free web hit counter
Scroll untuk baca artikel
Hiburan, Seni dan Budaya

Arya Menak Sumendi: Dari Adipati Lumajang ke Leluhur Sultan Cirebon, Palembang, dan Blitar

Penulis : Aunur Rofiq - Editor : Sri Kurnia Mahiruni

13
×

Rencana Rilis PlayStation 6 Berpotensi Terungkap, Berkat Microsoft

Share this article
Stik Playstation
Situs Biting, reruntuhan Kerajaan Lamajang Tigang Njuru yang menyimpan jejak sejarah Arya Menak Sumendi di Lumajang. (Foto: Aunur Rofiq/ JatimTIMES) 

JATIMTIMES - Dalam lintasan sejarah Nusantara, kisah Arya Menak Sumendi merupakan fragmen penting yang menjembatani masa awal penyebaran Islam, transformasi politik Majapahit, dan silsilah spiritual Kesultanan Cirebon. 

Ia bukan hanya dikenal sebagai Adipati pertama Lumajang setelah Kerajaan Lamajang Tigang Njuru melebur ke dalam Wilwatikta Majapahit, tetapi juga sebagai pewaris tradisi Islam dan warisan Majapahit yang kelak menemukan artikulasinya dalam lahirnya kesultanan-kesultanan Islam di pesisir utara Jawa. Jejak sejarahnya bersumber dari Wangsa Lumajang, sebuah dinasti lokal yang menjadi salah satu pusat awal pengaruh Islam di Jawa Timur.

Baca Juga : Ketika Janji Raden Wijaya Dipertaruhkan: Tragedi Ranggalawe dan Lahirnya Lamajang Tigang Juru

Arya Menak Sumendi naik sebagai Adipati Lumajang menggantikan Arya Wangbang Pinatih II, yang masih merupakan cucu dari Sri Nararya Wangbang Menak Koncar, adik Arya Adikara Ranggalawe dan putra Arya Wiraraja. Konstelasi ini menunjukkan kesinambungan kuasa lokal yang sudah mulai berpaut pada pengaruh Islam. 

Arya Wangbang Pinatih I dikenal dalam khazanah lokal dan lintas historiografi sebagai figur penting yang menurunkan Nyai Ageng Pinatih, saudagar muslimah Gresik yang menjadi pengasuh Raden Paku Sunan Giri. Maka, genealogis Arya Menak Sumendi tak dapat dilepaskan dari jalur Islamisasi awal di wilayah-wilayah strategis pelabuhan Jawa.

Pada masa Arya Menak Sumendi menjadi Adipati, Majapahit telah mengalami transformasi politik besar. Maharaja Majapahit, Nararya Ranamanggala yang naik tahta dengan gelar abhiseka Sri Maharaja Wikramawarddhana Bhatara Hyang Wisesa, adalah tokoh penting dalam integrasi wilayah Lumajang ke dalam sistem kerajaan pusat. Ranamanggala, menantu Hayam Wuruk, membawa Lamajang Tigang Juru, tiga pusat kekuasaan lokal di Lumajang, ke dalam struktur pemerintahan Majapahit. Oleh karenanya, jabatan "raja" di Lumajang pun direduksi menjadi "adipati", menandai subordinasi atas otoritas Majapahit.

Sri Wikramawarddhana bukan sekadar tokoh politik, tetapi juga penanda transisi ideologi religius. Sebagai putra Bhre Paguhan Singhawarddhana dan cucu Bhatara Kertawarddhana, Wikramawarddhana memiliki garis keturunan dari Rani Paguhan, seorang muslimah. Dalam penetapan prasasti Patapan tahun 1307 Saka (1385 M), Wikramawarddhana memberikan sebidang tanah di desa Patapan kepada seorang janggan, yakni pandhita desa, sebagai bentuk legitimasi kekuasaan spiritual Islam dalam struktur masyarakat desa. Ini menandai fase di mana otoritas kerajaan memberikan pengakuan resmi pada komunitas dan tokoh Islam di bawah sistem kapitayan, pendahulu sistem keulamaan dalam Islam.

