free web hit counter
Scroll untuk baca artikel
Serba Serbi

Menjemput Cahaya Islam: Pengembaraan Raden Patah dan Raden Kusen

Penulis : Aunur Rofiq - Editor : Dede Nana

13
×

Rencana Rilis PlayStation 6 Berpotensi Terungkap, Berkat Microsoft

Share this article
Stik Playstation
Lukisan realis: Raden Patah, Sultan Demak pertama, berdiri berdampingan dengan Raden Kusen, Adipati Terung, di halaman Masjid Agung Demak pada abad ke-15. Keduanya tengah berbincang dengan Sunan Ampel, sang guru dan ulama besar dari Wali Songo. (Foto: JatimTIMES)

JATIMTIMES - Pada akhir abad ke-15, ketika gugurnya cahaya Hindu-Buddha di timur Nusantara mulai terasa dan semangat keislaman perlahan-lahan menapaki pesisir-pesisir utara Jawa, dua nama muda dari Palembang mengawali perjalanan spiritual dan politiknya menuju jantung perubahan peradaban. 

Mereka adalah Raden Patah dan saudara seayahnya, Raden Kusen. Lahir dari rahim kekuasaan Majapahit namun dididik dalam percabangan dua keyakinan besar, keduanya kemudian menjadi pelaku utama dalam babak akhir kebesaran Majapahit dan pembuka lembaran baru sejarah Islam di tanah Jawa.

Baca Juga : Ini Kepala Daerah yang Berani Mendukung Wisata Sekolah di Tengah Pro Kontra

Raden Patah, putra Raja Majapahit dari selir asal Tionghoa, sejak kecil tumbuh di bawah asuhan ibunya dan Arya Damar, penguasa Palembang yang kala itu masih menganut nilai-nilai kepercayaan Hindu-Buddha. Pendidikan agama dasar yang diperolehnya dari sang ibu, menjadi bekal awal dalam menumbuhkan benih keislaman di dalam dirinya. 

Namun, seiring kedewasaannya, ia merasa haus akan pemahaman yang lebih dalam tentang Islam. Ketidakpuasan ini memuncak saat diskusi-diskusi keagamaan antara dirinya dan Arya Damar seringkali berujung pada perbedaan tajam.

Naskah "Serat Kandaning Ringgit Purwa" menggambarkan dengan cukup gamblang perdebatan antara Raden Patah dan Arya Damar mengenai hakikat ajaran yang sejati. Di dalamnya disebutkan bahwa Arya Damar masih berpegang pada ajaran "ngelmu Buda"—sebuah bentuk ajaran spiritual yang merupakan sintesis Hindu-Buddha. 

Sementara itu, Raden Patah, yang telah mengenal dasar-dasar Islam, memilih jalur tauhid sebagai fondasi hidupnya. Kekecewaannya terhadap Arya Damar bahkan membawanya mengambil langkah ekstrem: meninggalkan istana Palembang, melakukan uzlah dan tirakat di Gunung Sumirang.

Pengasingan itu bukan sekadar penghindaran dari konflik ideologis, namun juga sebuah persiapan spiritual menuju pengabdian yang lebih besar. Raden Kusen, putra kandung Arya Damar, yang kala itu sudah menyadari kecemerlangan visi spiritual sang saudara, memilih untuk meninggalkan ayahnya dan menyertai Raden Patah dalam perjalanan pengembaraan yang berat. 

Tekadnya bulat, seperti digambarkan dalam kutipan naskah kuno: "Pejah gesang paman kula, andherek panduka."—hidup dan mati akan diabdikan bagi sang paman.

Perjalanan keduanya kemudian membawa mereka melintasi hutan, menyusuri tepian sungai, hingga tiba di tepi samudra. Dalam kelaparan dan kelelahan, mereka akhirnya dipertemukan dengan seorang pelaut dari negeri Tiongkok yang bersedia membawa mereka menyeberang ke tanah Jawa. Di sana, sejarah mencatat pertemuan monumental mereka dengan Sunan Ampel, ulama terkemuka Wali Songo yang kelak menjadi guru spiritual utama mereka.

