JATIMTIMES - Dalam tradisi historiografi Nusantara, nama Sunan Bonang menempati tempat istimewa dalam lembaran sejarah dakwah Islam di tanah Jawa.
Sebagai putra dari Sunan Ampel, tokoh sentral dalam jaringan Walisongo, Pangeran Mahdum Ibrahim, yang kemudian dikenal dengan gelar Sunan Bonang, merupakan figur transformatif yang menggabungkan kekuatan spiritualitas Islam dengan kearifan budaya lokal, kendati pendekatan dakwahnya pada masa awal sering kali diwarnai konflik dan resistensi.
Baca Juga : Cara Simpan Daging Kurban di Kulkas Agar Tahan Lama dan Tetap Bergizi
Menurut Babad Daha-Kediri, Sunan Bonang memulai misi dakwahnya di pedalaman Kediri dengan pendekatan yang dalam perspektif kontemporer tergolong radikal. Ia disebut-sebut menghancurkan arca-arca yang dipuja oleh masyarakat lokal, bahkan disebutkan pula bahwa ia sampai mengubah aliran Sungai Brantas serta mengutuk penduduk sebuah desa hanya karena kesalahan satu orang.
Lokasi awal dakwahnya diyakini berada di Desa Singkal, di tepi barat Sungai Brantas, yang sekarang termasuk wilayah Kabupaten Nganjuk. Di tempat ini pula Sunan Bonang mendirikan langgar pertamanya, simbol fisik kehadiran Islam di wilayah tersebut.
Namun, respons masyarakat Kediri terhadap pendekatan dakwah yang frontal ini tidak sepenuhnya positif. Dalam naskah Babad Daha-Kediri diceritakan bagaimana Sunan Bonang menghadapi perlawanan dari dua tokoh setempat yang dikenal dengan nama Ki Buto Locaya dan Nyai Plencing, yang diperkirakan merupakan representasi dari kelompok-kelompok Bhairawa atau pengikut ajaran Tantrayana Bhairawa di wilayah Kediri.
Konfrontasi antara Sunan Bonang dengan kedua tokoh ini berlangsung baik dalam bentuk perdebatan filosofis maupun benturan fisik, menandakan betapa rumit dan dinamisnya proses penyebaran Islam di tanah Jawa pada akhir abad ke-15.
Kegagalan dakwah Sunan Bonang di Kediri tercermin pula dalam catatan Babad Sangkala, yang menyebutkan bahwa baru pada tahun 1471 Jawa (1548 M) Raja Giri—yaitu Sunan Prapen—mendatangi Kediri. Bahkan, dua tahun kemudian (1473 J/1551 M), kota Daha disebut "dibakar habis", yang mengindikasikan bahwa proses Islamisasi di Kediri masih mengalami resistensi kuat jauh setelah kehadiran Sunan Bonang. Nama Adipati Kediri, Arya Wiranatapada, disebut-sebut hilang bersama putrinya yang telah memeluk Islam dalam kerusuhan besar yang terjadi pada 1499 J/1577 M.
Menariknya, tokoh Arya Wiranatapada ini dalam sejumlah tradisi lisan di Drajat, Lamongan, dikaitkan sebagai mertua Sunan Drajat, menunjukkan jalinan hubungan kekerabatan antar Walisongo yang kompleks dan sarat makna politik-religius.
Setelah misinya di Kediri tidak berhasil, menurut Hikayat Hasanuddin, Sunan Bonang kemudian dipanggil ke Demak oleh "Pangeran Ratu", sebutan yang kiranya merujuk pada Raden Patah, raja pertama Kesultanan Demak sekaligus kakak ipar Sunan Bonang. Di Demak, Pangeran Mahdum Ibrahim diangkat menjadi imam Masjid Agung Demak. Dari tempat tinggal barunya di Desa Bonang, Sunan Bonang mendapat gelar yang dikenal luas hingga kini.
Namun, jabatan sebagai imam Masjid Demak tidak lama dijalaninya. Posisi tersebut kemudian digantikan oleh seorang alim dari negeri Atas Angin bernama Pangeran Karang Kemuning, yang juga menantu Sunan Ampel karena menikahi Nyai Gede Pancuran, saudari Sunan Bonang. Setelah meletakkan jabatan, Sunan Bonang memilih menetap di Lasem, di tempat tinggal kakaknya, Nyai Gede Maloka, janda dari Adipati Lasem, Pangeran Wiranagara.
