free web hit counter
Scroll untuk baca artikel
Hiburan, Seni dan Budaya

Radjiman Wedyodiningrat dan Lahirnya Pancasila: Sumbangan Keraton Surakarta untuk Indonesia

Penulis : Aunur Rofiq - Editor : Sri Kurnia Mahiruni

13
×

Rencana Rilis PlayStation 6 Berpotensi Terungkap, Berkat Microsoft

Share this article
Stik Playstation
Foto bersejarah: dr. K.R.T. Radjiman Wedyodiningrat (kiri) memegang palu sidang. (Foto: IPPHOS/ANRI)

JATIMTIMES - Dalam sejarah panjang kebangkitan nasional Indonesia, Keraton Surakarta Hadiningrat memainkan peran yang lebih besar dari sekadar simbol budaya dan pewaris tradisi Jawa. Di balik tembok istana yang tenang dan tata upacara yang khidmat, tersimpan dinamika politik yang turut mengalirkan tenaga ke arah terciptanya Indonesia Merdeka. 

Salah satu figur yang menandai keterlibatan tersebut adalah K.R.T. Radjiman Wedyodiningrat—seorang dokter, nasionalis, abdi dalem Keraton Kasunanan Surakarta, sekaligus negarawan—yang kelak menjabat sebagai Ketua Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI). Jalan yang ditempuhnya tidaklah lapang, melainkan sunyi dan penuh pergulatan antara dunia adat serta politik modern.

Baca Juga : Kirab Pancasila dan Pawai Lentera Dilepas Wali Kota Mas Ibin, Tanda Cinta Warga Blitar pada Ideologi Bangsa

Historiografi nasional kerap mengabaikan peran politik keraton, apalagi dalam hubungannya dengan awal mula konsepsi dasar negara. Namun studi seperti Prelude to Revolution: Palaces and Politics in Surakarta, 1912–1942 karya George Donald Larson telah membuka tabir tentang kompleksitas politik internal keraton, serta pertemuan ideologi antara para bangsawan dan kaum pergerakan modern. Di antara fragmen-fragmen sejarah ini, nama Radjiman mencuat bukan hanya sebagai seorang intelektual, tetapi juga sebagai jembatan antara dunia tradisional dan modern. 

Budi Utomo dan Persatuan Bangsa Indonesia – Gerakan dari Timur yang Menyentuh Istana

Perjalanan Radjiman tidak bisa dilepaskan dari sejarah berdirinya Budi Utomo, organisasi modern pertama yang berbasis pada pendidikan dan kebangsaan, yang kelak bertransformasi menjadi fondasi utama nasionalisme awal di kalangan priyayi. Namun dinamika itu mengalami eskalasi signifikan ketika pada Oktober 1930, di kota Surabaya, dr. Sutomo mendirikan Persatuan Bangsa Indonesia (PBI), organisasi yang dengan terang-terangan menyuarakan cita-cita kebangsaan.

Keraton Surakarta mulai menunjukkan keterlibatannya secara terbuka ketika pada Desember 1935, Budi Utomo dan PBI bergabung. Penggabungan ini tidak hanya mencerminkan sinergi antara elite terdidik dan kekuatan tradisional, tetapi juga mengantarkan pada terbentuknya Partai Indonesia Raya (Parindra). Di sinilah peran Radjiman dan rekan-rekannya menjadi signifikan. 

Wuryaningrat, seorang bangsawan keraton, menjabat sebagai wakil ketua di bawah Sutomo. Gabungan ini menjadi kekuatan besar dalam dekade 1930-an, dengan anggota mencapai 20.000 pada akhir masa kolonial, dan cabangnya menjangkau dari Jawa hingga ke luar pulau.

Larson mencatat bahwa kekuatan awal Parindra sebenarnya adalah hasil dari aliansi antara kelompok pengikut Sutomo di Surabaya dan kelompok politisi Keraton Surakarta. Solo dan Surabaya, dua kota dengan latar budaya dan sejarah yang berbeda, bersatu dalam semangat kemerdekaan. Solo dipandang sebagai pusat politik budaya Jawa, sementara Surabaya adalah kota modern yang dinamis dan progresif.

