JATIMTIMES - Kisah kemenangan atas Arya Penangsang dan konsekuensi politiknya berupa penyerahan dua wilayah penting—Pati dan Mataram—kepada tokoh-tokoh dari Sela telah menjadi salah satu momen paling signifikan dalam sejarah peralihan kekuasaan Jawa abad ke-16. Peristiwa ini tidak hanya menandai kemenangan militer semata, tetapi juga mencerminkan relasi kuasa, patronase, dan simbolisme politik di lingkungan elite Jawa Islam pada masa itu.
Historiografi Jawa melalui sumber-sumber utama seperti Babad Tanah Djawi dan Serat Kandha menyajikan narasi ini dengan berbagai corak simbolik dan mitologis, namun di balik kisah yang kaya warna, terpendam dinamika kekuasaan yang jauh lebih kompleks.
Baca Juga : Kasus DAM Kali Bentak: Kakak Eks Bupati Blitar Resmi Jadi Tersangka
Artikel ini akan menguraikan secara detail, kritis, dan padat mengenai “hadiah” politik tersebut, dengan pendekatan blak blakan tanpa sensor: tajam, dokumentatif, dan berbasis sumber.
Kemenangan atas Arya Penangsang: Pangkal dari Sebuah Perubahan Geopolitik
Perang antara Pajang dan Jipang Panolan tidak sekadar pertempuran dua penguasa lokal, melainkan pertarungan atas legitimasi warisan Majapahit yang belum selesai. Arya Penangsang, cucu Raden Kikin, mengklaim hak atas tahta Demak yang kala itu telah berpindah ke tangan Sultan Hadiwijaya, penguasa Pajang. Dalam benturan kepentingan inilah, muncul tokoh-tokoh dari Sela: Ki Juru Martani, Ki Ageng Pamanahan, Ki Panjawi, dan Danang Sutawijaya.
Menurut Babad Tanah Djawi (Meinsma, hlm. 61–65), kemenangan Pajang atas Jipang tidak diumumkan sebagai hasil karya Sutawijaya, meski secara diam-diam dialah pembunuh Penangsang. Keputusan politik ini bukan tanpa alasan. Usia muda Sutawijaya, yang kelak dikenal sebagai Panembahan Senapati, dianggap belum pantas menerima kemuliaan politik. Oleh karena itu, nama Ki Ageng Pamanahan dan Ki Panjawi yang diumumkan ke hadapan publik sebagai pemenang perang.
Sebagai penghargaan atas kemenangan tersebut, Sultan Hadiwijaya menawarkan dua wilayah: Pati dan Mataram. Penawaran ini diiringi tanya kepada Ki Ageng Pamanahan: mana yang akan dipilihnya?
Sikap Pamanahan yang memilih Mataram, hutan belantara tak berpenduduk, alih-alih Pati yang telah ramai dan strategis, tampak sebagai bentuk kerendahhatian. Ia berkata, “Karena saya yang tertua, sepatutnyalah saya yang paling rendah.” Pernyataan ini, menurut narasi Babad Tanah Djawi, menjadi justifikasi naratif atas ketimpangan hadiah yang jelas.
Namun, dari perspektif historiografi kritis, pilihan ini tampak janggal. Sebab, Mataram tidak hanya kosong dari populasi (disebut hanya memiliki 800 jiwa menurut Serat Kandha hlm. 507), tetapi juga tidak menjanjikan dalam aspek ekonomi dan militer. Sebaliknya, Pati telah memiliki 10.000 jiwa—jumlah luar biasa untuk ukuran waktu itu—serta akses ke jalur dagang pesisir utara Jawa. Secara teknokratik, pembagian ini tidak proporsional.
Ratu Kalinyamat dan Harta Kalinyamat: Unsur Tambahan dalam Hadiah Politik
Setelah kemenangan diumumkan, Ki Ageng Pamanahan diutus ke Jepara untuk melaporkan hasil kepada Ratu Kalinyamat. Sebagai balasan atas dendam yang terbalaskan (Penangsang adalah pembunuh suami Ratu Kalinyamat), sang ratu menganugerahkan pusaka dan perempuan dari bangsawan Jepara: cincin Menjangan-Bang dan Uluk, serta seorang gadis muda. Namun Pamanahan menolak seluruh hadiah kecuali pusaka dan pengikutnya.
Di sinilah Serat Kandha memperjelas—Pamanahan menerima 150 orang dari Sela yang kemudian diajak pindah ke Mataram. Ini bukan sekadar migrasi fisik, tetapi permulaan dari “transplantasi kekuasaan,” di mana elite baru akan tumbuh dari bawah, dari hutan, bukan dari pusat lama kekuasaan.
Penolakan hadiah dan ketidakpuasan Pamanahan diperjelas melalui peristiwa tapa di Kembang Lampir. Dalam tradisi Jawa, tapa bukan sekadar ritual spiritual, tetapi sering menjadi “pengantar” perlawanan. Penulis menyamakan pola ini dengan apa yang dilakukan Pangeran Diponegoro menjelang Perang Jawa: sebuah “pernyataan sunyi” terhadap ketidakadilan kekuasaan.