Dokumen prasasti Patapan menunjukkan bahwa janggan yang mendapat tanah tersebut diposisikan sebagai tokoh spiritual yang akan mewarisi tanah itu secara turun-temurun, lengkap dengan kebun, sawah, dan pekarangan. Inskripsi itu disahkan oleh rajamudra (cap kerajaan) yang menyebut Bhattara Hyang Wisesa sebagai pemberi titah. Dari kronik Babad Gresik, diketahui bahwa tokoh seperti Maulana Malik Ibrahim dan Maulana Mahpur telah tiba di Gresik sejak tahun 1371 M, mendakwahkan Islam, membangun masjid, pasar, dan pesantren. Koneksi antara Maulana Malik Ibrahim dengan anugerah tanah tersebut menjadi jembatan antara kekuasaan politik Majapahit dan ekspansi Islam di wilayah Gresik.

Penting dicatat bahwa Arya Damar, tokoh penting dari Palembang dan ayah dari Raden Patah, juga berasal dari trah Lumajang ini. Ia merupakan salah satu anak dari Sri Kertawijaya, adik Maharani Suhita, yang menjadi raja Majapahit pada pertengahan abad ke-15. Keterhubungan ini semakin memperkuat posisi Arya Menak Sumendi sebagai figur penting dalam genealogis Walisongo dan para penguasa muslim pesisir.

Bukti lain yang mendukung hubungan ini adalah konstruksi arsitektural dan ideologis yang ditinggalkan oleh anak-anak Sri Wikramawarddhana. Candi-candi seperti Cetho dan Sukuh menunjukkan sinkretisme antara Kapitayan, unsur Islam awal, dan ajaran Siwa-Buddha yang telah mulai memudar. Dalam konteks ini, pergeseran ideologis tampak sebagai gejala lahirnya kekuatan spiritual baru, yang kemudian mewarnai struktur kekuasaan politik di Demak, Gresik, Cirebon, dan Palembang.

Dari sisi budaya, munculnya kidung-kidung kerakyatan seperti "Sudamala" mencerminkan proses resepsi atas ajaran baru dalam medium kesusastraan lokal. Tokoh seperti Sermar yang menaklukkan Ra Nini (Durga) adalah alegori dari kemenangan nilai-nilai baru yang lebih bersahabat terhadap rakyat, suatu simbol kemenangan Islam atas ajaran aristokratis yang mulai kehilangan daya pengaruh.

Arya Menak Sumendi dalam lanskap ini bukan hanya adipati administratif, melainkan perantara antara Majapahit dan Islam. Ia hidup dalam masa peralihan antara dominasi Hindu-Buddha dan munculnya kekuatan Islam yang di masa mendatang melahirkan dinasti-dinasti Islam di berbagai wilayah Jawa. 

Arya Menak Sumendi menjabat sebagai Adipati Lumajang pada masa pemerintahan Ratu Suhita (1429–1447 M), salah satu penguasa perempuan dalam sejarah Majapahit.  Kepemimpinannya berlangsung di tengah-tengah perubahan besar dalam struktur kekuasaan dan kepercayaan di Jawa. Setelah wafatnya, posisi Adipati Lumajang diteruskan oleh Arya Tepasana, yang merupakan bagian dari dinasti lokal yang kuat di wilayah tersebut. 

Arya Tepasana, penerus Arya Menak Sumendi, memiliki enam orang anak—tiga putra dan tiga putri—yang memainkan peran penting dalam penyebaran Islam di Jawa.  Putrinya, Nyimas Ayu Tepasari, menikah dengan Sunan Gunungjati, salah satu Wali Songo yang terkenal, dan dari pernikahan ini lahir Pangeran Ratu, leluhur para sultan Cirebon.  

Putri bungsunya, Nyimas Ayu Waruju, menikah dengan Raden Mahmud Pangeran Sapanjang, putra Sunan Ampel, dan menurunkan Nyai Wilis.  Nyai Wilis kemudian menikah dengan Raden Kusen Adipati Terung, putra Arya Damar dari Palembang, dan dari pernikahan ini lahir tokoh-tokoh penting seperti Pangeran Arya Suradireja (Adipati Palembang), Pangeran Arya Terung (Adipati Sengguruh), Pangeran Arya Balitar (Adipati Blitar), dan Pangeran Singhasari. 

