JATIMTIMES - Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi Jawa Timur (DPRD Jatim) meminta Pemerintah Provinsi (Pemprov) melalukan evaluasi total terhadap Organisasi Perangkat Daerah (OPD) yang tidak optimal menyerap anggaran. Hal ini ramai-ramai disampaikan sejumlah fraksi di DPRD Jatim.
Sebagian besar fraksi menyoroti rendahnya serapan anggaran, yang disampaikan dalam pandangan akhir terhadap Rancangan Peraturan Daerah (Ranperda) tentang Pertanggungjawaban Pelaksanaan APBD Provinsi Jawa Timur (Jatim) Tahun Anggaran 2024.
Baca Juga : Ketua DPC PPP Banyuwangi Minta Pemerintah Tetapkan HET Beras
Juru bicara (jubir) Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (PKS) Khusnul Khuluk menaruh perhatian terkait realiasi belanja daerah tahun 2024. Terdapat 3,86 persen belanja yang tidak terserap dengan nilai Rp1,38 triliun.
Fraksi PKS berpendapat, Pemprov Jatim perlu melakukan mitigasi kepada OPD yang realisasi belanja masih dibawah rata-rata, yakni di bawah 96,14 persen, dengan melakukan evaluasi terhadap program dan kegiatan agar pada tahun yang akan datang serapan belanja dapat meningkat.
"Khusus komponen belanja modal yang serapannya mencapai 93,09 persen, khususnya sub komponen belanja modal jalan, jaringan dan irigasi sebesar 78,67 persen, fraksi berpendapat Pemerintah Provinsi perlu melakukan evaluasi total kinerja OPD teknis dengan peningkatan perencanaan, pengawasan dan pekerjaan sehingga pada APBD tahun berikutnya serapan belanja modal dapat meningkat," ungkap Khusnul Khuluk dalam Rapat Paripurna, Senin (2/6/2025).
Hal senada disampaikan oleh Fraksi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP). Sebagaimana yang menjadi sorotan Komisi C sebelumnya, Jubir Fraksi PDIP Dewanti Rumpoko menyoroti rendahnya proporsi belanja modal yang hanya Rp2,3 triliun atau 6,66 persen dari total belanja daerah.
"Angka ini jauh dari ideal, terlebih mengingat standar nasional berada di kisaran 20 hingga 25 persen," ujar Dewanti.
Selain itu, Sisa Lebih Pembiayaan Anggaran (SILPA) 2024 tercatat mencapai Rp4,7 triliun atau 13,6 persen dari total belanja Rp34,56 triliun. Angka itu tergolong tinggi dibandingkan ketentuan umum pengelolaan keuangan daerah.
"Kami menilai bahwa, hal ini sebagai cerminan lemahnya kualitas perencanaan anggaran serta kurang cepatnya pelaksanaan program, khususnya kegiatan fisik," jelas mantan Wali Kota Batu itu.
Dengan kondisi tersebut, Fraksi PDIP mendesak agar Pemprov Jatim segera menyusun peta jalan belanja modal dengan skema peningkatan bertahap hingga 20 persen mulai 2026 untuk mengurangi SILPA ke kisaran ideal 5–10 persen.
Untuk itu, perlu perbaikan perencanaan berbasis kinerja, percepatan proses pengadaan barang dan jasa sejak awal tahun, serta pelaksanaan kontrol realisasi program secara periodik dan transparan.
Dewanti juga menyesalkan serapan belanja modal untuk sektor jalan, jaringan, dan irigasi hanya mencapai 78,67 persen dari anggaran yang tersedia, di bawah target minimal yang seharusnya bisa menembus 95 persen.
Selain itu, menurutnya penanganan banjir, pemeliharaan jalan provinsi, dan pembangunan infrastruktur di kawasan rawan bencana dinilai belum mendapatkan alokasi anggaran yang proporsional.
"Fraksi kami menyayangkan capaian tersebut, mengingat konektivitas wilayah dan layanan infrastruktur dasar menjadi tulang punggung pertumbuhan ekonomi dan pemerataan pembangunan daerah. Fraksi mendorong pemerintah provinsi mempercepat proyek-proyek infrastruktur prioritas melalui skema kontrak multiyears untuk proyek strategis, dengan target progres fisik minimal 90 persen pada triwulan ketiga setiap tahun anggaran," tandasnya.
"Selain itu, alokasi anggaran untuk program penanganan banjir, perbaikan jalan provinsi, dan mitigasi bencana perlu ditingkatkan sekurang-kurangnya 20 persen dari total belanja modal di tahun berikutnya," sambung legislator Dapil Malang Raya itu.
Pihaknya juga memandang pentingnya keterbukaan data realisasi belanja sektoral, yang wajib disampaikan sebelum proses pengesahan APBD 2025.
