free web hit counter
Scroll untuk baca artikel
Serba Serbi

Jejak Raden Trunojoyo dan Kebangkitan Macan Wulung di Sumenep

Penulis : Aunur Rofiq - Editor : Yunan Helmy

13
×

Rencana Rilis PlayStation 6 Berpotensi Terungkap, Berkat Microsoft

Share this article
Stik Playstation
Lukisan realis bergaya kanvas cat minyak menggambarkan sosok Raden Trunojoyo, bangsawan Madura abad ke-17 yang menaklukkan istana Mataram pada 1677. (Foto: Ilustrasi dibuat JatimTIMES)

JATIMTIMES - Kebangkitan Raden Trunojoyo dalam sejarah abad ke-17 bukan sekadar kisah pemberontakan terhadap kekuasaan Mataram, melainkan juga representasi kompleksitas kekuasaan lokal Madura dalam pergolakan politik Jawa. Salah satu aspek paling menarik dari pemberontakan ini adalah keterlibatan langsung wilayah-wilayah seperti Pamekasan, Sampang, dan Sumenep yang kemudian menjadi titik-titik penting dalam penyebaran pengaruh Trunojoyo. 

Dalam konteks ini, muncul tokoh legendaris Tumenggung Yudanagara—yang kelak menyandang gelar Macan Wulung—sebagai simbol kebangkitan politik lokal di ujung timur Madura.

Baca Juga : Arya Menak Sumendi: Dari Adipati Lumajang ke Leluhur Sultan Cirebon, Palembang, dan Blitar

Dalam "memo pendek untuk Couper" yang ditulis oleh Laksamana Cornelis Speelman pada tahun 1677, disebutkan secara eksplisit bahwa basis awal pemberontakan Trunojoyo berada di Pamekasan. Di sana, Trunojoyo memperoleh dukungan penuh dari para tokoh lokal. Pamekasan, yang terletak di jantung Pulau Madura, menjadi fondasi utama kekuatan Trunojoyo sebelum ekspansi ke wilayah timur, termasuk Sumenep. Meskipun sumber Belanda mengungkapkan bahwa informasi tentang Pamekasan cukup terbatas, keberadaan tokoh-tokoh seperti Wiranegara dan putranya, Wiradipa, menunjukkan bahwa daerah ini memiliki struktur kekuasaan yang berpengaruh.

Sementara itu, di barat pulau, Sampang dipimpin oleh Mas Aria Jayengpati, mantan kepala daerah Sumenep yang kuat. Jayengpati merupakan salah satu simpatisan Trunojoyo yang memainkan peran penting dalam pembentukan aliansi Madura-Jawa yang hendak menggoyang hegemoni Mataram. Di tengah kontestasi inilah, muncul nama Tumenggung Yudanagara dari Sumenep, sosok yang kelak menjadi pilar utama kekuasaan Trunojoyo di Madura.

Tumenggung Yudanagara adalah figur kompleks. Dalam arsip Belanda (Opkomst jilid VII), disebutkan bahwa pada tahun 1680, Pangeran Cakraningrat II—mantan pangeran Sampang—merasa inferior terhadap Yudanagara karena kedudukan sebelumnya yang lebih rendah. Namun, narasi lokal dalam Bhabad Songennep menyajikan gambaran yang jauh lebih kaya. Menurut babad tersebut, Yudanagara merupakan keturunan langsung dinasti tua Sumenep yang pernah melakukan perlawanan terhadap ekspedisi Sultan Agung tahun 1624.

Yudanagara sejak awal telah terbuai oleh pesan-pesan Trunojoyo yang mengklaim bertindak atas nama putra mahkota Mataram, cucu dari Pangeran Pekik Surabaya. Karena silsilahnya yang juga terhubung ke elit Surabaya, Yudanagara menerima klaim legitimasi Trunojoyo. Bahkan, secara terbuka ia mengakui otoritas Trunojoyo dan menyatakan kesetiaannya atas nama kedaulatan Sri Baginda. Ini menunjukkan bahwa pemberontakan Trunojoyo di Madura tidak semata-mata militeristik, tetapi juga dibungkus dengan simbolisme politik dan silsilah bangsawan Jawa-Madura.

Salah satu bagian paling menarik dari narasi ini adalah kisah Raden Bugan, cucu Pangeran Ellor II, Raja Sumenep yang gugur dalam perlawanan terhadap Mataram pada tahun 1624. Dalam Bhabad Songennep, Raden Bugan digambarkan sebagai pemuda saleh yang belajar pada seorang kiai ternama di Cirebon. Dalam perjalanan spiritualnya, ia bertemu dengan Trunojoyo yang tengah bertapa di Pulau Mandangéh (sekarang Pulau Kambing). Pertemuan ini tidak hanya simbolis, tetapi juga strategis.

Raden Trunojoyo memerintahkan Bugan untuk kembali ke Sumenep dan mengabdi sebagai abdi raja. Ketika saatnya tiba, Trunojoyo akan menyerbu Sumenep, namun tidak akan menghancurkan kota tersebut. Raden Bugan, yang kemudian dikenal dengan nama Wangsajaya, akan menyambutnya sebagai saudara dan membuka jalan bagi pengambilalihan kekuasaan secara damai.