Dengan demikian, Arya Menak Sumendi berada dalam pusat pusaran sejarah yang kompleks: ia adalah penghubung antara Arya Wiraraja dan para wali, antara Lumajang dan Cirebon, antara Majapahit dan Islam. Melalui garis keturunannya, tradisi spiritual, dan jalinan politik, ia menjadi simpul penting dalam terbentuknya jaringan kekuasaan baru yang mendasari terbentuknya kerajaan-kerajaan Islam di Jawa. Namanya memang tak setenar tokoh seperti Raden Patah atau Sunan Giri, tetapi dalam naskah-naskah tua dan prasasti kerajaan, jejaknya dapat diikuti sebagai pemuka transisi, penjaga jembatan antara zaman.

Keturunan Arya Menak Sumendi dan Arya Tepasana menyebar ke berbagai wilayah di Jawa, memainkan peran penting dalam pemerintahan dan penyebaran Islam. Pangeran Arya Terung menjadi Adipati Sengguruh, yang meskipun awalnya beragama Hindu, kemudian memeluk Islam dan menjadi penyebar dakwah di pedalaman Jawa.  Pangeran Arya Balitar menjadi Adipati Blitar, dan Pangeran Singhasari juga memegang peran penting di wilayahnya.  Keturunan mereka tercatat dalam berbagai naskah dan silsilah, menunjukkan kesinambungan kekuasaan dan pengaruh dari masa Majapahit hingga era kolonial dan kemerdekaan Indonesia. 

Meskipun peran Arya Menak Sumendi dan keturunannya sangat signifikan dalam sejarah Jawa, banyak dari situs dan peninggalan mereka kini terlupakan atau tidak terawat.  Situs Biting, sebagai contoh, menghadapi ancaman dari pembangunan modern dan kurangnya perhatian dari pihak berwenang.  Upaya pelestarian dan penelitian lebih lanjut sangat diperlukan untuk menjaga dan mengungkap lebih banyak tentang warisan sejarah ini, yang merupakan bagian integral dari identitas dan budaya Indonesia. 

Ke depan, penggalian arkeologis di situs Biting Lumajang, studi tekstual atas prasasti Patapan, dan riset silsilah para wali serta penguasa pesisir utara Jawa berpotensi mengungkap lebih jauh peran Arya Menak Sumendi dalam sejarah pembentukan Nusantara Islam. Penulis berpendapat, tokoh-tokoh seperti Arya Menak Sumendi mesti dikaji bukan hanya sebagai tokoh politik lokal, tetapi sebagai aktor yang mengantarkan perubahan paradigmatik dalam sejarah Indonesia.

Lamajang Tigang Njuru: Kerajaan Islam Pertama di Jawa dan Jejaknya di Situs Biting

Di lereng tenang Lumajang, tepatnya di Desa Kutorenon, Kecamatan Sukodono, berdiri sebuah situs kuno yang menyimpan gema masa lalu yang nyaris terlupakan: Situs Biting. Di sinilah, sejarah panjang Kerajaan Lamajang Tigang Njuru — sebuah kerajaan yang dipercaya sebagai kerajaan Islam pertama di Jawa — menemukan ruang untuk bersuara kembali. Situs ini tidak hanya menjadi simbol arkeologis semata, tetapi juga ruang spiritual yang mempertemukan warisan Islam, budaya Jawa, dan tradisi Madura dalam satu harmoni yang menyejukkan.

Situs Biting adalah bekas pusat Kerajaan Lamajang Tigang Njuru yang dipimpin oleh Arya Wiraraja, seorang tokoh besar dalam sejarah Nusantara. Situs ini mencakup area seluas sekitar 135 hektare, dikelilingi oleh tembok benteng sepanjang 10 kilometer, lebar 6 meter, dan tinggi 10 meter — bukti monumental dari kekuatan militer dan struktur politik yang maju pada masanya. Nama "Biting" sendiri berasal dari bahasa Madura yang berarti "benteng", merujuk pada struktur pertahanan yang mengitari kota kuno ini.

Penelitian Balai Arkeologi Yogyakarta tahun 1982–1991 membagi kawasan ini menjadi enam blok, antara lain blok Keraton, Jeding, Biting, Randu, Salak, dan Duren. Dalam Negarakertagama, wilayah ini disebut "Arnon", yang kemudian dikenal sebagai Renong pada abad ke-17. Kini, kawasan tersebut berada di Desa Kutorenon — yang oleh masyarakat setempat disebut "Ketonon" atau daerah yang pernah terbakar, menyimpan narasi rakyat tentang kehancuran akibat konflik masa silam.

