JATIMTIMES - Kabupaten Berbek, yang kini menjadi bagian dari Kabupaten Nganjuk, memiliki sejarah panjang yang sarat dengan dinamika politik dan sosial. Salah satu periode penting dalam sejarahnya adalah masa pemerintahan Raden Tumenggung Sosrokusumo II, yang menjabat sebagai Bupati Berbek dari tahun 1844 hingga 1852.
Masa ini ditandai dengan berbagai perubahan administratif, sosial, dan demografis yang terjadi di bawah pengaruh pemerintah kolonial Hindia Belanda.
Baca Juga : Saat Hadiah Lebih Berbahaya dari Perang: Politik Tanah Jaka Tingkir Setelah Arya Penangsang
Dalam historiografi kolonial Jawa Timur abad ke-19, Kabupaten Berbek merupakan salah satu entitas administratif penting yang memperlihatkan dinamika kekuasaan lokal dan kolonial, transformasi sosial-ekonomi, serta perubahan demografis yang signifikan.
Salah satu periode penting dalam lintasan sejarah Berbek ialah masa pemerintahan Raden Tumenggung Sosrokusumo II, yang menjabat sejak Mei 1844 hingga wafatnya pada tahun 1852 akibat sakit paru-paru. Pemerintahannya berlangsung dalam suasana transisi pasca-Perjanjian Sepreh 1830, yang menandai restrukturisasi wilayah-wilayah eks-Kadipaten oleh pemerintah Hindia Belanda.
Sosrokusumo II: Dari Patih Ngrowo ke Bupati Berbek
Sebelum masa pemerintahan Sosrokusumo II, Kabupaten Berbek telah mengalami beberapa pergantian kepemimpinan. RT Sosrokusumo I, yang dikenal sebagai Kanjeng Jimat, merupakan bupati pertama Kabupaten Berbek. Setelah wafatnya pada tahun 1835, kepemimpinan dilanjutkan oleh adiknya, RT Sosrodiredjo, yang menjabat hingga tahun 1843.
Pada tahun 1844, RT Ario Koesoemoadinoto sempat diangkat sebagai Bupati Berbek, namun hanya menjabat selama empat bulan sebelum dipindahkan ke Besuki. Akhirnya, pada Mei 1844, Raden Tumenggung Sosrokusumo II diangkat sebagai Bupati Berbek.
Sebelum diangkat sebagai Bupati Berbek, Raden Tumenggung Sosrokusumo menjabat sebagai Patih di Kadipaten Ngrowo (Tulungagung). Pengangkatannya menggantikan Raden Tumenggung Aria menjadi bagian dari kebijakan administratif kolonial yang memperhitungkan loyalitas, kapasitas birokratis, dan keseimbangan kekuasaan lokal.
Pada tahun 1847, keberadaan Sosrokusumo sebagai Regent (Bupati) Berbek tercatat secara resmi dalam Regeerings Almanak voor Nederlandsch-Indië, menunjukkan legalitas kekuasaannya dalam struktur kolonial.
Sosrokusumo II memerintah bersama Raden Cokro Taruno sebagai pembantu utama dalam menjalankan pemerintahan. Meskipun sumber-sumber primer tidak banyak mengulas kebijakan spesifik pada periode ini, tetapi struktur birokrasi yang tercatat memberi gambaran tentang pemerintahan yang mulai terdokumentasi dengan baik oleh aparat kolonial.
Berdasarkan Regeerings Almanak voor Nederlandsch-Indië tahun 1847, struktur pemerintahan Kabupaten Berbek terdiri atas beberapa jabatan utama, yakni Bupati (Regent) yang dijabat oleh Raden Tumenggung Sosrokusumo, Jaksa yang dijabat oleh Mas Redjo Diwerio, serta Penghulu yang dijabat oleh Bagoes Noor Salam.
Menarik bahwa Bagoes Noor Salam telah menjabat sejak masa pemerintahan bupati sebelumnya dan masih terus bertugas di era Sosrokusumo II. Hal ini menunjukkan kontinuitas jabatan keagamaan sebagai unsur penting dalam struktur pemerintahan kolonial-pribumi di Jawa.