Radjiman dan Parindra – Strategi, Diplomasi, dan Sunyi Jalan Kaum Priyayi

Setelah Sutomo wafat pada tahun 1938, Wuryaningrat menggantikannya sebagai Ketua Parindra. Pusat kepemimpinan resmi memang berada di Surabaya, namun dalam kongres Desember 1938, M. Sutedjo dari Solo juga terpilih sebagai pengurus pusat. Kendali organisasi bergeser secara perlahan ke Surakarta, meski lima dari tujuh pengurus pusat berasal dari Surabaya. Inilah masa ketika politik keraton bergerak dalam ruang yang sempit namun strategis.

Radjiman sendiri tidak tercatat sebagai pengurus utama Parindra, namun posisinya sebagai penasihat, intelektual, dan tokoh terpandang dari kalangan priyayi membuatnya menjadi suara penting dalam percaturan ideologis. Ia tidak menonjolkan diri, tetapi pengaruhnya terasa dalam garis moderat dan rasional yang dijalankan Parindra. Jalan sunyi itu—jalan kompromi, diplomasi, dan kehati-hatian—justru membuka jalan panjang menuju kemerdekaan.

Dalam ingatan sejarah, peran Radjiman dalam BPUPKI kerap dirayakan. Namun kontribusinya dalam menyiapkan lahan ideologis bagi kemerdekaan dimulai jauh sebelum itu—ketika ia masih menjadi dokter keraton dan pembela politik etik yang mempertemukan nilai-nilai tradisional dengan rasionalitas Barat. 

Jepang dan Keraton – Diplomasi Terselubung dan Ancaman dari Utara

Sementara pergerakan nasional terus tumbuh, ancaman lain mulai terasa dari arah Jepang. Setelah devaluasi yen pada tahun 1931, produk-produk Jepang membanjiri Hindia Belanda. Belanda tidak hanya khawatir terhadap penetrasi ekonomi, tetapi juga potensi spionase, pengaruh budaya, dan dukungan kepada gerakan nasional.

Di Surakarta, Jepang memusatkan perhatian pada dua kerajaan: Kasunanan dan Mangkunegaran. Pada 1932, perusahaan Ishihara Mining Co. mendapat izin eksplorasi tembaga dari Mangkunegara VII di Wonogiri. Keberanian Jepang menggarap wilayah yang sebelumnya ditolak oleh Belanda karena dianggap tidak menguntungkan, menimbulkan kecurigaan akan motif politik dan militer. Mereka bahkan merencanakan pengapalan hasil tambang dari Teluk Pacitan, sebuah kawasan strategis di selatan Jawa.

Gubernur Orie melaporkan pada Juli 1939 bahwa tokoh-tokoh Jepang kerap berkunjung ke keraton, terutama kepada Pangeran Hadiwjoyo dan Suryohamijoyo. Nama-nama seperti Sawabe dan pemilik toko Fujiyoko menjadi penghubung antara Jepang dan elite keraton. Hadiah-hadiah dikirimkan, jamuan-jamuan dihelat, bahkan istri dan anak Mangkunegara ikut serta dalam kunjungan diplomatik informal ini.

Tak mengherankan jika Belanda kemudian mencurigai bahwa Surakarta akan menjadi tempat ideal bagi Jepang membentuk pemerintahan boneka. Dalam sebuah dokumen rahasia yang disita dari wartawan Jepang di Batavia, disebutkan adanya keinginan dari sebagian elite untuk mengangkat P. Suryohamijoyo sebagai “Raja Indonesia” dalam skenario pasca-penjajahan. 

BPUPKI dan Radjiman – Kelahiran Pancasila dalam Bayang-Bayang Keraton

Perjalanan Radjiman menemukan klimaksnya ketika Jepang membentuk BPUPKI (Dokuritsu Junbi Chosakai) pada 29 April 1945. Dalam sidang pembuka pada 28 Mei, Radjiman ditunjuk sebagai Ketua, sebuah penunjukan yang bukan kebetulan. Ia dihormati sebagai seorang nasionalis tua, bijak, dan netral dari segi politik—pribadi yang cocok untuk memimpin diskusi ideologis tanpa menciptakan gesekan antar faksi.