Sunan Ampel, sebagai sentral dakwah Islam di pesisir utara Jawa, tidak hanya menerima mereka sebagai murid, tetapi juga menjadikan mereka bagian dari keluarganya. Raden Patah dinikahkan dengan Dewi Murtosimah, putri Sunan Ampel. Raden Kusen dinikahkan dengan cucu sang Sunan, Nyai Wilis. Ikatan ini bukan sekadar kekeluargaan, tetapi juga bentuk penguatan jaringan dakwah dan legitimasi spiritual. Kabar tentang dua pemuda bangsawan dari Palembang yang berguru kepada Sunan Ampel pun sampai ke telinga Raja Majapahit.

Prabu Brawijaya, raja Majapahit, menyambut baik kabar itu. Ia memanggil Raden Kusen ke istana, dan dengan penuh penghargaan menerima pengabdiannya. Raden Kusen diangkat sebagai Adipati Terung (sekarang Sidoarjo), sebuah wilayah strategis yang saat itu menjadi perbatasan pengaruh antara Majapahit dan kekuatan-kekuatan Islam yang tengah tumbuh di pesisir utara Jawa. Penobatan ini menunjukkan bahwa Majapahit, meskipun masih bercorak Hindu-Buddha, tidak serta merta menolak kehadiran Islam.

Berbeda halnya dengan Raden Patah. Setelah ditugaskan oleh Sunan Ampel untuk membuka pedukuhan di Glagah Wangi, ia menghadapi tantangan dari bupati lokal yang menolak ajaran Islam. Penolakan itu mendorongnya untuk mundur ke wilayah Demak. Di tempat ini, Raden Patah membangun komunitas baru, yang kemudian berkembang sangat pesat. Kabar pertumbuhan dakwah Islam di Demak kembali terdengar oleh Raja Majapahit. Dalam pertemuan berikutnya, Raden Patah diangkat menjadi Adipati Bintara, dengan kewajiban menghadap setiap tahun ke Majapahit.

Namun, catatan sejarah dari Babad Tanah Jawi dan Sadjarah Banten menyiratkan konflik yang lebih dalam. Lembu Sora, adipati Bintara sebelumnya, menentang dakwah Islam yang digencarkan Raden Patah. Konfrontasi tak terelakkan. Raden Patah bersama pengikutnya menggulingkan Lembu Sora dalam sebuah serangan malam. Ia kemudian mengangkat diri sebagai Adipati Bintara, dan menyatukan wilayah itu dengan Demak, melahirkan satu entitas baru: Demak Bintara.

Dalam narasi historiografi, ini bukan sekadar peristiwa politik, tetapi juga transisi simbolik: dari kekuasaan lama berbasis Hindu-Buddha menuju kekuasaan Islam yang sah secara sosial dan spiritual. Anak Lembu Sora, Lembu Peteng, bahkan diangkat anak oleh Raden Patah—tindakan ini menunjukkan bukan hanya legitimasi politik, tetapi juga upaya rekonsiliasi dan kesinambungan antara masa lalu dan masa depan.

Raden Patah akhirnya mengambil gelar lengkap: Senapati Jimbun Ningrat Ngabdurahman Panembahan Palembang Sayidin Panatagama. Ini adalah deklarasi bukan hanya tentang kekuasaan, tetapi tentang misi: menyebarkan Islam sebagai agama rahmatan lil alamin di tanah Jawa. Demak di bawah pimpinannya kemudian menjadi kerajaan Islam pertama yang berdaulat penuh, sekaligus menjadi poros kekuatan baru yang menandai akhir era Majapahit.

Historiografi Nusantara mencatat bahwa peran Raden Kusen pun tak kalah penting. Sebagai Adipati Terung, ia menjadi perpanjangan tangan kekuasaan Majapahit, namun dengan simpati besar terhadap misi dakwah Islam. Ketika kelak terjadi perang antara Demak dan Majapahit, Raden Kusen berada di tengah dilema. 

Ia memimpin pasukan Majapahit dalam pertempuran melawan Demak, yang dipimpin oleh Raden Patah sendiri. Pertempuran yang menggambarkan benturan bukan hanya dua kekuatan politik, tetapi dua jalan hidup dan keyakinan. Namun, narasi sejarah menyiratkan bahwa walau berbeda kubu, keduanya tetap menjaga rasa hormat satu sama lain.