Masa pemerintahan Sosrokusumo II berada dalam konteks kolonialisme Belanda yang kuat. Pemerintah kolonial menerapkan berbagai kebijakan yang mempengaruhi struktur pemerintahan dan kehidupan masyarakat lokal. Salah satu kebijakan penting adalah penggabungan beberapa kabupaten kecil ke dalam Kabupaten Berbek, seperti Kabupaten Godean dan Kabupaten Kertosono. Hal ini bertujuan untuk mempermudah kontrol administratif dan meningkatkan efisiensi pemerintahan kolonial.
Kabupaten Berbek pada pertengahan abad ke-19 terbagi atas delapan distrik: Berbek, Godean (Pace), Siwalan, Nganjuk, Gemenggeng, Kertosono, Warujayeng, dan Lengkong. Masing-masing distrik setara dengan kawedanan dalam sistem birokrasi Jawa dan mencerminkan sisa struktur administratif dari masa kerajaan.
Distrik Berbek (kota) adalah pusat pemerintahan kabupaten yang sejak masa Mataram Islam telah menjadi titik sentral Kadipaten Berbek. Godean (Pace) dan Nganjuk sebelumnya juga merupakan wilayah Kadipaten tersendiri sebelum integrasi ke dalam kabupaten Berbek pasca-1830. Distrik Gemenggeng, wilayah terluas dan terpadat saat itu, meliputi kawasan yang kini dikenal sebagai Kecamatan Bagor, Rejoso, dan Wilangan.
Selain itu, pemerintah kolonial juga melakukan pencatatan demografis yang ketat, seperti yang terlihat dalam data penduduk tahun 1845/1846. Pencatatan ini digunakan untuk keperluan perpajakan dan pengawasan terhadap penduduk lokal. Dokumen Tijdschrift voor Nederlandsch Indië tahun 1846 menyajikan data kependudukan terperinci untuk tahun 1845/1846, yang mencatat bahwa total jumlah penduduk Kabupaten Berbek mencapai 51.817 jiwa. Jumlah tersebut terdiri atas 11.780 laki-laki dewasa, 14.963 perempuan dewasa, 12.998 anak laki-laki, dan 11.712 anak perempuan.
Wilayah dengan penduduk tertinggi adalah Distrik Gemenggeng (total 12.971 jiwa), sedangkan wilayah dengan penduduk terendah adalah Distrik Siwalan (3.631 jiwa). Kepadatan tertinggi tercatat di Distrik Godean (Pace) sebesar 205 jiwa per pal, menunjukkan pentingnya kawasan tersebut secara ekonomi dan administratif.
Selain penduduk Jawa, data kolonial juga mencatat keberadaan komunitas asing, khususnya warga Tionghoa. Tahun 1845/1846 terdapat 7 warga Cina di Kabupaten Berbek: 4 laki-laki dan 3 perempuan. Jumlah kecil ini mencerminkan kebijakan pembatasan mobilitas etnis dan segregasi sosial dalam sistem kolonial.
Interaksi sosial di Kabupaten Berbek menampilkan dinamika yang khas. Keberadaan para pejabat lokal, baik keagamaan seperti Penghulu maupun administrasi sipil, menjadi jembatan antara masyarakat dan otoritas kolonial. Jaringan sosial ini memperkuat stabilitas lokal di tengah desakan perubahan politik dan ekonomi dari pusat kolonial.
Pada tahun 1852, Raden Tumenggung Sosrokusumo II wafat akibat komplikasi paru-paru. Dalam konteks transisi pemerintahan kolonial-pribumi, wafatnya seorang bupati merupakan momen penting karena menandai pembukaan kembali proses seleksi kepemimpinan lokal. Posisi Bupati Berbek selanjutnya diisi oleh Raden Tumenggung Pringgodikdo, yang sebelumnya menjabat sebagai Patih di Ngrowo.
Pergantian ini menegaskan pentingnya jaringan birokrasi antarkabupaten dalam sistem administrasi kolonial. Seringkali, pengganti bupati berasal dari kalangan aristokrat birokrat yang telah meniti karier di wilayah lain. Ini merupakan strategi kolonial untuk mengendalikan loyalitas dan stabilitas regional.
