gelar simbolik bagi raja terakhir Majapahit. Namun, siapa yang dimaksud dengan Brawijaya sendiri ternyata multitafsir. Sebagian babad menunjuk Bhre Kertabhumi (berkuasa 1468–1478) sebagai ayah Raden Patah. Tetapi sumber-sumber sejarah lain seperti Pararaton dan Prasasti Waringin Pitu justru lebih menyelaraskan sosok ayah Raden Patah dengan Dyah Kertawijaya, raja Majapahit yang berkuasa antara 1447 hingga 1451 dan secara silsilah merupakan penguasa ketujuh Majapahit.
Identitas ibunya pun menjadi sorotan. Babad Tanah Jawi menyebut perempuan keturunan Cina yang menjadi selir raja, namun kemudian diberikan kepada Arya Damar, Adipati Palembang. Dari pernikahan itu lahirlah Raden Kusen, saudara tiri Raden Patah. Sumber lain yang lebih terperinci, seperti Serat Kandaning Ringgit Purwa, menyebut perempuan tersebut dibawa ke Palembang dengan kawalan, kapal, dan abdi. Di sana, Raden Patah lahir dan kelak menolak ajaran Hindu-Buddha yang dianut keluarga angkatnya dan memilih Islam sebagai jalan hidup.
Versi yang lebih radikal muncul dalam Carita Purwaka Caruban Nagari. Di situ, ibu Raden Patah disebut sebagai Siu Ban Ci, putri dari Tan Go Hwat alias Syaikh Bantong, seorang ulama-saudagar Muslim asal Gresik. Jika ini benar, maka Raden Patah adalah cucu seorang ulama Tionghoa Muslim yang berperan besar dalam penyebaran Islam di pesisir utara Jawa. Pandangan ini diamini oleh Tome Pires dalam Suma Oriental yang menyebut Pate Rodin (Raden Patah) berasal dari “kalangan rendah” di Gresik—suatu sebutan khas Portugis yang kerap dilekatkan pada kalangan non-bangsawan lokal.
Munculnya narasi bahwa Dyah Kertawijaya adalah ayah kandung Raden Patah memperkuat upaya koreksi terhadap historiografi babad yang lama mengaburkan identitas asli Brawijaya. Dalam silsilah Majapahit, Dyah Kertawijaya adalah anak Wikramawardhana dan saudara dari Ratu Suhita. Ia naik takhta setelah Suhita wafat tanpa keturunan dan memerintah selama empat tahun (1447–1451) sebelum dibunuh oleh Sri Rajasawardhana.
Jika klasifikasi Brawijaya I hingga IX diurutkan berdasarkan raja yang benar-benar memegang kekuasaan resmi, maka Dyah Kertawijaya pantas disebut sebagai Brawijaya V. Sementara Bhre Kertabhumi, yang baru naik takhta pada 1468 setelah kudeta terhadap Dyah Suraprabhawa, lebih tepat disebut sebagai Brawijaya IX. Penyematan gelar Brawijaya V kepada Kertabhumi adalah hasil simplifikasi historiografi babad yang tidak sejalan dengan urutan kronologis raja-raja Majapahit.
Dyah Kertawijaya sendiri memiliki peran penting dalam masa peralihan Majapahit ke Islam. Ia memberi ruang bagi kerabatnya yang telah memeluk Islam untuk berkiprah dalam struktur kekuasaan. Di masa pemerintahannya, Islam mulai mendapat tempat di lingkungan istana, sebuah proses akulturasi keagamaan yang mencapai puncaknya setelah kemunculan tokoh-tokoh seperti Sunan Ampel dan penyebaran Islam yang masif di wilayah pesisir.
Setelah dewasa, Raden Patah meninggalkan Palembang dan menuju Jawa. Ia sempat berguru kepada Sunan Ampel di Surabaya dan kelak mendirikan pusat kekuasaan Islam di Demak. Dari sinilah Kesultanan Demak berdiri, menjadi simbol Islamisasi struktural di Jawa.
Kesultanan ini bukan sekadar proyek religius, tetapi juga politik. Ia menghimpun kekuatan dari daerah-daerah pesisir yang telah Islam, seperti Gresik, Tuban, dan Jepara, serta memanfaatkan kekosongan kekuasaan pasca-keruntuhan Majapahit. Dalam waktu singkat, Demak menggantikan posisi Majapahit sebagai kekuatan hegemonik di Jawa.
Jika benar Raden Patah adalah putra Dyah Kertawijaya, maka ia bukan hanya pendiri kerajaan Islam pertama di Jawa, tapi juga pewaris sah darah Majapahit. Ini menjelaskan mengapa Demak bisa mengklaim legitimasi politik atas Jawa pasca-Majapahit, sekaligus mengukuhkan dirinya dalam narasi transisi peradaban dari Hindu-Buddha ke Islam.
Historiografi tentang Raden Patah mencerminkan tarik-menarik antara fakta sejarah, tradisi lisan, dan konstruksi politik identitas. Versi babad yang menyebut Kertabhumi sebagai ayahnya cenderung lebih populer, namun versi yang berbasis pada sumber primer seperti Pararaton dan prasasti menunjukkan bahwa Dyah Kertawijaya adalah kandidat yang lebih tepat. Begitu pula identitas ibunya yang jika ditelusuri dari Carita Purwaka dan catatan Portugis, menunjukkan adanya darah Tionghoa-Muslim dalam dirinya.
Dengan memahami asal-usul Raden Patah secara lebih cermat dan kritis, kita tidak hanya membongkar mitos historiografi lama, tetapi juga melihat bagaimana identitas, agama, dan kekuasaan saling bertaut dalam pembentukan dunia baru pasca-Majapahit. Raden Patah, dalam konteks ini, bukan sekadar tokoh sejarah, tetapi simbol dari peralihan besar dalam sejarah Nusantara.