Namun, perkembangan modern mengancam situs ini. Pada 1995, pembangunan Perumnas Biting menyebabkan kerusakan pada sekitar 15 hektare wilayah situs, memicu kekhawatiran para arkeolog dan budayawan atas lenyapnya warisan sejarah yang tak tergantikan.

Baca Juga : Lengser Sebelum Diadili: Eks Kadis DPUPR Kota Blitar Ternyata Pensiun Dini Jelang Penetapan Tersangka

Jejak Arya Wiraraja tak terlepas dari sejarah pendirian Majapahit. Ia adalah Demung Kerajaan Singasari yang kemudian menjadi Adipati Madura setelah menentang kebijakan ekspansi Sri Kertanegara ke Sumatra. Ketika Singasari runtuh akibat serangan Jayakatwang dari Kediri, Raden Wijaya — menantu Kertanegara — melarikan diri dan berlindung ke Madura.

Di sinilah Arya Wiraraja memainkan peran penting. Ia menyambut Raden Wijaya dan membantu menyusun rencana untuk merebut kembali kekuasaan. Dalam Kidung Harsawijaya dan Kidung Panji Wijayakrama disebutkan, terjadi perjanjian bahwa apabila Raden Wijaya berhasil merebut tahta, wilayah Jawa akan dibagi dua. Raden Wijaya berhasil mendirikan Majapahit di Hutan Tarik, yang diberi nama berdasarkan pohon maja yang pahit.

Sebagai imbalan atas jasanya, Arya Wiraraja diberi wewenang atas wilayah Lamajang — bagian timur bekas Kerajaan Singasari. Wilayah ini kemudian dikenal sebagai Kerajaan Lamajang Tigang Njuru. Kerajaan ini mencakup Madura, Lamajang, Patukangan (Panarukan), hingga Blambangan. Di sinilah pula muncul budaya “Pendalungan,” sebuah sintesis antara Jawa dan Madura, yang membedakannya dari budaya Mataraman di wilayah Majapahit.Arya Wiraraja, menurut catatan historiografi, adalah seorang muslim yang menolak praktik Tantrayana Sri Kertanegara. Hal ini menjadi awal mula munculnya corak Islam dalam struktur kekuasaan Lamajang.

Setelah mangkatnya Arya Wiraraja, pendiri kerajaan Lumajang, tahta berpindah ke putra-putranya secara bergiliran. Arya Menak Koncar, adik dari Arya Adikara Ranggalawe, naik tahta sebagai raja kedua dengan gelar Sri Nararya Wangbang Menak Koncar. Ia dimakamkan di kompleks makam Rting, hanya beberapa meter dari makam ayahandanya, Arya Wiraraja.

Setelahnya, kekuasaan jatuh ke tangan putranya, Arya Wangbang Pinatih I, seorang pemeluk Islam. Pada masa inilah, keterlibatan Lumajang dalam ekspedisi militer Majapahit mulai menonjol, seiring kebijakan penyatuan Nusantara oleh Mahapatih Gajah Mada. Dua tokoh dari keturunan Lumajang, yakni Arya Damar dan Arya Pinatih, disebut ikut dalam ekspedisi ke Bali. Arya Pinatih, yang juga dikenal sebagai Syaikh Manganti, merupakan adik dari tokoh yang kemudian dikenal sebagai Nyai Ageng Pinatih, saudagar muslimah kaya raya dari Gresik yang menjadi ibu angkat Sunan Giri (Raden Paku). Arya Wangbang Pinatih I wafat dan digantikan oleh putranya, Arya Wangbang Pinatih II.

Setelah wafatnya Arya Wangbang Pinatih II, tampuk kekuasaan dipegang oleh Arya Menak Sumendi, yang dikenal sebagai raja kelima Lumajang. Pemerintahannya menandai awal dari perubahan besar dalam struktur politik regional Jawa Timur.

Pada masa Arya Menak Sumendi, terjadi peristiwa penting di pusat kekuasaan Majapahit. Nararya Ranamanggala naik takhta sebagai Maharaja Majapahit dengan gelar Sri Maharaja Wikramawarddhana Bhatara Hyang Wisesa, menggantikan mertuanya, Sri Rajasanagara Hayam Wuruk. Namun naiknya Wikramawarddhana tidak lepas dari konflik internal, yang memuncak dalam Perang Paregreg, sebuah perang saudara melawan Bhre Wirabhumi, penguasa Blambangan dan iparnya sendiri.