Baca Juga : Kertanagara dan Arya Wiraraja: Benturan Ambisi, Agama, dan Runtuhnya Singhasari
Sosrokusumo II: Penjaga Stabilitas di Masa Kolonial
Pemerintahan Raden Tumenggung Sosrokusumo II di Kabupaten Berbek (1844–1852) merupakan salah satu fase penting dalam pembentukan struktur pemerintahan kolonial-pribumi di wilayah pedalaman Jawa Timur. Meskipun dokumentasi kebijakan administratifnya terbatas, data kependudukan dan struktur birokrasi pada masa tersebut memberi gambaran jelas mengenai dinamika kekuasaan, kepadatan demografis, dan konfigurasi sosial masyarakat Berbek.
Dari perspektif historiografi, masa ini mencerminkan proses internalisasi kekuasaan kolonial melalui figur-figur aristokrat lokal yang diposisikan sebagai pengelola kekuasaan, sekaligus perantara antara masyarakat dan negara kolonial. Kabupaten Berbek dalam era Sosrokusumo II menjadi cerminan bagaimana kontrol kolonial diterjemahkan ke dalam struktur lokal secara efektif melalui strategi administrasi, birokrasi, dan dokumentasi penduduk yang sistematis.
Dengan demikian, memahami masa pemerintahan Sosrokusumo II berarti juga memahami strategi kolonial dalam membentuk dan memelihara stabilitas lokal melalui integrasi birokrasi adat ke dalam kerangka kekuasaan Barat. Ini menjadi bagian penting dalam historiografi Jawa Timur abad ke-19 yang kaya akan dinamika, baik dari segi sosial, politik, maupun administratif.
Raden Tumenggung Sosrokusumo II: Jejak Genealogis dari Gowa ke Berbek
Pada pertengahan abad ke-19, Kabupaten Berbek dipimpin oleh Raden Tumenggung Sosrokusumo II, seorang bangsawan Jawa yang memegang jabatan Bupati Berbek antara tahun 1844 hingga 1852. Ia bukanlah figur biasa dalam panggung pemerintahan kolonial Hindia Belanda.
Sosrokusumo II merupakan putra dari Raden Tumenggung Sosrokusumo I, yang lebih dikenal dalam memori kolektif masyarakat Berbek dengan nama kehormatan Kanjeng Jimat—bupati pertama Berbek yang tidak hanya dihormati karena otoritas administratifnya, tetapi juga karena kharisma spiritual yang menyertainya.
Namun, kekuasaan yang diwarisi Sosrokusumo II tidak semata bersandar pada jabatan struktural, melainkan bertumpu pada fondasi genealogis yang panjang dan kompleks, menyambung hingga kerajaan-kerajaan besar di Nusantara. Ia merupakan bagian dari jaringan elite tradisional yang menjalin hubungan kekeluargaan dengan Kerajaan Gowa di Sulawesi Selatan, Kesultanan Mataram di Jawa, serta Kesultanan Bima di Nusa Tenggara Barat.
Konstelasi genealogis ini tidak hanya memperkuat legitimasi politik keluarganya di mata masyarakat lokal, tetapi juga mengukuhkan posisi mereka dalam relasi kuasa kolonial.
Jejak genealogis Sosrokusumo II berawal dari seorang pangeran Kerajaan Gowa bernama Karaeng Nobo. Sebagai putra Raja Gowa, Karaeng Nobo melakukan pernikahan strategis dengan Nyai Karaeng Nobo, seorang bangsawati Jawa yang merupakan putri dari Ratu Mas Sigit, adik kandung Sultan Agung, penguasa terbesar Kesultanan Mataram. Dari pernikahan ini lahirlah dua cabang keturunan penting yang akan memainkan peran besar dalam sejarah elite lokal Jawa Timur.
Cabang pertama, melalui anak perempuan bernama Nyai Ageng Datuk Sleman, menikah dengan Kyai Datuk Sleman, putra Raja Bima. Dari pasangan ini lahir Nyai Ageng Derpoyudo, tokoh utama dalam garis keturunan menuju Kanjeng Jimat. Cabang kedua, melalui Nyai Ageng Wiroyudo, melahirkan keturunan-keturunan terkemuka seperti Ki Ageng Derpoyudo, Nyai Ageng Honggoyudo, Nyai Damis Rembang, dan Nyai Sontoyudo. Hubungan antarketurunan ini membentuk sebuah jaringan genealogis yang tidak hanya melibatkan elite lokal, tetapi juga memantulkan dinamika kekuasaan lintas wilayah dan budaya.