Melalui dokumentasi historiografi yang kita ulas dalam artikel ini, kita memperoleh gambaran utuh bahwa pengembaraan Raden Patah dan Raden Kusen bukan sekadar perjalanan fisik, melainkan juga perjalanan spiritual yang membentuk fondasi peradaban baru. Mulai dari perdebatan ilmu dengan Arya Damar, pengasingan di Gunung Sumirang, perjumpaan dengan pelaut Cina, hingga berguru kepada Sunan Ampel dan akhirnya membangun kekuasaan Islam di Demak—semuanya membentuk narasi utuh tentang bagaimana Islam tumbuh, bukan hanya melalui dakwah, tetapi juga melalui pengorbanan, pengembaraan, dan diplomasi yang mendalam.

Mereka adalah simbol generasi transisi. Mereka menjemput cahaya Islam di tengah gelapnya akhir kejayaan Majapahit. Dan dalam cahaya itulah, berdirilah Demak Bintara—kerajaan pertama yang menyatukan kekuasaan, ilmu, dan keimanan dalam satu semangat yang membawa perubahan besar bagi arah sejarah Nusantara.

Anak yang Diasingkan, Raja yang Bangkit: Kisah Lahirnya Raden Patah

Dalam lembar-lembar sejarah Jawa yang berselimut kabut mitos dan fakta, sosok Raden Patah berdiri sebagai sebuah paradoks historis: anak buangan dari istana Majapahit yang kemudian mengguncang warisan kerajaan itu sendiri dengan mendirikan Kesultanan Demak—kerajaan Islam pertama di tanah Jawa. Kisah kelahirannya bukan hanya sebentuk narasi genealogi, melainkan juga titik temu antara dinasti Hindu-Buddha yang meredup dan kebangkitan Islam sebagai kekuatan baru di Nusantara.

Asal-usul Raden Patah menjadi titik silang berbagai tradisi historiografi Jawa, baik yang bersifat babad, serat, maupun naskah lokal. Dalam sejumlah sumber seperti Babad Tanah Jawi, Serat Kandaning Ringgit Purwa, serta Carita Purwaka Caruban Nagari, Raden Patah disebut sebagai putra dari Prabu Brawijaya, raja terakhir Majapahit. Namun siapa sesungguhnya Prabu Brawijaya ini—Kertawijaya (1447–1451 M) atau Kertabhumi (1474–1478 M)—masih menjadi perdebatan sengit di antara sejarawan tradisional dan akademik.

Sumber-sumber keturunan Arya Damar, Adipati Palembang, mengidentifikasi Prabu Kertawijaya sebagai ayahanda Raden Patah. Kertawijaya sendiri, bergelar Abhiseka Wijaya Parakramawarddhana, dikenal sebagai raja yang dimakamkan di Kertawijayapura. Beberapa silsilah Palembang secara eksplisit menempatkan Arya Damar dan Raden Patah dalam garis keturunan langsung sang maharaja. Namun, versi yang lebih populer, seperti yang terdapat dalam Babad Tanah Jawi, menyatakan bahwa ibu Raden Patah adalah seorang perempuan Tionghoa yang menjadi selir raja, kemudian diberikan kepada Arya Damar yang memerintah di Palembang.

Versi ini mendapat dukungan naratif dari Serat Kandaning Ringgit Purwa Pupuh 400–401, yang menuturkan bagaimana Prabu Brawijaya menghadiahkan selir Tionghoa yang tengah hamil kepada Arya Damar. Dikisahkan bahwa perempuan ini sangat cantik dan memiliki kemampuan mistik: mampu berganti rupa hingga tiga kali dalam sehari, sehingga memicu kecemburuan permaisuri dari Champa. Setelah dipindahkan ke Palembang, perempuan itu melahirkan seorang bayi laki-laki yang kelak dikenal sebagai Raden Patah.

Menurut Carita Purwaka Caruban Nagari, nama asli selir Tionghoa itu adalah Siu Ban Ci, putri dari Tan Go Hwat dan Siu Te Yo, pasangan Muslim Tionghoa yang berdomisili di Gresik. Tan Go Hwat sendiri bukan hanya saudagar ulung, tetapi juga dikenal sebagai seorang ulama dengan gelar Syekh Bantong. Data ini bersesuaian dengan catatan Tome Pires dalam Suma Oriental (1512–1514), yang menyatakan bahwa pendiri Kesultanan Demak adalah cucu dari seorang Cina Muslim keturunan rendah dari Gresik.