Naskah Carita Lasem mencatat bahwa pada tahun 1402 Saka (1480 M), Sunan Bonang tinggal di dalem Kadipaten Lasem bagian belakang, dan mulai menjalankan kehidupan sufistik di sana. Ia diminta merawat makam nenek mereka dari pihak ibu, yaitu Bi Nang Ti dari Champa, yang dimakamkan di Puthuk Regol. Perhatian khusus Sunan Bonang terhadap makam ini menunjukkan adanya ikatan emosional sekaligus spiritual yang kuat terhadap akar budaya dari garis keturunan ibu.
Di bukit Puthuk Regol—yang kini dikenal sebagai Watu Layar—Sunan Bonang membangun sebuah zawiyah, yaitu sudut atau pojok tempat khalwat dan berkumpulnya para pencari spiritualitas tasawuf. Dari sini, muncul berbagai kisah legendaris tentang petilasan Sunan Bonang dan praktik sujudnya yang melahirkan narasi-narasi karismatik dan sakral bagi komunitas setempat.
Pada usia sekitar 30 tahun, Sunan Bonang diangkat sebagai wali negara Tuban yang mengurusi hal-hal terkait agama. Jabatan ini memberinya otoritas religius sekaligus administratif untuk mengembangkan dakwah Islam secara lebih struktural.
Dalam hal metode dakwah, Sunan Bonang menempuh pendekatan yang lebih lunak dan kultural. Ia menggunakan media kesenian, terutama gamelan dan pertunjukan wayang, untuk menyampaikan ajaran-ajaran Islam kepada masyarakat luas. Alat musik bonang, misalnya, yang digunakan dalam ansambel gamelan, dihubungkan secara etimologis dengan makna "babon menang" atau "induk kemenangan". Bonang tidak hanya menjadi simbol kesenian, tetapi juga sarana dakwah dan komunikasi kolektif di tengah masyarakat Jawa.
R. Poedjosoebroto dalam "Wayang Lambang Ajaran Islam" (1978) menyebut bahwa Sunan Bonang merupakan reformator seni pedalangan yang signifikan. Ia menggubah struktur gamelan, menambahkan instrumen-instrumen seperti kereta perang dan rampogan, serta menggubah tembang-tembang baru dalam bentuk macapat. Salah satu karya terkenalnya adalah "Kidung Bonang", sebuah tembang dalam pupuh Dhandhanggula yang sarat dengan metafor sufistik dan ajaran moral-spiritual.
Menurut Primbon milik Prof. K.H.R. Mohammad Adnan, Sunan Bonang juga dikenal sebagai tokoh yang memiliki pemahaman mendalam dalam "sesuluking ngelmi", yaitu pengetahuan esoterik dan sufistik. Ia membimbing para santri dan murid-muridnya dalam jalur tarekat, memperkenalkan berbagai metode zikir, riyadhoh, dan laku spiritual yang mendalam.
Dalam konteks kesusastraan, Sunan Bonang disebut telah menggubah tembang tengahan dalam pola macapat yang tidak hanya sarat nilai estetis, tetapi juga mengandung pesan-pesan teologis dan filosofis. Tembangnya memuat simbolisasi antara jagat mikrokosmos dan makrokosmos, antara batin dan lahir, antara hamba dan Tuhan.
Di Lasem, warisan Sunan Bonang masih lestari dalam bentuk tradisi ziarah ke makamnya, pelestarian gamelan bonang, serta keberadaan komunitas-komunitas tarekat yang meneladani ajaran-ajarannya. Lasem sebagai kota pelabuhan dengan interaksi multikultural antara Jawa, Tionghoa, dan Champa menjadi wadah yang subur bagi kelanjutan warisan intelektual dan spiritual Sunan Bonang.
Penelusuran jejak Sunan Bonang dari Kediri hingga Lasem bukan semata soal biografi tokoh religius, melainkan kisah tentang perjumpaan antara Islam dan Jawa, antara wahyu dan budaya, antara kekuasaan dan kebijaksanaan. Ia menjadi cerminan kompleksitas penyebaran Islam di Jawa: dari ketegangan hingga akulturasi, dari konflik hingga kesenian.
Dengan gaya dakwah yang bertransformasi dari keras menjadi lembut, dari konfrontatif menjadi kultural, Sunan Bonang menunjukkan bahwa proses Islamisasi di Nusantara bukanlah jalan linier, melainkan jalinan narasi yang kaya, penuh dialektika, dan sarat makna spiritual serta historis.
Baca Juga : Kenapa Raja Ampat Dapat Julukan Surga Terakhir di Bumi?