Pada sidang 1 Juni 1945, Radjiman memancing perdebatan dengan pertanyaan dasar: “Apa dasar bagi negara Indonesia yang akan kita dirikan?” Pertanyaan inilah yang memantik pidato monumental Soekarno tentang Pancasila. Namun Radjiman tidak sekadar fasilitator. Dalam banyak naskah dan pidatonya, ia sendiri mencetuskan pemikiran tentang perlunya dasar negara yang “berakar pada jiwa bangsa,” satu pandangan yang jelas berangkat dari nilai-nilai Jawa dan pengalaman hidupnya di lingkungan keraton.

Pancasila lahir dalam ruang yang tidak hampa dari sejarah. Kehadiran Radjiman menjadi penghubung antara warisan budaya Jawa yang menjunjung harmoni dan nilai luhur, dengan kebutuhan modern sebuah negara bangsa. Kontribusinya bukanlah dalam bentuk gagasan orisinal yang menggelegar, tetapi dalam menjaga agar proses konsepsi itu tetap dalam koridor keseimbangan. 

Dari Keraton Menuju Republik

Kisah Radjiman Wedyodiningrat dan keterlibatan Keraton Surakarta dalam gerakan kemerdekaan menunjukkan betapa kompleksnya hubungan antara tradisi dan modernitas, antara kerajaan dan republik. Historiografi Indonesia terlalu lama menempatkan keraton sebagai sisa feodalisme. Namun ketika ditelusuri lebih dalam, peran mereka tidak sesederhana itu.

Melalui tokoh-tokoh seperti Radjiman, Wuryaningrat, dan Sutedjo, kita melihat bahwa keraton tidak sepenuhnya menolak perubahan. Mereka tidak memimpin revolusi dengan pedang atau api, tetapi menawarkan jalan sunyi: jalan diplomasi, jalan nilai, dan jalan harmoni. Inilah yang membuat keterlibatan mereka justru abadi dalam arus sejarah—sebagaimana Pancasila itu sendiri, lahir dari perpaduan idealisme, lokalitas, dan jiwa kebangsaan yang merdeka.

Radjiman dan Jejak Intelektual Surakarta: Peran Pakubuwono X dalam Mencetak Kader Bangsa

Di antara derap langkah sejarah kebangsaan Indonesia, nama dr. Kanjeng Raden Tumenggung (K.R.T.) Radjiman Wedyodiningrat terukir sebagai tokoh yang tidak hanya hadir, tetapi turut merumuskan dan mengawal arah perjalanan bangsa. Lahir pada 21 April 1879 di Yogyakarta, bertepatan dengan tanggal kelahiran Kartini, Radjiman adalah simbol kelahiran kesadaran nasional yang berakar dari kaum terdidik bumiputra.

Radjiman lahir dari keluarga priyayi Jawa, dengan ayah bernama Sutodrono dan ibu berdarah Gorontalo, yang menjadi cermin pluralitas Indonesia sejak dini. Keponakan dari tokoh perintis pendidikan, Wahidin Soedirohoesodo, Radjiman mendapat dukungan penuh untuk menempuh pendidikan kedokteran di School tot Opleiding van Inlandsche Artsen (STOVIA) Batavia, yang ia selesaikan pada Desember 1898. Identitasnya sebagai dokter tak lantas membatasi dirinya pada profesi medis; ia menjelma menjadi intelektual-politik yang memperjuangkan kemerdekaan dengan nalar dan strategi.

Radjiman Wedyodiningrat, yang kelak dikenal sebagai Ketua BPUPKI dan arsitek awal ideologi Indonesia merdeka, lahir dari ekosistem intelektual yang berkembang di Surakarta. Salah satu tokoh penting di balik atmosfer ini adalah Pakubuwono X, raja progresif yang menjadikan pendidikan sebagai alat transformasi sosial.