Perlu dicatat, pada masa Majapahit akhir, masyarakat Cina, apalagi yang beragama Islam, termasuk dalam kategori sosial rendah sebagaimana ditunjukkan dalam Prasasti Sangguran. Mereka dianggap sebagai mleccha, golongan yang posisinya lebih rendah dari Candala dan jauh di bawah kasta Sudra. Fakta ini memperkuat gambaran bahwa Raden Patah lahir dari persilangan dua dunia: aristokrasi Hindu-Jawa dan imigran Muslim marginal.

Namun, kelahiran Raden Patah tidak serta-merta membawa kehinaan. Sebaliknya, melalui penyelubungan politik dan religiusitas, ia menjelma menjadi pelita baru dalam sejarah Jawa.

Pemindahan selir yang sedang hamil ke Palembang oleh Prabu Brawijaya merupakan langkah politis yang bercampur konflik domestik. Arya Damar, sebagai anak sulung, menerima tugas itu dan kelak mengasuh anak tersebut sebagai bagian dari rumah tangganya. Tak lama kemudian, selir Tionghoa itu melahirkan Raden Patah—anak yang secara lahir bukan keturunan Arya Damar, tapi secara politis dan genealogis tetap tersambung dengan trah Majapahit.

Dalam catatan lokal, Raden Patah disebut sebagai anak yang "bercahaya seperti bintang," memiliki karisma spiritual dan kecenderungan pada ajaran Islam sejak kecil. Ibunya kemudian menikah resmi dengan Arya Damar dan melahirkan Raden Kusen, saudara tiri Raden Patah yang kelak berperan penting dalam dinamika politik Demak dan Majapahit.

Kisah Raden Patah tidak bisa dilepaskan dari peran besar para Wali Songo. Dalam konteks historiografi Islam di Jawa, para wali adalah agen perubahan sosial, politik, dan budaya. Sosok seperti Sunan Ampel, yang juga disebut sebagai guru Raden Patah, menjadi jembatan antara spiritualitas Islam dan praksis kekuasaan. Melalui jalur pendidikan pesantren dan jaringan dagang antar-pesisir, Raden Patah mendapat dasar ideologis untuk membangun kekuasaan baru.

Dalam berbagai hikayat, Raden Patah disebut sempat berguru kepada Sunan Ampel di Surabaya. Sunan Ampel sendiri adalah bagian dari jejaring ulama transregional yang terhubung dengan Gujarat, Mekkah, dan Cina. Di tangan Raden Patah, ide-ide egalitarian Islam bertemu dengan klaim darah biru Majapahit, menghasilkan legitimasi politik yang unik dan kuat di mata masyarakat Jawa pesisir.

Menarik dicatat bahwa Raden Patah, dalam konteks kebangkitan Demak, justru mewarisi dan sekaligus meruntuhkan Majapahit. Dalam narasi-narasi tertentu, ekspedisi militer Demak ke Majapahit yang dipimpin oleh Raden Kusen (saudara tirinya) dan didukung Wali Songo, menjadi akhir dari dinasti Brawijaya. Ironisnya, dalam banyak versi babad, yang diperangi bukan ayah biologisnya, melainkan penguasa Majapahit yang dianggap tidak lagi sah karena menolak Islam dan dianggap menghambat dakwah.

Baca Juga : Spesifikasi Jam Tangan Rolex GMT-Master II, Hadiah Kemenangan Timnas yang Diduga dari Prabowo Subianto

Dengan mendirikan Demak pada awal abad ke-16, Raden Patah tidak hanya menciptakan kerajaan Islam pertama di Jawa, tetapi juga mengklaim dirinya sebagai pewaris sah trah Brawijaya yang telah "disucikan" oleh Islam. Dengan ini, sejarah politik Jawa mengalami transformasi besar: dari kerajaan agraris-ritualistik Hindu-Buddha menuju kerajaan maritim-egaliter Islam.

