JATIMTIMES - Pada abad ke-17, tanah paling timur Pulau Jawa menjadi saksi dari konflik panjang yang melibatkan kekuasaan lokal, kerajaan besar, dan pengaruh kolonial. Blambangan, wilayah yang kerap dipandang sebagai perbatasan liar, merupakan arena tarik-menarik hegemoni antara Kerajaan Mataram, kekuatan kerajaan Bali Gelgel, dan kemudian campur tangan Kompeni Belanda. Di tengah pusaran sejarah ini, muncul sosok Tawangalun, penguasa spiritual dan politik, yang kemudian dikenal sebagai "Macan Putih dari Blambangan."
Blambangan: Warisan Majapahit dan Tekanan dari Mataram
Setelah runtuhnya Majapahit, Blambangan menjadi semacam enclave terakhir dari budaya dan kekuasaan Hindu-Jawa yang menolak tunduk pada ekspansi Islam. Pada akhir abad ke-16, Blambangan jatuh ke tangan Raja Bali Gelgel—sebuah episode yang menandai awal dari pengaruh Bali di wilayah ini. Lekkerkerker dalam kajiannya terhadap sumber-sumber seperti "Babad Sembrani" mencatat bahwa raja-raja Blambangan pada periode ini memiliki darah Bali yang kental. Tradisi lisan dan teks-teks babad turut memperkuat narasi bahwa setelah tahun 1600, Blambangan secara de facto berada dalam orbit Gelgel.
Baca Juga : Profil Lengkap Hideo Kojima 2025: Visi, Game Terbaru, dan Gaya Hidup Unik
Namun, keberadaan Blambangan di bawah bayang-bayang Bali tidak berlangsung tenang. Mataram di bawah kepemimpinan Sultan Agung (1613–1646) mulai mengonsolidasikan kekuasaan di Jawa Timur dan menganggap Blambangan sebagai bagian dari ekspansi politik dan spiritualnya. Pada tahun 1625, Sultan Agung mengirim ekspedisi militer besar-besaran ke Blambangan yang melibatkan 20.000 hingga 30.000 prajurit. Namun Blambangan, yang saat itu juga menjalin komunikasi dengan Belanda, mencoba mencari aliansi guna menahan tekanan dari Mataram. Sayangnya, pengepungan Batavia oleh Mataram pada 1628–1629 merusak jaringan diplomatik yang sedang dibangun itu.
Kehancuran dan Rekonstruksi: Jalan Panjang Menuju Tawangalun
Blambangan mengalami serangkaian kehancuran. Pada 1631, ibukota Panarukan diserbu bajak laut; penduduknya mengungsi jauh ke pedalaman. Tahun 1636, Mataram kembali menyerang dan menghancurkan hampir seluruh Blambangan. Namun bantuan datang dari para pangeran Bali seperti Dewa Agung Panji Buleleng dan Dewa Lengkara. Meskipun raja saat itu, Sang Dipati, dikalahkan, anaknya Mas Kembar tetap berusaha mempertahankan dinasti dengan bantuan militer Bali. Mas Kembar kemudian dikalahkan dan dideportasi ke Mataram, tetapi karena bersumpah setia, ia diangkat kembali sebagai penguasa Blambangan—sebuah manuver politik khas era feodal.
Upaya Bali untuk mempertahankan pengaruhnya atas Blambangan tetap berlangsung. Setelah Sultan Agung wafat, Dewa Agung dari Gelgel mencoba kembali menancapkan kekuasaan di Blambangan. Namun Mataram di bawah Amangkurat I segera mengirim ekspedisi militer pada tahun 1647 yang berakhir dengan pengasingan 1.500 penduduk Blambangan ke wilayah Prambanan. Dua panglima ekspedisi, Wiraguna dan Danupaya, bahkan dieksekusi oleh Amangkurat I karena dianggap gagal melanjutkan serangan ke Bali.
Pada periode inilah, Blambangan menjadi semacam pion dalam permainan hegemoni antara dua pusat kekuatan besar: Mataram di Jawa dan Gelgel di Bali. Namun keadaan berubah drastis ketika kerajaan Bali mengalami fragmentasi internal. Pada 1651, Karangasem, Mengwi, dan Buleleng memisahkan diri, menghancurkan supremasi Gelgel. Mataram pun memperkuat cengkeramannya atas Blambangan, menuntut upeti tahunan dan pengiriman duta secara berkala.