Baca Juga : Daftar Film Indonesia Tayang Juni 2025: Mana yang Paling Kamu Tunggu?

Sejak awal abad ke-20, Pakubuwono X membangun sekolah-sekolah modern seperti Sekolah Desa dan Sekolah Angka II, yang mengajarkan keterampilan dasar kepada rakyat. Uniknya, pendanaan sekolah ini berasal dari kas Kasunanan, bukan pemerintah kolonial, mencerminkan kemandirian dan visi sosial kraton.

Ia juga mendirikan sekolah-sekolah elite seperti HIS Kasatriyan dan Pamardi Putri, serta Frobel School untuk anak-anak priyayi dan abdi dalem. Di ranah keislaman, Madrasah Mamba’ul Ulum (1905) berdiri di Masjid Agung Surakarta, membuka jalan bagi generasi pelajar yang kelak menembus universitas di Timur Tengah.

Pakubuwono X tak hanya fokus pada pendidikan lokal, tetapi juga membiayai studi lanjut ke Eropa. Tokoh-tokoh seperti Pangeran Arya Natabrata dan Natakusuma dikirim ke universitas di Belanda. Beasiswa pribadi juga diberikan kepada anak-anak cerdas dari kalangan abdi dalem, menghasilkan intelektual seperti Notonagoro, Wongsonagoro, dan Widodo (menantu Radjiman).

Meskipun Radjiman tidak tercatat sebagai penerima beasiswa resmi, ia tumbuh dalam ekosistem pendidikan dan budaya yang dibentuk kraton. Lulus dari STOVIA dan aktif dalam dunia kedokteran serta politik, jejaring Radjiman sangat terkait dengan para alumni sekolah dan penerima beasiswa Pakubuwono X.

Historiografi Radjiman sering menekankan perannya menjelang kemerdekaan, namun akar intelektualnya berasal dari reformasi pendidikan di Surakarta. Kebijakan Pakubuwono X menciptakan struktur pendidikan Islam dan Barat, yang menjadi dasar lahirnya pemikir seperti Radjiman.

Pakubuwono X, meski tidak secara langsung mendidik Radjiman, menjadi patron penting dalam perjalanan intelektualnya. Dari Surakarta, lahirlah sebuah ekosistem yang menyemai bibit kebangsaan Indonesia modern.

Sebelum dikenal sebagai negarawan dan Ketua BPUPKI, Dr. Radjiman Wedyodiningrat telah lebih dulu menapaki dunia pergerakan dari lingkungan Kasunanan Surakarta. Ia adalah abdi dalem keraton berpangkat kliwon, sebuah posisi yang menunjukkan kedekatannya dengan lingkaran elite kraton. Dari posisi inilah, Radjiman mulai berkiprah dalam organisasi pergerakan awal, Budi Utomo.

Peran Radjiman dalam Budi Utomo berawal dari keterlibatannya sebagai Ketua Cabang Surakarta. Cabang ini tidak sembarangan; kantor organisasinya bahkan berlokasi di dalam lingkungan Kasunanan, menunjukkan eratnya hubungan antara gerakan modernis priyayi ini dengan struktur tradisional istana. Dari Surakarta, Radjiman kemudian tampil di panggung nasional. Dalam Kongres Budi Utomo di Surabaya, ia terpilih sebagai Ketua Pengurus Besar untuk masa bakti 1916–1921.

Setelah masa baktinya berakhir, jabatan ketua sempat berpindah ke Pangeran Arya Hadiwijoyo pada kongres tahun 1921. Namun pada 1922, jabatan itu kembali dipegang oleh Radjiman, mewakili kepemimpinan pusat organisasi. Dalam periode ini, ia bukan hanya sekadar tokoh medis lulusan STOVIA, melainkan juga figur penting di antara kalangan priyayi intelektual yang memperjuangkan kemajuan bumiputra lewat pendidikan dan organisasi.