Dalam catatan historiografi, nama Sunan Bonang tetap berdiri sebagai pilar utama yang menggabungkan kekuatan wahyu ilahi dengan kehalusan budaya lokal. Ia bukan sekadar penyebar agama, melainkan arsitek spiritual peradaban Jawa-Islam yang hidup dalam naskah, tembang, dan kenangan kolektif masyarakat.
Silsilah dan Jejak Sunan Bonang: Antara Samarkand, Yunan, dan Tuban
Dalam sejarah spiritualitas dan transformasi budaya Nusantara, figur Sunan Bonang berdiri sebagai tiang kokoh dalam arsitektur Islamisasi Jawa. Jejak-jejak beliau, tersebar dalam narasi babad, naskah kuno, silsilah darah, hingga dokumen esoteris, membentang dari Samarkand di Asia Tengah hingga pesisir Tuban yang kini menjadi tempat peristirahatan terakhirnya. Ia tidak hanya hadir sebagai tokoh dakwah, namun juga sebagai simbol pertemuan peradaban, warisan genetik lintas benua, dan pewaris tradisi sufistik yang menjadi dasar format keislaman Nusantara hingga hari ini.
Lahir dengan nama kecil Mahdum Ibrahim sekitar tahun 1465 Masehi, Sunan Bonang adalah putra keempat dari pasangan Raden Rahmat atau Sunan Ampel dan Nyai Ageng Manila, putri dari Arya Teja, Bupati Tuban. Dengan demikian, sejak lahir Sunan Bonang telah menginjakkan kaki di dua dunia: dunia kaum elite Jawa pesisiran yang terbuka pada transformasi sosial, dan dunia spiritual Islam yang mengalir dari pusat-pusat peradaban Muslim dunia lama.
Silsilah ayahnya, sebagaimana ditelusuri oleh banyak naskah, termasuk Babad Cerbon, Hikayat Hasanuddin, dan risalah silsilah dari abad ke-19, menunjuk pada keterhubungan genealogis dengan Nabi Muhammad SAW melalui jalur keturunan Fatimah az-Zahra dan Ali bin Abi Thalib. Garis ini mencakup tokoh-tokoh penting seperti Imam Husain, Ali Zainal Abidin, hingga Ahmad al-Muhajir yang hijrah ke Hadramaut dan melahirkan trah Alawi, leluhur para wali di Nusantara. Dalam versi lain, sebagaimana muncul dalam risalah-risalah Jawa dan catatan dari Schrieke, ayah Sunan Ampel berasal dari Samarkand, atau wilayah yang oleh naskah Jawa disebut sebagai negeri Tulen, di tepi Laut Kaspia—kemungkinan besar mengacu pada Kazakhstan modern.
Namun narasi lain—yang tak kalah kuat—berasal dari tradisi Klenteng Talang dan legenda Tionghoa-Jawa. Di sana disebutkan bahwa Sunan Bonang bernama asli Bong Ang, putra dari Bong Swi Ho alias Sunan Ampel, dan cucu dari Bong Tak Keng dari Yunan, wilayah selatan Tiongkok. Jika narasi ini dibaca secara kritis, maka tampak bahwa identitas Sunan Bonang merepresentasikan multivokalitas akar: Islam Asia Tengah, darah Tionghoa, dan kelahiran budaya Jawa Pesisiran.
Kekayaan silsilah tersebut juga tercermin dari kompleksitas keluarga Sunan Ampel. Ia memiliki sejumlah anak dari istri-istrinya yang berbeda. Sunan Bonang adalah saudara kandung dari Sunan Drajat, dan saudara tiri dari tokoh-tokoh lain yang menyebar dalam berbagai pernikahan strategis politik-kenegaraan: Dewi Murtosiyah yang diperistri oleh Sunan Giri, dan Dewi Murtosimah yang dinikahi Raden Patah, sultan pertama Demak. Maka tak heran bila jaringan keluarga ini membentuk fondasi kuat bagi dakwah Islam di Jawa.
Sunan Bonang tumbuh dalam lingkungan intelektual pesantren Ampel Denta, Gresik, yang dibangun oleh ayahnya. Ia belajar bersama dengan para santri terkemuka seperti Sunan Giri (Raden Paku), Raden Patah, dan Raden Kusen. Lingkungan ini bukan sekadar tempat belajar fiqih, tetapi juga menjadi ladang tumbuhnya gagasan-gagasan transformasi sosial dan strategi dakwah kultural yang akan menjadi ciri khas penyebaran Islam di Jawa.