Salah satu putra Nyai Ageng Honggoyudo adalah Raden Tumenggung Sosronegoro I, Bupati Grobogan, yang menurut catatan keluarga memiliki 28 orang anak.Dua anak dari garis ini menjadi pilar utama pembentukan elite Berbek: Raden Tumenggung Sosrokusumo I alias Kanjeng Jimat, serta Raden Tumenggung Sosrodirejo, bupati kedua Berbek. Sosrokusumo I kemudian mewariskan jabatan kepada putranya, Sosrokusumo II, yang kelak dikenal sebagai bupati keempat Berbek, menggantikan susunan pemerintahan setelah masa transisi kolonial awal.
Sosrokusumo II lahir dari warisan tidak tertulis yang membawa kombinasi antara kekuasaan administratif, keturunan raja, dan legitimasi spiritual. Dalam struktur masyarakat Jawa abad ke-19, kekuasaan tidak dapat dilepaskan dari warisan darah dan kedekatan dengan pusat-pusat spiritualitas Islam. Kanjeng Jimat sendiri dikenang tidak hanya sebagai bupati administratif, tetapi juga sebagai tokoh suci yang membawa pengaruh Islam ke wilayah Berbek dan sekitarnya. Namanya dikenang dalam cerita rakyat dan tradisi lisan sebagai pemimpin yang mampu menjembatani antara tatanan kosmis dan politik.
Pola yang sama diwarisi oleh Sosrokusumo II. Dengan mengemban nama ayahnya, ia tidak hanya menjaga kesinambungan birokrasi kolonial, tetapi juga menegaskan legitimasi berdasarkan nasab. Dalam pandangan masyarakat Jawa, terutama pada era pasca-mataram, silsilah bukan sekadar alat klaim identitas, melainkan menjadi instrumen utama untuk menjustifikasi kekuasaan dan posisi sosial. Oleh karena itu, klaim keturunan dari Sultan Agung dan Karaeng Nobo bukan semata catatan keluarga, melainkan fondasi ideologis kekuasaan.
Jaringan genealogis ini menjangkau wilayah yang lebih luas. Salah satu tokoh besar dari Madiun, yakni Raden Ronggo Prawirodirdjo I—wedana Bupati Madiun pasca-Perjanjian Giyanti tahun 1755—tercatat sebagai bagian dari silsilah yang sama.Ia adalah putra dari Ki Ageng Derpoyudo, saudara dari Nyai Ageng Honggoyudo. Artinya, hubungan antara Berbek dan Madiun terikat dalam simpul keluarga yang memperkuat solidaritas elite lokal dalam menghadapi tekanan kolonial. Koneksi ini juga menunjukkan bagaimana elite Jawa membangun kekuatan melalui aliansi perkawinan yang lintas wilayah, dari Grobogan hingga Madiun, dari Bima hingga Gowa.
Melalui strategi pernikahan dan afiliasi darah, keluarga besar Sosrokusumo memperkuat eksistensinya dalam sistem kekuasaan kolonial. Hal ini menunjukkan bahwa, bahkan di tengah dominasi Belanda, struktur tradisional tetap memainkan peran penting dalam stabilitas politik lokal. Pemerintah kolonial pun tidak bisa mengabaikan pengaruh figur-figur seperti Kanjeng Jimat dan Sosrokusumo II, karena mereka merupakan simpul penting antara rakyat dan pemerintah pusat.
Dengan demikian, jejak historis Raden Tumenggung Sosrokusumo II bukan hanya kisah seorang bupati lokal. Ia adalah representasi dari sistem kekuasaan yang mengakar dalam darah, budaya, dan agama. Nasabnya bukan sekadar warisan biologis, melainkan juga dokumen historis yang menyambungkan Berbek dengan pusaran besar sejarah Nusantara.