Di tengah periode pasca-penaklukan ini, muncul nama Tawangalun. Ia adalah anak Kedawung, bangsawan berdarah Bali yang meniti jalan spiritual dan kekuasaan. Pada tahun 1665, ia naik takhta. Di sinilah babak baru Blambangan dimulai.
Namun kekuasaan Tawangalun tak langsung mengakar. Saudaranya, Mas Wila, berambisi menggulingkannya. Perang saudara pun pecah. Tawangalun lari ke Bayu—kawasan yang seratus tahun kemudian dikenal sebagai pusat perlawanan Rempeg Jagapati. Di hutan Bayu, ia membangun keraton baru dan meraih dukungan rakyat. Enam tahun kemudian, Mas Wila menyerang Bayu namun gugur dalam pertempuran. Tawangalun akhirnya menjadi penguasa tunggal Blambangan.
Ia dijuluki Pangeran Adipati Macan Putih. Julukan ini bukan sekadar nama, tetapi simbol kekuatan, kharisma, dan keterasingannya dari dunia profan. Ia tinggal di kawasan Pangabekten, tenggara Gunung Raung, menjalani laku tapa. Dalam versi Babad Blambangan yang disunting Brandes, Tawangalun disebut sebagai pendiri kota Macan Putih di rimba Sudyamara.
Peninggalan arkeologis berupa puing-puing bata besar di desa Malar, Ragajampi, dipercaya sebagai sisa keraton Macan Putih. Struktur ini dikelilingi dinding bata raksasa. Hingga abad ke-19, situs ini masih dihormati. Juru kunci setempat bahkan percaya bahwa Tawangalun adalah seorang Wali yang menyebarkan Islam di tanah Blambangan. Dalam satu versi, ia tidak mati, melainkan moksa—hilang tanpa jasad, kembali ke kahyangan.
Strategi Diplomasi dan Perlawanan Halus
Berbeda dengan para pendahulunya yang memilih jalur frontal, Tawangalun lebih lihai memainkan perimbangan kekuasaan. Ia menjaga hubungan hati-hati dengan Mataram. Namun sekitar tahun 1676, secara diam-diam ia menghentikan pengiriman upeti tahunan dan kunjungan ke Mataram. Ini adalah bentuk perlawanan simbolik, sebuah deklarasi kemerdekaan terselubung.
Saat itu, Amangkurat I tengah menghadapi pemberontakan Trunajaya di wilayah kekuasaannya. Tawangalun memanfaatkan situasi ini. Ia memperkuat basis spiritual dan infrastruktur kerajaannya.
Pemerintah Mataram, yang mulai melemah, tidak mampu menindak langsung pembangkangan ini. Tawangalun justru memperkuat posisinya dengan memanfaatkan kekosongan kekuasaan. Pada tahun 1680, ketika VOC mengirim kapten Jeremias van Vliet untuk meredam pemberontakan orang Makassar dan Melayu di Blambangan, Van Vliet menemukan bahwa Tawangalun telah memproklamirkan dirinya sebagai Susuhunan Blambangan — semacam pernyataan kemerdekaan dari Mataram.
Upaya Batavia untuk merangkul Blambangan dilakukan pada 1685 melalui pengiriman Van Vliet kembali ke sana, menawarkan aliansi. Namun, respons Tawangalun tidak tercatat dalam dokumen-dokumen resmi. Barulah pada tahun 1690, ia secara aktif mengirim utusan ke Jepara dan Surabaya untuk menjajaki kerja sama dengan VOC guna menghadapi ancaman dari Surapati, yang telah merebut sebagian wilayahnya. Ini menandai pergeseran strategis Blambangan yang perlahan mulai membuka diri terhadap kekuatan asing demi mempertahankan kedaulatan lokal.
Di masa pemerintahan Tawangalun, Blambangan mengalami masa damai dan kemakmuran. Berbagai kuil dan kota berkembang. Periode ini tercatat sebagai masa keemasan terakhir Blambangan sebelum dihancurkan oleh kekuatan kolonial dan feodal pada abad ke-18.
Kematian atau Moksa?