Sejarah kelahiran Raden Patah menyimpan pelajaran penting tentang betapa genealogi, spiritualitas, dan politik dapat berkelindan dalam narasi besar bangsa. Ia adalah simbol transisi, baik dari segi budaya maupun agama. Kisahnya merupakan bukti bahwa sejarah tidak selalu ditulis oleh mereka yang menang dalam perang, tetapi oleh mereka yang mampu merangkai warisan dan luka menjadi narasi yang menggerakkan zaman.

Dalam tradisi historiografi Jawa, Raden Patah adalah anak yang diasingkan, tapi tak pernah dilupakan. Ia adalah raja yang bangkit bukan dari kemewahan istana, melainkan dari kapal para perantau, dari pesantren para wali, dan dari suara rakyat yang haus akan keadilan baru. Sejarahnya bukan sekadar silsilah, melainkan cermin dari perubahan zaman.

Raden Kusen: Dari Adipati Terung ke Ayah Para Adipati Muslim

Raden Kusen, tokoh sentral dalam transisi Majapahit ke Demak, adalah Adipati Terung sekaligus adik kandung Sultan Demak I, Raden Patah. Ia lahir dari pernikahan Arya Damar—yang dikenal juga sebagai Ki Dilah atau Ario Abdillah, Adipati Palembang—dengan cucu Sunan Ampel, Nyai Wilis. Silsilah ini menempatkan Raden Kusen dalam jalur darah langsung Majapahit sekaligus keluarga Walisongo. Dalam dirinya, menyatu warisan kekuasaan Majapahit dan misi Islamisasi Jawa.

Raden Kusen memiliki dua putra utama: Arya Balitar, yang kemudian menjadi Adipati Balitar, dan Arya Terung, yang dikenal dalam tradisi tutur sebagai Ki Ageng Sengguruh, penguasa Kadipaten Sengguruh di wilayah Tulungagung-Malang. Keduanya hidup di tengah pergeseran zaman, ketika Majapahit merosot dan kerajaan-kerajaan Islam baru seperti Demak mulai menguat.

Arya Damar atau Ario Abdillah adalah Adipati Palembang yang ditunjuk langsung oleh Majapahit untuk menumpas kekacauan di Sumatera setelah pemberontakan Parameswara. Dalam beberapa sumber seperti Babad Tanah Jawi dan naskah-naskah Jawa-Bali, Arya Damar disebut sebagai putra Prabu Brawijaya V dari seorang perempuan penganut Bhairawa-Tantra bernama Endang Sasmitapura. Ia lahir dalam pengasingan dan dibesarkan oleh Ki Kumbarawa, pamannya, yang mengajarinya ilmu kesaktian.

Dalam berbagai tradisi, termasuk Babad Ratu Tabanan di Bali dan silsilah Madura, Arya Damar ditempatkan sebagai leluhur penting. Di Bali, ia menurunkan Arya Yasan, leluhur raja-raja Tabanan. Di Madura, ia adalah leluhur para penguasa seperti Kyai Demang Pelakaran dan Cakraningrat. Di Jawa, khususnya wilayah Blitar dan Malang, ia adalah leluhur para Adipati, melalui putranya, Raden Kusen.

Setelah keruntuhan Majapahit, wilayah kekuasaannya pecah menjadi kadipaten-kadipaten yang saling bersaing. Di tanah Blitar, berdiri Kadipaten Balitar yang dipimpin Adipati Arya Balitar yang telah memeluk Islam. Di sisi lain, muncul pula Kadipaten Sengguruh yang dipimpin Arya Terung alias Ki Ageng Sengguruh, juga seorang tokoh Islam.

Menurut naskah Tedhak Pusponegaran dan Serat Kandaning Ringgit Purwa, keduanya adalah saudara kandung. Mereka juga merupakan sepupu dari Sultan Trenggana, Sultan Demak yang terkenal agresif dalam ekspansi politik dan Islamisasi ke pedalaman Jawa.

Dalam konteks sejarah Blitar, keberadaan Arya Balitar sebagai tokoh Islam sangat penting. Ia mewakili pergeseran ke arah Islamisasi kekuasaan lokal di daerah yang dulunya tunduk pada Majapahit. Sedangkan Ki Ageng Sengguruh, sebagai penguasa wilayah Malang selatan, memimpin dakwah Islam di berbagai tempat seperti Panjer, Pakishaji, Turyan, Gribig, bahkan hingga Pamenang. Ia adalah ulama-penguasa yang gigih berdakwah di wilayah pegunungan yang dikenal keras dan penuh perlawanan.