Perjalanan spiritualnya membentang hingga ke Malaka dan kemungkinan besar ke Mekah bersama Raden Paku, dalam upaya haji dan menuntut ilmu kepada Syekh Maulana Ishaq, ulama besar yang juga ayah dari Sunan Giri. Di sanalah Sunan Bonang menekuni tasawuf, ushuluddin, fikih, bahkan ilmu silat, arsitektur, hingga seni pertunjukan dan sastra Jawa. Tidak berlebihan jika dikatakan bahwa Sunan Bonang adalah seorang polymath spiritual—pengembara dalam ranah ilmu lahir dan batin.
Dalam Serat Kandhaning Ringgit Purwa (naskah LOr 6379 No. 9), muncul kisah legendaris tentang Sunan Bonang yang mengalahkan Ajar Blacak Ngilo melalui sabung ayam ajaib. Khutuk atau anak ayam yang diberi tiupan oleh Santri Wujil, menjadi perlambang kekuatan karomah yang bersumber dari ilmu tasawuf. Kisah ini menyiratkan bahwa ilmu spiritual tidak terpisah dari simbolisme dan estetika rakyat, dan Sunan Bonang adalah ahli dalam mentransformasikan hal-hal mistik menjadi kekuatan dakwah.
Metode dakwah Sunan Bonang dikenal sangat adaptif terhadap budaya lokal. Ia tidak hanya mengajarkan Islam dari mimbar masjid, tetapi juga masuk ke dalam ruang estetik masyarakat. Ia dikenal sebagai dalang wayang yang mementaskan lakon-lakon sarat ajaran sufistik. Ia juga menciptakan berbagai tembang macapat seperti Durma, Pangkur, dan Maskumambang—yang hingga kini menjadi bagian dari khasanah sastra Jawa.
Kepiawaiannya ini sangat mungkin diperoleh dari jalur keluarga ibunya, yang berasal dari kalangan bangsawan Tuban, wilayah pesisir yang sejak Majapahit dikenal sebagai pusat budaya dan perdagangan. Pendekatan ini menjadikan Islam tampak tidak asing, melainkan menjadi bagian dari kehidupan sehari-hari masyarakat Jawa.
Tidak hanya itu, menurut Babad Daha-Kediri, Sunan Bonang juga mampu memengaruhi bentang alam demi strategi dakwah. Ia disebutkan pernah mengubah aliran Sungai Brantas agar wilayah yang menolak dakwahnya menjadi kekeringan, sedangkan daerah yang menerima menjadi subur. Narasi ini, meski simbolik, menunjukkan kekuatan spiritual dan kepemimpinan ekologis yang dimiliki seorang wali.
Primbon Bonang, yang menurut B.J.O. Schrieke adalah hasil tulisan sendiri Sunan Bonang, merupakan peninggalan intelektual luar biasa. Kitab ini merupakan semacam kompendium ajaran tasawuf tinggi yang berakar pada pemikiran Al-Ghazali, Abu Thalib al-Makki, dan Abu Syakur as-Salimi. Di dalamnya termuat pemahaman mendalam tentang tauhid, makrifat, dan jalan suluk para sufi.
Ajaran dalam Primbon Bonang memperlihatkan Islam Nusantara bukan sebagai tiruan pasif dari Timur Tengah, melainkan sebagai formasi baru yang hasil dari sintesis antara nilai-nilai Islam dan kosmologi lokal. Dari sinilah bisa dimengerti bahwa Islam berkembang bukan sebagai kekuatan hegemonik, tapi sebagai dialektika budaya.
Sunan Bonang adalah cermin dari kosmopolitanisme spiritual Wali Songo. Ia bukan sekadar tokoh lokal dari Tuban, namun figur global yang jejak intelektual dan darahnya melintasi Asia Tengah, Yaman, Tiongkok Selatan, hingga pesisir utara Jawa. Dalam dirinya terkumpul pelajaran penting tentang Islam sebagai rahmat yang hidup berdampingan dengan seni, alam, dan keberagaman.
Dari Samarkand ke Yunan, dari Lasem ke Tuban, jejak Sunan Bonang adalah bukti bahwa penyebaran agama bukan sekadar urusan aqidah, tetapi juga soal merawat jiwa, merangkul budaya, dan menata peradaban. Maka tak heran, bila dalam narasi rakyat, nama Bonang tidak lekang oleh waktu—sebagai wali yang menggubah tembang dan menaklukkan zaman.