Intervensi Sunan Kalijaga—tokoh spiritual Islam Jawa—dalam kisah ini menunjukkan bagaimana kekuasaan raja tidak sepenuhnya absolut. Sunan membawa jiwa Pamanahan secara spiritual ke hadapan Raja Pajang, membujuk dengan logika transenden. Raja, yang semula ragu, akhirnya memberikan piagam sah atas Mataram dan mengizinkan Sutawijaya membantu ayah angkatnya di sana. Maka, mulai saat itulah akar-akar kekuasaan baru di tanah Mataram ditanam.
Narasi Historis atau Justifikasi Politik?
Historiografi Jawa, sebagaimana ditulis dalam Babad Tanah Djawi dan Serat Kandha, tidak lepas dari elemen alegoris dan legitimatif. Beberapa kejanggalan pun muncul dan memerlukan pendekatan historiografi kritis.
Pertama, mengapa hadiah tidak setara padahal Pamanahan berjasa besar? Babad menjawab dengan moralitas Jawa: rendah hati, tidak meminta balas budi. Namun, ini tampak sebagai bentuk penenangan terhadap fakta politik yang keras.
Kedua, peran perempuan Jepara—diberikan kepada Raja tetapi dititipkan kepada Pamanahan—menunjukkan wilayah abu-abu dalam relasi patron-klien. Apalagi, perempuan tersebut akhirnya diculik oleh Sutawijaya, anak angkat sekaligus penerus Pamanahan. Ini memperkuat narasi bahwa kekuasaan baru tengah membentuk dirinya dengan mengambil “legitimasi” dari semua arah, termasuk simbol perempuan bangsawan.
Ketiga, penerimaan tanah kosong sebagai hadiah justru menjadi titik awal pembentukan dinasti baru. Mataram yang sebelumnya hutan, dalam tiga generasi berubah menjadi kerajaan besar, mengalahkan warisan Pajang dan Demak. Maka, narasi hadiah ini lebih layak dilihat sebagai simbol “pemindahan pusat,” bukan pemberian sepele.
Hadiah Pati dan Mataram bukan sekadar ungkapan terima kasih politik, melainkan instrumen penting dalam peralihan kekuasaan di Jawa Islam. Dalam konteks ini, Mataram sebagai “daerah buangan” justru menjadi tempat persemaian kekuasaan baru. Sutawijaya, yang awalnya dikaburkan perannya, kelak menjadi pendiri Dinasti Mataram Islam.
Relasi antar elite seperti Pamanahan, Panjawi, dan Raja Pajang, serta intervensi spiritual tokoh seperti Sunan Kalijaga, membentuk jalinan antara kekuasaan duniawi dan spiritual, antara karisma dan struktur, antara legitimasi kultural dan militer. Semua ini tercermin dalam narasi hadiah yang tampaknya sederhana, tetapi menyimpan jejak-jejak perubahan struktur kekuasaan di Jawa.
Baca Juga : Awal Juni 2025, Realisasi Perolehan Pendapatan Daerah Kabupaten Malang Capai 34,39 Persen
Dengan memahami ini, kita tidak lagi membaca Babad hanya sebagai dongeng atau mitos, melainkan sebagai produk memori kolektif yang menyimpan pesan politis: bahwa pusat kekuasaan bisa bergeser, dan hadiah adalah alatnya.
Ki Ageng Pamanahan: Penjaga Wahyu Ratu Tanah Jawa dan Fondasi Mataram Islam
Dalam laju waktu yang mengalir di jantung sejarah Jawa, nama Ki Ageng Pamanahan terukir dengan tinta yang tak pernah pudar. Ia bukan sekadar leluhur Panembahan Senapati, tetapi juga seorang tokoh yang mengemban dua peran besar sekaligus: penjaga Wahyu Ratu Tanah Jawa, dan arsitek awal Mataram Islam. Dalam garis-garis silsilah ningrat yang berhulu pada Majapahit dan mengalir lewat semangat Islamisasi pasca-Wali Songo, Ki Ageng Pamanahan berdiri sebagai simpul sejarah yang memadukan warisan Hindu-Buddha, Islam, dan nasionalisme Jawa yang mulai tumbuh dari akar spiritualitas agraris.
Ki Ageng Pamanahan yang dalam masa mudanya dikenal sebagai Raden Bagus Kacung, lahir dari keluarga yang menyandang warisan agung. Ia adalah putra dari Ki Ageng Henis, seorang tokoh keagamaan terpandang dari Laweyan, Pajang, dan cucu dari Ki Ageng Selo, tokoh yang dikenal dalam tradisi sebagai penakluk petir. Melalui jalur ayahnya, ia merupakan keturunan Prabu Brawijaya V, raja Majapahit, yang menurunkan Raden Bondan Kejawan—ayah dari Ki Ageng Selo.
Jalur spiritual dan politik bertemu dalam sosok Ki Ageng Pamanahan. Ayahandanya, Ki Ageng Henis, adalah seorang penasihat spiritual Sultan Pajang, Hadiwijaya alias Jaka Tingkir, sekaligus tokoh Islam yang merintis dakwah di pusat kerajaan baru. Dari didikan sang ayah serta guru agung Sunan Kalijaga, Raden Bagus Kacung tumbuh menjadi pribadi yang taat, sederhana, dan tangguh dalam ilmu lahir maupun batin.