Keluarga besar Raden Kusen, yang masih satu darah dengan Sunan Ampel dan Sultan Demak, memperlihatkan pola kekuasaan dan dakwah yang saling bersilang. Ketika Sultan Demak fokus ke Jawa utara dan barat, keluarga Raden Kusen mengambil peran di pedalaman Jawa Timur. Mereka tidak hanya menguasai secara politik, tetapi juga membawa Islam sebagai identitas baru kekuasaan.

Gelar "Kyai" yang digunakan keturunan mereka, seperti Kyai Tumenggung Pusponegoro, menunjukkan kesinambungan tradisi elite dari Majapahit, Islam, dan pengaruh wali. Gelar ini umum ditemukan di wilayah seperti Gresik, Lamongan, Pasuruan, dan Madura—daerah-daerah yang secara genealogis maupun ideologis bersambung dengan Arya Damar dan keturunannya.

Melalui jejak silsilah Raden Kusen, Adipati Arya Balitar, dan Ki Ageng Sengguruh, kita melihat gambaran jelas bagaimana sisa-sisa aristokrasi Majapahit tidak lenyap begitu saja. Mereka justru menjadi agen transisi dari kekuasaan Hindu-Buddha ke Islam di berbagai daerah. Kedua adipati ini, mewakili babak baru sejarah Blitar dan Malang, di mana darah Majapahit mengalir dalam tubuh para penyebar Islam.

Dengan demikian, narasi Blitar tidak bisa dilepaskan dari warisan besar Majapahit dan Demak. Dari Arya Damar hingga Raden Kusen, lalu ke Arya Balitar dan Sengguruh, sejarah membentang dalam satu garis darah: dari istana Majapahit ke langgar-langgar Islam pedalaman Jawa Timur.

Loyalitas Terakhir: Ketika Raden Kusen Memilih Majapahit dan Berperang Melawan Raden Patah

Pada akhir abad ke-15, tanah Jawa diguncang oleh perpecahan besar yang tidak hanya menggoyahkan tatanan politik, tetapi juga mengoyak ikatan keluarga dan warisan budaya: perang saudara antara dua saudara seayah—Raden Kusen dan Raden Patah. Keduanya merupakan keturunan raja Majapahit dari garis yang berbeda. Raden Patah dikenal sebagai putra Brawijaya V (Prabu Kertawijaya) dari seorang selir berdarah Tionghoa, sementara Raden Kusen adalah anak Arya Damar dengan perempuan Tionghoa yang sebelumnya menjadi selir Brawijaya V, sehingga menjadikannya saudara tiri Raden Patah. Namun, ikatan darah tak mampu menahan gelombang sejarah.

Majapahit, yang telah lama menjadi lambang kejayaan Jawa-Hindu-Buddha, mulai retak akibat konflik internal, perebutan tahta, dan tekanan dari luar. Ketika Bhre Kertabhumi atau Brawijaya IX digulingkan oleh Dyah Ranawijaya Girindrawardhana dari Kediri pada 1478, simbolisasi runtuhnya Majapahit tercatat dalam candrasengkala “Sirna Ilang Kertaning Bhumi” (1400 Saka/1478 M). Namun faktanya, sisa-sisa kekuasaan Majapahit masih bertahan melalui loyalis seperti Raden Kusen, Adipati Terung.

Sementara itu, di pesisir utara Jawa, Raden Patah membangun kekuatan baru di Demak-Bintara. Berawal dari jabatan sebagai tandha (pejabat lokal) di bawah Majapahit, ia berhasil mengambil alih kekuasaan di Bintara setelah Adipati Lembu Sora gugur. Raden Patah kemudian menyatukan Demak dan Bintara, memproklamirkan dirinya sebagai raja Islam pertama di Jawa dengan gelar Senapati Jimbun Ningrat Ngabdurrahman Panembahan Palembang Sayidin Panatagama.