Fraksi PDIP juga mendesak pemerintah daerah untuk melakukan penataan ulang program penanggulangan kemiskinan berbasis data spasial kemiskinan dan pengangguran per wilayah desa/kelurahan, serta menambah alokasi anggaran sebesar Rp250 miliar untuk program padat karya produktif, pelatihan vokasi, dan pemberdayaan UMKM.
Dalam hal pelaksanaan belanja bantuan sosial dan bantuan keuangan, realisasi belanja bantuan sosial tercatat sebesar 89,66 persen dan bantuan keuangan ke kabupaten/kota sebesar 91,75 persen.
Baca Juga : Saat Hadiah Lebih Berbahaya dari Perang: Politik Tanah Jaka Tingkir Setelah Arya Penangsang
Dewanti bilang, eksekutif menjelaskan hambatan administratif, seperti data non-eligible, pindah alamat, hingga keterlambatan berkas dari daerah penerima.
"Namun, kritik Fraksi PDI Perjuangan mengenai lemahnya manajemen data bansos dan lambatnya verifikasi tidak dijawab dengan solusi sistemik. Fraksi mendorong agar dilakukan integrasi sistem data berbasis DTKS dan SIPD serta penetapan protokol percepatan penyaluran bantuan yang lebih adaptif terhadap kondisi lapangan, sehingga bantuan dapat tepat sasaran dan tepat waktu," serunya.
Lebih lanjut, pada aspek serapan anggaran Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD), menurutnya eksekutif menyampaikan berbagai alasan teknis, antara lain kekosongan jabatan, gagal tender, efisiensi anggaran, hingga sisa kontrak.
Realisasi belanja di beberapa SKPD strategis menunjukkan ketimpangan, seperti Dinas Kesehatan yang hanya mampu menyerap 92,17 persen dan Dinas Peternakan yang realisasinya hanya mencapai 71,95 persen.
"Fraksi PDI Perjuangan menilai jawaban ini tidak menyentuh kritik utama tentang lemahnya perencanaan awal dan koordinasi antar-OPD. Fraksi menegaskan perlunya review total atas sistem perencanaan anggaran mulai dari penyusunan RKPD hingga KUA-PPAS, serta pembentukan tim asistensi lintas OPD untuk memastikan kesiapan program dan eksekusi belanja dapat berjalan optimal sesuai target waktu," papar Dewanti.
Sementara itu, jubir Fraksi Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) Hikmah Bafaqih juga menyoroti rendahnya penyerapan belanja daerah untuk beberapa sektor, seperti belanja bantuan sosial yang hanya terserap sebesar 89,66 persen.
Fraksi PKB meminta agar Pemerintah Provinsi Jawa Timur senantiasa menselaraskan data Pensasaran Percepatan Penghapusan Kemiskinan Ekstrem (P3KE), Data Terpadu Kesejahteraan Sosial (DTKS), dan Data Tunggal Sosial Ekonomi Nasional (DTSEN), agar pos belanja bantuan sosial dapat terserap dengan maksimal.
"Fraksi PKB juga menggarisbawahi serapan yang kurang optimal pada urusan pemerintahan pilihan, meliputi kelautan dan perikanan, pertanian, kehutanan, energi dan sumber daya mineral, serta perindustrian dengan serapan hanya sebesar 92,04 persen," paparnya.
Fraksi PKB memandang bahwa urusan pemerintahan pilihan tersebut tidak kalah pentingnya dengan urusan pemerintahan wajib. Sebab, menurutnya sektor kelautan, pertanian, kehutanan, energi, dan perindustrian berhubungan langsung dengan peningkatan ekonomi dan kesejahteraan masyarakat Jatim.
"Untuk itu, Fraksi PKB meminta agar pemerintah daerah melakukan evaluasi menyeluruh terhadap perencanaan dan pelaksanaan program pada urusan pemerintahan pilihan tersebut. Fraksi PKB juga mendorong agar alokasi anggaran ke depan disusun dengan mempertimbangkan potensi strategis masing-masing sektor, serta memperkuat koordinasi lintas perangkat daerah agar tidak terjadi tumpang tindih program dan anggaran," tuturnya.
Lebih lanjut, ia menilai bahwa rendahnya serapan anggaran menunjukkan adanya permasalahan dalam perencanaan, pelaksanaan program, maupun koordinasi internal yang perlu segera dibenahi. Fraksi PKB mengingatkan bahwa terdapat beberapa OPD yang tidak mengoptimalkan serapan anggarannya.
Dua di antara yakni Dinas Peternakan dengan serapan 71,95 persen, dan Dinas Perumahan Rakyat, Kawasan Permukiman dan Cipta Karya dengan serapan 88,72 persen.
"Fraksi PKB meminta agar Pemerintah Provinsi Jawa Timur melakukan evaluasi dan pembinaan terhadap OPD yang belum mengoptimalkan serapan anggarannya," tegasnya.