Didikan Ki Ageng Henis dilengkapi dengan penggemblengan dari para wali seperti Sunan Kalijaga. Dalam proses spiritualnya, Raden Bagus Kacung menjalani laku prihatin panjang: tirakat, tapa brata, hingga puasa mutih dan semedi di tempat-tempat sakral seperti Kembang Semampir di Gunung Kidul. Di tempat ini pula ia diyakini mulai menerima petunjuk tentang Wahyu Ratu Tanah Jawa, yaitu hak kuasa atas tanah Jawa yang tidak hanya bersifat politis, tetapi juga spiritual dan kosmis.
Dalam tradisi lisan Mataram, Wahyu Ratu ini sering dikaitkan dengan “Gagak Emprit”, lambang kekuasaan sah di Tanah Jawa. Sebuah kisah masyhur menyebut bahwa Pamanahan—tanpa sengaja—meminum air kelapa yang dipersiapkan oleh Ki Ageng Giring. Air kelapa itu dipercaya membawa Wahyu Ratu, dan dalam garis takdir yang tersembunyi, kejadian ini menandai berpindahnya wahyu dari Giring ke Pamanahan.
Namun perjalanan Pamanahan bukan semata spiritual. Ia memainkan peran militer-politik penting saat diminta mendampingi Sultan Hadiwijaya untuk menumpas Arya Penangsang, adipati Jipang Panolan yang memberontak setelah kematian Sultan Trenggana. Dalam aliansi yang terdiri dari Ki Juru Martani, Ki Penjawi, dan Danang Sutawijaya (putranya), mereka mengatur strategi untuk menumpas Penangsang.
Danang Sutawijaya sendiri yang mengayunkan keris Kyai Setan Kober ke perut Arya Penangsang, membalas dendam Ratu Kalinyamat atas kematian suaminya, Pangeran Hadiri. Sebagai imbalan atas jasanya, Sultan Pajang menganugerahkan Alas Mentaok kepada Ki Ageng Pamanahan pada tahun 1556—sebuah hutan lebat bekas wilayah Mataram Kuno, yang kemudian disulap menjadi pusat peradaban baru: Mataram Islam.
Alas Mentaok, yang membentang dari Banguntapan, Kotagede, hingga Purwomartani, dulunya adalah bagian dari kerajaan Mataram Hindu-Buddha yang runtuh pasca migrasi Mpu Sindok ke Jawa Timur. Mentaok bukan sekadar hadiah, tetapi juga medan ujian spiritual. Dengan dibimbing Sunan Kalijaga, Ki Ageng Pamanahan menetap di tengah hutan dan mulai membuka lahan. Ia menanam pohon beringin, sebagai simbol pusat spiritual dan pemerintahan.
Ia menamai tempat itu “Mataram”, bukan hanya sebagai kenangan terhadap kerajaan tua, tetapi sebagai janji akan kelahiran kerajaan baru. Mataram kemudian menjadi perdikan (tanah bebas pajak) yang dibangun dengan sistem pertanian, irigasi, serta tatanan sosial yang damai.
Di bawah Ki Ageng Pamanahan, Mataram mengalami transformasi cepat. Menurut Babad Tanah Jawi dan Serat Kandha, tanah Mataram menjadi pusat kemakmuran: tanah subur, panen melimpah, air sumur jernih, dan perdagangan hidup. Ia memimpin dengan kebijaksanaan seorang spiritualis dan priyayi Jawa sejati. Dalam kurun waktu enam tahun, ia membangun pemukiman, pasar, masjid, dan infrastruktur pemerintahan yang tertata.
Sultan Hadiwijaya pun memberikan piagam resmi yang mengakui status Ki Ageng Pamanahan sebagai penguasa lokal. Namun, dengan tetap memelihara sumpah setia pada Pajang, Pamanahan tak pernah mengklaim mahkota. Ia mempersiapkan anaknya, Danang Sutawijaya, untuk mengambil langkah lebih besar di kemudian hari.
Tahun 1584, Ki Ageng Pamanahan wafat dalam usia lanjut. Ia dimakamkan di sebelah barat Masjid Gedhe Kotagede, berdampingan dengan para penerusnya. Sepeninggalnya, tongkat estafet diberikan kepada Danang Sutawijaya, yang tak lama kemudian menyatakan kemerdekaan dari Pajang dan mendirikan Kerajaan Mataram Islam pada tahun 1587.
Sutawijaya naik takhta dengan gelar Panembahan Senopati ing Alaga Sayidin Panatagama Khalifatullah Tanah Jawa, mewujudkan apa yang selama ini dijaga oleh ayahnya: Wahyu Ratu Tanah Jawa. Ki Ageng Pamanahan tidak pernah menjadi raja, namun dialah yang memelihara benih kerajaan dan membangun fondasinya dalam diam, dalam laku tapa, dan dalam kebijaksanaan seorang leluhur sejati.