JATIMTIMES - Dulu, hari Minggu pagi di Indonesia identik dengan suara khas dari serial Doraemon yang tayang di televisi. Anak-anak bangun pagi, duduk rapi di depan layar TV, dan menikmati petualangan Nobita dan kawan-kawan. Tayangan kartun menjadi hiburan yang dinanti-nanti setelah seminggu penuh bersekolah.
Namun, zaman telah berubah. Kini, televisi perlahan tergeser oleh gadget, YouTube, dan aplikasi streaming. Anak-anak tidak lagi menunggu jadwal tayang, karena semua tersedia kapan saja di ujung jari. Lalu, apa yang menjadi favorit anak-anak Indonesia di hari Minggu sekarang?
Baca Juga : Menjemput Cahaya Islam: Pengembaraan Raden Patah dan Raden Kusen
Pergeseran Media: Dari TV ke YouTube & Gadget
Perkembangan teknologi digital telah mengubah kebiasaan anak-anak Indonesia dalam mengonsumsi hiburan, khususnya di hari Minggu. Jika dulu mereka duduk rapi di depan televisi untuk menonton acara favorit seperti Doraemon, kini kebiasaan itu tergantikan oleh aktivitas menonton YouTube atau bermain gadget. Pergeseran ini bukan sekadar tren sesaat, melainkan perubahan mendalam dalam cara anak-anak berinteraksi dengan media.
Data terbaru dari Google Indonesia menunjukkan bahwa pada awal 2025, YouTube telah digunakan oleh lebih dari 143 juta orang Indonesia, atau sekitar 50% dari total populasi.
Jumlah ini meningkat sekitar 4 juta pengguna hanya dalam waktu satu tahun. Tidak hanya itu, rata-rata orang Indonesia menonton YouTube melalui smart TV selama lebih dari 4 jam per hari, menandakan bahwa platform ini juga mulai menggantikan peran televisi konvensional di ruang keluarga.
Anak-anak kini lebih menyukai konten yang bisa mereka pilih sendiri, kapan saja dan di mana saja. Menurut laporan Kids Insights dan Ofcom (UK), anak usia 4–15 tahun menghabiskan waktu rata-rata 85 menit per hari untuk menonton YouTube, jauh lebih tinggi dibandingkan 45 menit untuk menonton televisi biasa.
Bahkan di Indonesia, penggunaan YouTube Shorts melonjak pesat, dengan 91% pengguna aktif menonton konten berdurasi pendek ini setiap bulannya.
Selain YouTube, anak-anak juga menghabiskan banyak waktu di aplikasi seperti TikTok dan Netflix. Laporan dari Data.ai menyebutkan bahwa Indonesia merupakan salah satu negara dengan durasi penggunaan aplikasi mobile tertinggi di dunia, mencapai lebih dari 6 jam per hari. Ini berarti sebagian besar konsumsi hiburan kini terjadi melalui gadget pribadi seperti smartphone dan tablet, bukan lagi melalui siaran TV terjadwal.
Perubahan ini turut memunculkan fenomena baru seperti binge-watching, di mana anak-anak menonton banyak video dalam satu waktu. Riset dari Pew Research Center mencatat bahwa hampir 49% anak-anak Gen Alpha sering menonton YouTube secara maraton.
Dengan kemudahan akses dan ragam konten yang luas, anak-anak kini tak lagi terikat pada jam tayang tetap seperti generasi sebelumnya. Namun, di balik kemudahan tersebut, muncul tantangan baru. Orang tua perlu lebih waspada dan aktif dalam mengawasi konsumsi media anak-anak. Tidak semua konten digital ramah anak, dan waktu screen time yang berlebihan juga berisiko bagi perkembangan mental serta sosial mereka.
Pergeseran media ini menjadi cerminan dari perubahan zaman. Dari yang dulu bersifat kolektif dan terjadwal seperti nonton TV bersama keluarga, kini bergeser menjadi pengalaman yang lebih individual, fleksibel, namun juga lebih menantang dalam hal kontrol dan kualitas. Maka dari itu, pemahaman akan tren ini penting agar orang tua dan pendidik bisa tetap relevan dan bijak dalam mendampingi generasi digital.
Pendapat Ahli tentang Pergeseran Media Anak
Perubahan kebiasaan menonton dari televisi ke YouTube dan gadget tidak hanya mencerminkan perkembangan teknologi, tetapi juga berdampak langsung pada tumbuh kembang anak. Menurut Dra. Elly Risman, Psi, seorang pakar parenting dan psikolog keluarga, konsumsi media digital yang tidak terkontrol bisa memengaruhi perilaku anak secara jangka panjang.
Elly Risman – Psikolog Anak
Mengenai dampak gadget terhadap otak anak:
“Kecanduan gadget akan berakibat pada kerusakan fungsi otak.”
Sumber https://www.scmedia.id/psikolog-elly-risman-ungkap-dampak-buruk-sinar-biru-dari-penggunaan-gadget-pada-anak-usia-dini
Soal gangguan sosial dan emosional akibat gadget:
“Penggunaan gadget pada anak akan mengganggu perkembangan sosial dan emosional anak. Yang akan berdampakan buruk seperti anak cenderung tertutup, menyendiri dan perilaku kekerasan.” sumber: https://ar-risalah.org/risalah/2024/02/kesehatan-mental-anak-dan-gadget/
Tentang pentingnya kesiapan orang tua:
Baca Juga : Ini Kepala Daerah yang Berani Mendukung Wisata Sekolah di Tengah Pro Kontra
“Ibu dan bapaknya harus siap, bagaimana anak diberikan gadget tapi orang tuanya tidak ngerti penggunaan dan pengawasan gadget bagi anak.”
Sumber: https://hidayatullah.com/iptekes/tekno/2016/04/15/93174/kesiapan-orang-tua-modal-utama-untuk-anak-gunakan-gadget.html
Hikmat Darmawan – Pengamat Budaya & Media
Dalam acara Siberkreasi Local Fair 2021, ia menekankan pentingnya menjadi pengguna aktif:
“Penggunaan media digital ini agar jangan pasif, kita harapkan jadi pengguna aktif dan punya daya saing, agar jangan sampai yang memperoleh manfaat dari media ini hanya yang mampu (kaya) saja.”
sumber: https://dutabalinews.com/2021/06/11/siberkreasi-local-fair-2021-hikmat-darmawan-penggunaan-media-digital-jangan-pasif/
Dampingi Anak di Era Digital, Bukan Sekadar Membatasi
Perubahan dari televisi ke YouTube dan gadget bukan sekadar soal teknologi—ini adalah perubahan besar dalam pola tumbuh kembang anak-anak Indonesia. Mereka kini tumbuh sebagai generasi digital yang akrab dengan konten on-demand, video pendek, dan hiburan interaktif.
Namun di balik semua kemudahan itu, tersimpan tantangan besar: paparan konten tanpa batas, kecanduan layar, hingga dampak sosial dan emosional yang tak selalu terlihat.
Oleh karena itu, peran orang tua dan pendidik sangat penting. Bukan sekadar membatasi waktu bermain gadget, tapi juga aktif mendampingi, memilih konten yang sesuai usia, dan membangun komunikasi terbuka dengan anak.
Seperti yang disampaikan para ahli, anak perlu menjadi pengguna media digital yang aktif, bukan pasif, agar mereka bisa tumbuh cerdas, sehat, dan siap menghadapi masa depan.
Mari kita hadapi era digital ini bukan dengan kekhawatiran berlebihan, tapi dengan literasi digital dan pendampingan yang bijak. Karena di balik layar kecil mereka, masa depan sedang dibentuk.