free web hit counter
Scroll untuk baca artikel
Serba Serbi

Kenapa Daging Kurban Rasanya Berbeda? Ini Penjelasan Ilmiahnya

Penulis : Binti Nikmatur - Editor : A Yahya

13
×

Rencana Rilis PlayStation 6 Berpotensi Terungkap, Berkat Microsoft

Share this article
Stik Playstation
Ilustrasi daging kurban. (Foto: Shutterstock)

JATIMTIMES - Sebagian orang merasa daging kurban memiliki rasa yang berbeda dibanding daging yang biasa dibeli di pasar. Apakah ini hanya sugesti atau memang ada penjelasan ilmiahnya?

Dokter hewan Nadira Syahmifariza memberikan penjelasan lewat akun TikTok-nya, @doknut. Ia menyebut perbedaan rasa itu bisa dijelaskan secara ilmiah dan berkaitan dengan kondisi hewan sebelum disembelih.

Baca Juga : Bacaan Niat Mandi Idul Adha Lengkap dengan Tata Caranya 

"Kalian suka wondering nggak kenapa kalau daging kurban itu rasanya beda sama daging yang biasa dibeli di hari-hari lain selain hari kurban. Itu bukan sugesti, itu bisa dijelaskan secara saintifik," kata dr. Nadira, dikutip Kamis (5/6/2025). 

Menurut dr. Nadira, jaringan tubuh hewan saat masih hidup berada pada kondisi pH netral, yaitu pH 7. Setelah hewan disembelih dan aliran darah terputus, suplai oksigen ke jaringan pun berhenti. Hal ini memicu proses glikolisis.

Untuk diketahui, glikolisis adalah proses saat glikogen, sumber energi otot berubah menjadi asam laktat. Proses ini akan menurunkan pH otot secara bertahap, dari 7 menjadi antara 5,4 hingga 5,7 dalam waktu 18–24 jam. Kondisi ini disebut sebagai pH ultimate.

Namun setelah mencapai pH ultimate, daging akan kembali naik ke pH 6,5, yang menandakan awal dari proses pembusukan.

Menurut dr. Nadira, kondisi hewan sebelum dipotong ternyata sangat mempengaruhi kualitas daging yang dihasilkan. Adapun stres pada hewan dibagi menjadi dua jenis, yakni jangka panjang (long term) dan jangka pendek (short term).

Long term stress, kata dr. Nadira biasanya disebabkan oleh perjalanan yang lama, kelelahan, atau lingkungan yang tidak nyaman seperti kandang yang terlalu panas atau dingin.

"Ketika stres ini artinya nanti glikogen sebagai sumber energi akan digunakan terlebih dahulu sama tubuh hewan, jadi setelah proses pemotongan karena glikogennya udah habis terpakai asam laktat yang dihasilkan pun akan lebih sedikit dari normalnya," jelasnya.

"Akibatnya, pH ultimate daging tidak turun cukup rendah dan tetap di atas 6. Ini menyebabkan daging menjadi lebih kering, berwarna lebih gelap, dan lebih cepat busuk. Daging dengan karakteristik ini disebut dark, firm, dry (DFD)," tambahnya. 

Sementara itu, stres jangka pendek terjadi beberapa saat sebelum pemotongan. Misalnya ketika hewan melihat atau mendengar hewan lain yang disembelih. Kondisi ini memicu stres akut.

"Yang terjadi adalah itu pasti kan sama glycogen kan akan dipakai nih sama si hewannya dan otot dari hewan ini pasti suhunya akan tinggi karena dia baru aja mengalami stress," kata dr. Nadira.

Baca Juga : Lanud Abdulrachman Saleh Maksimalkan Potensi Hortikultura, Ikut Penuhi Kebutuhan Pangan Malang Raya

Kondisi ini membuat pH turun drastis dalam waktu 45 menit sampai 1 jam. Ketika pH terlalu rendah dan suhu otot tinggi, protein dalam daging mengalami denaturasi, sehingga kehilangan kemampuan menahan air. Daging pun menjadi pucat, lunak, dan berair atau disebut pale, soft, exudative (PSE). Kata dr. Nadira kondisi ini membuat daging cepat rusak karena menjadi tempat ideal bagi pertumbuhan bakteri.

Secara aturan, proses pemotongan hewan hanya boleh dilakukan di Rumah Potong Hewan (RPH), kecuali pada hari-hari tertentu seperti Idul Adha. Di RPH, prosedur pemotongan diatur ketat agar meminimalisir stres pada hewan.

"Kalau di rumah potong itu sudah ada SOP yang mengatur jalannya proses pemotongan, kandang pemeliharaannya diatur standar nya seperti apa, cara merobohkan hewannya juga diatur, dipingsankan sampai dia dirubuhkan terus dipotong, itu nggak sampai bahkan enggak sampai 1 menit," ujar dr. Nadira.

Selain itu, penggunaan restraining box di RPH membuat penanganan hewan lebih terkontrol dan minim cedera.
Namun, dr. Nadira juga menyadari tidak semua daerah memiliki fasilitas RPH. Maka pada momen seperti Idul Adha, pemotongan di luar RPH masih diperbolehkan. Hanya saja, menurutnya, standar pemotongan hewan jadi sulit dikontrol.

dr. Nadira berharap masyarakat, baik yang berkurban maupun penerima daging kurban, bisa lebih peduli terhadap kesejahteraan hewan sebelum disembelih. Ia mendorong agar masyarakat turut mendorong DKM (Dewan Kemakmuran Masjid) atau pemerintah setempat untuk menjaga standar kesejahteraan hewan kurban.

"Jadi kita sebagai masyarakat yang berkurban pasti mau daging kurban yang kita kasih ke orang-orang yang membutuhkan itu kualitasnya juga baik, jadi kita harus bisa nge-push DKM setempat atau pemerintah setempat untuk bisa menjamin kesejahteraan hewan-hewan kurban yang akan dipotong," jelasnya.

Menurutnya, upaya menjaga kesejahteraan hewan kurban adalah bentuk dari memberikan yang terbaik dalam beribadah. "Apalagi ini kan tujuannya untuk ibadah jadi apa salahnya kita memberikan yang terbaik," pungkas dr. Nadira.