Baca Juga : Ibadah Haji Tak Lagi di Musim Panas Hingga 2050
Tahun 1691 menandai akhir dari masa pemerintahan Tawangalun, tetapi bukan dengan kematian biasa. Dalam versi prosa Babad Blambangan yang disunting oleh Brandes, disebutkan bahwa Tawangalun mencapai moksa — menghilang secara fisik dan “naik” ke alam kahyangan sebagaimana dalam ajaran Hindu dan Buddha. Dalam pandangan lokal, peristiwa ini dimaknai sebagai bentuk reinkarnasi atau pelepasan diri dari siklus hidup duniawi.
Peninggalan spiritual dan fisik Tawangalun masih dijaga hingga kini oleh masyarakat sekitar Macan Putih di Malar, utara Ragajampi. Puing-puing keratonnya, berupa gundukan tanah dan bata merah, dipercaya sebagai tempat moksa sang raja. Juru kunci di situs tersebut menyebut Tawangalun sebagai seorang Wali, menyiratkan sinkretisme antara kepercayaan Hindu-Buddha dan Islam di wilayah Blambangan. Narasi ini menunjukkan bahwa sosok Tawangalun telah mengalami transformasi dari raja menjadi tokoh suci yang dikenang dalam lisan rakyat.
Warisan Tawangalun dalam Historiografi
Narasi tentang Tawangalun sebagian besar tersimpan dalam manuskrip lokal seperti Babad Blambangan. Tiga filolog penting—Brandes, Winarsih Arifin, dan Darusuprapto—telah meneliti dan menyunting naskah-naskah tersebut. Dalam versi tembang dan prosa, Tawangalun digambarkan sebagai sosok arif, sakti, dan religius. Brandes bahkan mencatat bahwa babad ini cenderung ditulis oleh penulis yang berpihak kepada Bali.
Menurut Wikkerman, pusat kekuasaan Macan Putih bukan sekadar simbol, tetapi kenyataan sejarah. Ia berhasil merekonstruksi struktur kekuasaan lokal yang relatif independen dari Mataram. Tawangalun adalah figur yang memadukan kepemimpinan politik, spiritualitas Hindu-Buddha yang bersinergi dengan Islam lokal, dan kekuatan karismatik khas raja-raja Nusantara.
Di tangan Tawangalun, Blambangan bukan sekadar daerah taklukan. Ia adalah kerajaan dengan identitas sendiri, berakar dari warisan Bali dan Jawa Timur, namun memiliki karakter yang unik. Ia membangun kembali rasa kebangsaan lokal yang terinjak-injak selama invasi Mataram.
Ia juga meletakkan dasar penting bagi resistensi kultural yang nanti diteruskan oleh tokoh-tokoh perlawanan seperti Jagapati, Wong Agung Wilis, hingga semangat patriotik rakyat Bayu pada akhir abad ke-18.
Identitas Blambangan sebagai negeri yang tak mudah tunduk pada kekuasaan eksternal tumbuh dari narasi perlawanan dan keteguhan Tawangalun. Warisan ini pula yang menjadikan Blambangan tetap eksis secara kultural meski secara politis ia kemudian dihapus oleh VOC.
Tawangalun, Sang Macan Putih, adalah manifestasi dari kekuatan lokal yang hidup di antara riak-riak kekuasaan besar. Ia bukan hanya raja; ia adalah simbol perlawanan, spiritualitas, dan keteguhan identitas. Dalam narasi historiografi yang ditulis para orientalis dan sejarawan kolonial, kisahnya kerap tersingkir. Namun dalam babad lokal, ia hidup sebagai legenda yang mengilhami banyak generasi.
Penulis dengan tegas berpendapat bahwa tokoh seperti Diponegoro menjadi penting bukan hanya karena perjuangan militernya, tetapi karena spiritualitas dan simbolisme yang ia bawa. Tawangalun, dalam hal ini, adalah Diponegoro dari Blambangan. Ia bukan hanya Macan Putih karena keberaniannya, tetapi karena ia hadir sebagai cahaya dalam kegelapan sejarah timur Jawa.
Warisan Tawangalun adalah kisah tentang bagaimana identitas, spiritualitas, dan politik lokal bersatu dalam satu tubuh penguasa, yang hingga kini masih dikenang oleh tanah, pohon, dan rakyat Blambangan.