Sebagaimana diramalkan, Trunojoyo akhirnya menyerbu wilayah Sumenep dan menantang Aria Jayengpati. Pertempuran pecah di Desa Parén Duwan. Di sinilah drama politik dimainkan. Pada malam hari sebelum pertempuran, Wangsajaya menyelinap ke kubu Trunojoyo dan mengatur skenario penyerahan kekuasaan. Esok harinya, tanpa pimpinan, pasukan Jayengpati mundur. Aria Jayengpati melarikan diri ke arah barat, dan Trunojoyo masuk ke istana tanpa perlawanan berarti.

Sebagai ganjaran atas loyalitas dan kelicikan politiknya, Wangsajaya diangkat menjadi penguasa Sumenep dengan gelar Tumenggung Yudanagara. Dengan gelar kehormatan Macan Wulung, ia mengukuhkan kekuasaannya atas Sumenep dan Pamekasan. Masyarakat Sumenep menyambutnya dengan penuh sukacita karena ia membawa legitimasi genealogis dan spiritual, serta menyejahterakan wilayah tersebut.

Kisah Trunojoyo dan Macan Wulung Yudanagara di Sumenep adalah narasi historis yang penuh warna. Ia memadukan aspek dokumenter Belanda, genealogi bangsawan, cerita tutur rakyat, dan strategi politik realis. Melalui kisah ini, kita melihat bahwa pemberontakan Trunojoyo bukan sekadar tindakan militer melawan Mataram, tetapi juga sebuah gerakan yang mengaktifkan kembali struktur kekuasaan lokal di Madura. Tokoh seperti Tumenggung Yudanagara menjadi contoh bagaimana elite lokal mampu memanfaatkan krisis pusat untuk membentuk kembali kekuasaan daerah.

Melalui peristiwa-peristiwa ini, Sumenep tidak hanya menjadi latar belakang pasif, melainkan arena politik aktif dalam sejarah Jawa-Madura. Legitimasi politik, spiritualitas, dan keberanian lokal berpadu dalam kebangkitan Macan Wulung, yang menandai sebuah momen penting dalam sejarah lokal Madura pada abad ke-17.

Trunojoyo dan Adipati Anom: Fondasi Rahasia dari Sebuah Koalisi yang Gagal

Kerajaan Arosbaya adalah kerajaan Islam pertama di Madura, didirikan abad ke-15 oleh Kiai Demang Plakaran, bangsawan keturunan Prabu Brawijaya V melalui Aria Damar dari Palembang. Dari sini, Arosbaya menjadi pewaris trah Majapahit sekaligus pelopor Islamisasi di Madura.

Putra Demang Plakaran, Kiai Pragalba alias Pangeran Arosbaya, melanjutkan misi dakwah dengan dukungan wali-wali seperti Sunan Kudus. Kekuasaan lalu diteruskan oleh Raden Pratanu (Panembahan Lemah Duwur), raja progresif yang memindahkan pusat kekuasaan ke Lemah Duwur dan membentuk aliansi dengan Kesultanan Pajang lewat pernikahan dengan putri Sultan Hadiwijaya (Jaka Tingkir).

Dari pernikahan ini lahir Pangeran Tengah, raja terakhir Arosbaya (1592–1624), ayah dari Cakraningrat I. Salah satu putra Cakraningrat adalah Demang Malayakusuma, yang menurunkan Raden Trunojoyo.

Trunojoyo mewarisi darah Majapahit, Pajang, dan Arosbaya. Tetapi juga mewarisi luka kolektif: pada 1624, kakeknya, Pangeran Tengah, ditaklukkan oleh ekspedisi besar Sultan Agung dari Mataram. Kekuasaan Madura pun dirampas, dan Arosbaya dibubarkan.

Baca Juga : Kalender Jawa Weton Kamis Pon 5 Juni: Ini Peruntungannya

Sebagai cucu raja yang dikalahkan, Trunojoyo tumbuh dengan kesadaran genealogis dan politik yang kuat. Ketika ia memimpin pemberontakan terhadap Mataram pada 1674–1680, ia tak sekadar mencari kekuasaan, melainkan membalas luka sejarah Arosbaya. Dengan dukungan elite Madura dan eks-penguasa Surabaya, Trunajaya menjelma simbol perlawanan terhadap hegemoni Jawa pedalaman yang pernah menghancurkan leluhurnya.

Di balik letusan besar pemberontakan Trunojoyo tahun 1674–1679, tersembunyi benih konspirasi yang jauh lebih awal tertanam di jantung keretakan istana Mataram. Salah satu sumber primer paling penting mengenai hal ini berasal dari laporan Piero, seorang utusan VOC yang menyampaikan kesaksiannya pada 10 Februari 1675. Dalam pertemuan dengan pihak Belanda, Raden Trunojoyo — yang saat itu telah naik status menjadi Panembahan — mengungkapkan bahwa dirinya pernah menjalin suatu kesepakatan rahasia dengan Pangeran Adipati Anom, putra mahkota sekaligus anak sulung Sunan Amangkurat I.

