JATIMTIMES – Proyek sanitasi yang semestinya menjadi solusi lingkungan bagi warga Kota Blitar justru menjelma menjadi skandal korupsi berjamaah. Kejaksaan Negeri (Kejari) Kota Blitar menetapkan lima tersangka baru dalam kasus dugaan korupsi proyek Instalasi Pengolahan Air Limbah (IPAL) tahun anggaran 2022 senilai Rp1,6 miliar.
Di antara tersangka terbaru itu, terselip dua nama pejabat publik yang tak asing: Suharyono, mantan Kepala Dinas PUPR Kota Blitar yang terakhir menjabat Asisten Bidang Pembangunan dan Umum Setda Kota Blitar, serta Mastur Hudi, Plt Lurah Sukorejo yang juga menjabat Ketua Kelompok Swadaya Masyarakat (KSM) Mayang Makmur 2.
Baca Juga : Toko Bangunan di Srengat Blitar Terbakar, Api Diduga dari Kabel Meleduk
Kepala Kejaksaan Negeri Kota Blitar, Baringin, dalam keterangan pers, Selasa, 3 Juni 2025, menjelaskan bahwa penyidik telah menemukan bukti permulaan yang cukup untuk menetapkan lima tersangka baru. Selain SY dan MH, tiga nama lain yang turut ditetapkan sebagai tersangka ialah TK (Ketua KSM Wiroyudan), AW (Ketua KSM Turi Bangkit), dan HK (Ketua KSM Ndaya’an).
“Kelima tersangka terlibat dalam proyek-proyek swakelola yang tersebar di beberapa kelurahan. Namun, dalam pelaksanaannya ditemukan banyak penyimpangan yang berujung pada kerugian negara,” ujar Baringin.
Proyek yang disorot berasal dari Dana Alokasi Khusus (DAK) Fisik Bidang Perumahan dan Permukiman Tahun Anggaran 2022, dengan rincian kegiatan meliputi pembangunan IPAL, penambahan saluran rumah, tangki septik komunal, serta jasa tenaga fasilitator lapangan (TFL). Total anggaran yang digelontorkan mencapai Rp1,6 miliar.
Pembangunan IPAL di Kelurahan Kepanjenlor oleh KSM Wiroyudan, yang diketuai TK, menelan anggaran belanja hibah sebesar Rp478 juta. Di Kelurahan Kauman, penambahan saluran rumah dikerjakan KSM Ndaya’an pimpinan HK senilai Rp125 juta. Di Turi dan Sukorejo, masing-masing proyek tangki septik dikerjakan KSM Turi Bangkit (AW) dan KSM Mayang Makmur 2 (MH), dengan anggaran masing-masing Rp400 juta. Sementara itu, jasa TFL untuk seluruh kegiatan ditetapkan sebesar Rp72 juta.
Baringin membeberkan bahwa Suharyono, selaku Kuasa Pengguna Anggaran (KPA) dan Pejabat Pembuat Komitmen (PPK), melakukan penunjukan langsung terhadap TFL tanpa proses seleksi. Ia juga menentukan lokasi proyek tanpa seleksi partisipatif dan menyetujui pelaksanaan kegiatan di lahan yang tak memenuhi kriteria teknis.
Lebih dari itu, Kepala Dinas PUPR waktu itu juga menerbitkan SK pembentukan TPS-KSM tanpa melibatkan panitia seleksi atau melakukan kajian kepemimpinan. "Pekerjaan yang seharusnya melewati proses verifikasi justru dilaksanakan secara serampangan dan formalitas administrasi dilimpahkan kepada pihak ketiga tanpa dasar validasi," tegasnya.
Dalam praktiknya, para ketua KSM tidak melibatkan bendahara, memberikan nota kosong untuk pembuatan laporan pertanggungjawaban (LPJ), dan menyerahkan sepenuhnya penyusunan dokumen perencanaan hingga pelaporan kepada TFL dan rekan-rekannya.
Baca Juga : Antisipasi Penyebaran Covid Varian Baru Dinas Kesehatan Banyuwangi Lakukan Konsolidasi Kewaspadaan Dini
Akibat dari praktik korup ini, negara ditaksir menderita kerugian sebesar Rp553 juta, terdiri dari kekurangan volume pekerjaan Rp481 juta dan jasa TFL yang tidak sah senilai Rp72 juta.
Dari lima tersangka yang dipanggil, hanya tiga yang hadir—yakni Suharyono, Mastur Hudi, dan TK. Mereka langsung ditahan selama 20 hari ke depan di Lapas Kelas IIB Blitar. Sementara dua lainnya, AW dan HK, mangkir dari pemeriksaan tanpa keterangan resmi.
Penasihat hukum Suharyono, Supriarno, menyampaikan keberatannya atas proses penetapan tersangka yang menurutnya tidak melalui pemeriksaan terlebih dahulu. "Klien kami belum pernah diperiksa sebagai tersangka. Kami akan mempelajari apakah penahanan ini sudah sesuai prosedur,” katanya.
Penyidikan kasus ini terus meluas. Dengan lima tersangka baru, kini total sudah tujuh orang yang tersangkut perkara korupsi IPAL Blitar, termasuk dua terdakwa dari TFL yang lebih dahulu dibawa ke meja hijau.
Kejaksaan menyatakan tidak menutup kemungkinan akan ada tersangka tambahan. Penegakan hukum ini diharapkan menjadi sinyal kuat bahwa pengelolaan dana publik tidak bisa lagi dijadikan ladang bancakan.