Tragedi dimulai ketika Demak mulai menantang hegemoni sisa kekuasaan Majapahit. Dalam pertempuran awal antara dua kerajaan ini, Raden Kusen memimpin pasukan Majapahit melawan saudaranya sendiri. Babad Tanah Jawi mencatat dengan getir bahwa dalam salah satu pertempuran, Raden Kusen berhasil membunuh Sunan Ngudung—panglima militer Demak sekaligus ayah dari Sunan Kudus, murid Wali Songo yang juga cucu menantu Raden Kusen.

Meski kemenangan awal berpihak pada Majapahit, kekuatan spiritual dan militer Demak semakin menguat. Serangan kedua dipimpin oleh Sunan Kudus, yang tidak hanya mengusung semangat jihad tetapi juga membawa pusaka dari Palembang yang dipercaya menimbulkan badai saat dibuka. Dalam konteks ini, perang bukan hanya tentang pedang dan strategi, tetapi juga keyakinan dan kekuatan gaib yang diyakini memberi semangat juang luar biasa bagi pasukan Demak.

Pertempuran berlanjut hingga serangan ketiga pada 1517, tahun yang oleh banyak sejarawan dijadikan penanda resmi berakhirnya Majapahit. Di saat genting, Raden Kusen, menyadari bahwa yang memimpin pasukan lawan adalah menantunya sendiri, memilih untuk mundur. Mundurnya Adipati Terung menandai pecahnya pertahanan terakhir Majapahit. Demak kemudian mengonsolidasikan kekuasaannya, menaklukkan wilayah-wilayah seperti Blitar dan Sengguruh, serta memburu sisa-sisa loyalis Majapahit ke pegunungan dan pedalaman Jawa Timur.

Namun kisah Raden Kusen tak berakhir di sana. Naskah Kronik Sam Poo Kong dan Mertasinga mencatat bahwa Sunan Kudus mengirim surat pribadi kepadanya, menawarkan pengampunan atas kematian ayahandanya, Sunan Ngudung. Dengan kebesaran jiwa dan kesadaran akan perubahan zaman, Raden Kusen menyerahkan diri ke Demak. Ia disambut dengan hormat oleh Raden Patah dan Sunan Kudus, menandai fase rekonsiliasi antara Majapahit dan Demak.

Raden Kusen tak hanya diterima sebagai bangsawan tua, tetapi juga dijadikan bagian dari elite baru. Ia menikah dengan Nyai Wilis, perempuan dari garis keturunan Sunan Ampel. Anak-anak mereka, Arya Balitar dan Adipati Sengguruh, kemudian menjadi penguasa lokal di bawah struktur Kesultanan Demak, menunjukkan bagaimana elite lama diintegrasikan ke dalam tatanan baru.

Aliansi lebih dalam terjalin ketika Sunan Kudus menikahi Dyah Ayu Uttari, putri Raden Kusen. Pernikahan ini tidak hanya menyatukan darah bangsawan Majapahit dan Wali Songo, tetapi juga memperkokoh klaim legitimasi spiritual dan politik Kesultanan Demak. Langkah strategis ini memperlihatkan bahwa transisi kekuasaan di Jawa tidak hanya diwarnai kekerasan, tetapi juga negosiasi, pernikahan politik, dan transformasi ideologis.

Loyalitas Raden Kusen kepada Majapahit menjadikannya tokoh tragis sekaligus monumental dalam sejarah Jawa. Ia adalah simbol kesetiaan kepada tatanan lama, tetapi juga tokoh kunci dalam transisi damai menuju era baru. Perjalanannya dari panglima Majapahit menjadi mertua Sunan Kudus, dari musuh di medan perang menjadi bagian dari elite baru Demak, menunjukkan kompleksitas perubahan politik di Nusantara.

Perang saudara antara Raden Kusen dan Raden Patah bukan sekadar konflik kekuasaan, tetapi pertarungan nilai, identitas, dan masa depan. Dalam peristiwa itu, sejarah Jawa bergeser dari Majapahit yang bercorak Hindu-Buddha menuju Demak yang bercorak Islam, tanpa menghapus warisan lama sepenuhnya—melainkan menyerapnya dalam bentuk baru. Raden Kusen berdiri di antara dua zaman: sebagai benteng terakhir Majapahit dan sekaligus jembatan menuju dunia baru.