Nama-nama besar lain dari Surakarta yang turut memperkuat Budi Utomo adalah RMA Wuryaningrat, Dwijosewoyo, dan RMA Suryo Suparto—semuanya mengusung kepemimpinan berbasis nilai-nilai astabrata, pandangan kepemimpinan Jawa yang menekankan kebijaksanaan, kesederhanaan, dan keteguhan. Dalam suasana kota Surakarta yang mulai bergolak oleh semangat revolusi dan reformasi, Radjiman berdiri sebagai jembatan antara dunia tradisi dan dunia baru yang diperjuangkan oleh kaum cendekia bumiputra.

Sebagai anggota Boedi Oetomo, organisasi pergerakan nasional pertama yang berdiri tahun 1908, Radjiman tampil aktif dalam upaya membangkitkan kesadaran kebangsaan. Ia bahkan sempat mengusulkan pembentukan milisi rakyat sebagai embrio tentara nasional. Usulan ini mendapat tanggapan dari pemerintah Hindia Belanda dengan pembentukan Volksraad (Dewan Rakyat), dan Radjiman terpilih menjadi salah satu anggotanya, mewakili Boedi Oetomo.

Namun, puncak kontribusi Radjiman dalam sejarah kemerdekaan Indonesia terjadi pada 1945, saat ia dipercaya menjadi ketua Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI). Dalam sidang BPUPKI tanggal 29 Mei 1945, Radjiman melontarkan pertanyaan fundamental: "Apa dasar negara Indonesia jika kelak merdeka?" Sebuah pertanyaan yang kemudian dijawab oleh Soekarno dengan pidato monumental yang melahirkan Pancasila.

Jawaban Soekarno tentang lima sila dasar negara dicatat dan dikembangkan dalam pengantar buku Pancasila edisi pertama tahun 1948, yang diterbitkan di Desa Dirgo, Kecamatan Widodaren, Kabupaten Ngawi, tempat Radjiman tinggal kala itu. 

Naskah pengantar tersebut menjadi bukti kontribusi intelektual Radjiman dalam memperkuat legitimasi ideologis bangsa. Rumah tinggalnya, yang kini dikenal dengan nama "Kanjengan", telah menjadi situs sejarah nasional yang dihormati.

Menjelang proklamasi kemerdekaan, pada 9 Agustus 1945, Radjiman bersama Soekarno dan Mohammad Hatta diterbangkan ke Saigon dan Dalat untuk menemui Marsekal Hisaichi Terauchi, pemimpin pasukan Jepang di Asia Tenggara. Pertemuan ini terkait dengan langkah Jepang menyikapi kekalahan setelah bom atom meluluhlantakkan Hiroshima dan Nagasaki. Dalam konteks kekosongan kekuasaan yang muncul, Radjiman berperan penting sebagai negosiator menjelang kemerdekaan bangsa.

Setelah kemerdekaan, Radjiman terus aktif dalam politik. Ia tercatat sebagai anggota Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP), Dewan Pertimbangan Agung (DPA), dan bahkan memimpin sidang pleno pertama Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) pada 1950, setelah Republik Indonesia kembali ke bentuk negara kesatuan dari Republik Indonesia Serikat (RIS). Radjiman tidak hanya hadir dalam momen kebangkitan, tapi juga ikut menata struktur negara pasca-kemerdekaan.

Radjiman wafat pada 20 September 1952 dan dimakamkan di Yogyakarta. Meski wafat dalam usia tua, warisan perjuangannya tetap hidup. Pada tahun 2013, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono secara resmi menganugerahinya gelar Pahlawan Nasional Indonesia, mengukuhkan namanya dalam deretan pendiri bangsa.

Historiografi Radjiman Wedyodiningrat mencerminkan perjalanan panjang Indonesia menuju kemerdekaan. Ia adalah benang merah dari pergerakan awal (Boedi Oetomo), parlemen kolonial (Volksraad), perumus ideologi negara (BPUPKI), hingga penata struktur negara merdeka (DPR dan DPA). Dengan latar belakang medis, semangat kebangsaan, dan wawasan kenegaraan yang mendalam, Radjiman adalah simbol dokter bangsa yang menyembuhkan luka kolonialisme dan merintis jalan kemerdekaan.