Sri Wikramawarddhana adalah putra dari Bhre Paguhan Singhawarddhana, cucu Bhatara Kertawarddhana, dan keturunan dari seorang putri muslimah dari Paguhan, Lumajang. Ini menunjukkan bahwa dalam lingkungan bangsawan Majapahit, Islam mulai mengakar, terutama melalui jalur pernikahan.

Salah satu kebijakan penting Wikramawarddhana adalah penyatuan Lamajang Tigang Juru ke dalam wilayah langsung kekuasaan Majapahit. Sebagai konsekuensinya, kedudukan penguasa Lumajang yang sebelumnya menyandang gelar "raja" diubah menjadi "adipati", yang berarti raja bawahan. Oleh karena itu, Arya Menak Sumendi tidak lagi disebut sebagai raja secara penuh, melainkan sebagai Adipati Lumajang, simbol dari berkurangnya kedaulatan lokal di bawah hegemoni pusat Majapahit.

Langkah ini selaras dengan proyek konsolidasi Majapahit untuk menjaga stabilitas pasca-Hayam Wuruk dan menghadapi resistensi wilayah seperti Blambangan. Arya Menak Sumendi dengan demikian menjadi representasi dari raja daerah yang harus menyesuaikan diri dengan dinamika politik pusat kekuasaan.

Setelah wafatnya Arya Menak Sumendi, posisi Adipati Lumajang diteruskan oleh Arya Tepasana, yang merupakan bagian dari dinasti lokal yang kuat di wilayah tersebut. 

Arya Tepasana, penerus Arya Menak Sumendi, memiliki enam orang anak—tiga putra dan tiga putri—yang memainkan peran penting dalam penyebaran Islam di Jawa.  Putrinya, Nyimas Ayu Tepasari, menikah dengan Sunan Gunungjati, salah satu Wali Songo yang terkenal, dan dari pernikahan ini lahir Pangeran Ratu, leluhur para sultan Cirebon.  

Putri bungsunya, Nyimas Ayu Waruju, menikah dengan Raden Mahmud Pangeran Sapanjang, putra Sunan Ampel, dan menurunkan Nyai Wilis.  Nyai Wilis kemudian menikah dengan Raden Kusen Adipati Terung, putra Arya Damar dari Palembang, dan dari pernikahan ini lahir tokoh-tokoh penting seperti Pangeran Arya Suradireja (Adipati Palembang), Pangeran Arya Terung (Adipati Sengguruh), Pangeran Arya Balitar (Adipati Blitar), dan Pangeran Singhasari. 

Dari jejak sejarah besar ini, penulisan sejarah Lamajang Tigang Njuru sayangnya masih kalah populer dibandingkan narasi besar Majapahit. Padahal dari wilayah inilah fondasi kerajaan terbesar di Jawa itu diletakkan. Dalam historiografi klasik seperti Pararaton dan Kidung Harsawijaya, peran Arya Wiraraja sering kali disebut secara sepintas, menutupi kontribusinya yang besar dalam bidang diplomasi dan strategi.

Narasi Lamajang, khususnya dalam tradisi lisan masyarakat Lumajang dan Madura, justru menjadi penyeimbang bagi dominasi historiografi Jawa tengah-sentris. Situs Biting dengan segala kelengkapannya, baik arkeologis maupun ritual, menjadi bukti sahih akan eksistensi peradaban yang selama ini dipinggirkan dalam penulisan sejarah nasional.

Lamajang Tigang Njuru adalah kerajaan Islam pertama di Jawa yang lahir dari keteguhan hati seorang pemimpin visioner, Arya Wiraraja. Situs Biting menjadi saksi bisu atas kebesaran sejarah itu, sebuah ruang di mana tembok-tebal pertahanan berubah menjadi benteng spiritual keberagaman. Di sinilah jejak sejarah tak sekadar dibaca, tetapi dirasakan, didoakan, dan diwariskan.

Dengan merawat Situs Biting, kita tak hanya menjaga batu dan tanah, tetapi juga merawat akar identitas kita sebagai bangsa yang besar dalam keberagaman, dan kaya dalam sejarah.