Kesepakatan ini, menurut tafsir sejarawan, kemungkinan besar terjadi antara tahun 1670 hingga 1671, masa ketika ketegangan antara Adipati Anom dan ayahandanya mencapai titik nadir. Koalisi antara Trunojoyo dan sang pangeran ditafsirkan sebagai cikal bakal gerakan oposisi terorganisir terhadap kekuasaan absolut raja Mataram. Namun janji itu tak pernah diwujudkan. Diduga keras, setelah melihat kegagalan gelombang pertama serangan pasukan eksil Makassar terhadap Gresik dan Surabaya di awal tahun 1675, sang pangeran memilih berdamai kembali dengan sang raja, sebagaimana dicatat dalam Daghregister VOC tanggal 20 April 1675. Ini merupakan salah satu bukti bahwa Adipati Anom, kendati sempat tergoda pada proyek oposisi, pada akhirnya menarik diri dari konspirasi begitu risikonya membesar.

Namun Trunojoyo tidak tinggal diam. Tanpa menunggu restu atau dukungan lanjutan dari istana Mataram, ia mengambil langkah strategis. Ia menikahkan kemanakannya — seorang perempuan bangsawan Madura — kepada Karaeng Galesong, pemimpin laskar Makassar. Perkawinan ini bukan sekadar ikatan kekeluargaan, melainkan sebuah perjanjian militer-politik yang mengikat. Karaeng Galesong, sebagai “panglima asing” dalam jaringan Trunojoyo, memperoleh legitimasi genealogis dan, sebagai imbalannya, berkewajiban untuk menyerbu dan menguasai pelabuhan-pelabuhan penting di pesisir utara Jawa, terutama Gresik dan Surabaya, demi kepentingan strategis Trunojoyo.

Anak dari pernikahan ini lahir pada Januari 1677, yang berarti pernikahan tersebut terjadi sekitar akhir 1675 — atau paling lambat awal 1676. Ini menandakan bahwa persiapan militer-politik yang dirancang Trunojoyo bersama Galesong bukanlah reaksi dadakan terhadap dinamika perang, tetapi bagian dari rencana yang telah dipupuk sejak lama. Fakta ini memperkuat argumentasi bahwa pemberontakan Trunojoyo bukan ledakan spontan rakyat, melainkan hasil konsolidasi elite-elite pesisir dan bangsawan Madura yang kecewa pada sentralisasi dan kekerasan politik Mataram era Amangkurat I.

Historiografi modern menempatkan peristiwa ini sebagai fondasi dari gejolak besar yang kemudian mengguncang struktur kekuasaan Jawa abad ke-17. Perjanjian gagal antara Trunojoyo dan Adipati Anom bukan saja membuka fragmen keretakan internal Mataram, tapi juga memperlihatkan bahwa krisis legitimasi kerajaan telah menyusup hingga ke lingkaran utama keluarga kerajaan. Kegagalan sang pangeran untuk bersetia pada koalisinya menjadi titik balik yang mendorong Trunojoyo menempuh jalan perang, dan menegaskan bahwa kehancuran Mataram dimulai bukan di medan laga, melainkan di lorong-lorong kesepakatan rahasia yang dikhianati.

Didukung pasukan Madura dan milisi Makassar di bawah Karaeng Galesong, Trunojoyo menggempur pesisir utara Jawa. Kota-kota seperti Surabaya, Gresik, dan Jepara jatuh. Ia menyatakan diri sebagai Panembahan Maduretno, raja tandingan Mataram, dan membangun pemerintahan yang relatif stabil, didukung ulama dan rakyat pesisir yang muak pada pajak dan korupsi Mataram.

Kekuatannya mengguncang Dinasti Mataram. Amangkurat I melarikan diri dan wafat pada 1677. Putranya, Adipati Anom (Amangkurat II), bersekutu dengan VOC lewat Perjanjian Jepara: wilayah pesisir diserahkan demi bantuan militer.

VOC bertindak cepat. Dengan teknologi militer dan taktik sabotase, mereka menggempur basis Trunojoyo. Pertempuran puncak terjadi di Bukit Selokurung, lereng Gunung Kelud. Meski bertahan dengan taktik gerilya, Trunojoyo akhirnya ditangkap pada 27 Desember 1679.

Dibawa ke Payak, Bantul, Trunojoyo dieksekusi langsung oleh Amangkurat II pada 2 Januari 1680. Ia ditikam dengan keris Kyai Balabar, dipenggal, dan tubuhnya dihina secara brutal. Eksekusi ini bukan hanya pembunuhan, tetapi upaya menghapus simbol perlawanan.

Namun Trunojoyo tidak lenyap. Ketidaktahuan tentang makamnya memperkuat mitos. Ia hidup sebagai legenda Jawa-Madura, simbol perjuangan terhadap tirani, kolonialisme, dan pengkhianatan elite.

“Raja bisa membunuhku, tapi tak bisa membungkam kebenaran.”
Trunojoyo tidak mati. Ia menjelma suara abadi dalam sejarah perlawanan tanah Jawa.