free web hit counter
Scroll untuk baca artikel
Serba Serbi

Sunan Pakubuwono X: Pelopor Pendidikan Rakyat di Indonesia

Penulis : Aunur Rofiq - Editor : Dede Nana

13
×

Rencana Rilis PlayStation 6 Berpotensi Terungkap, Berkat Microsoft

Share this article
Stik Playstation
Ilustrasi Sunan Pakubuwono X mengunjungi sebuah sekolah desa di wilayah Surakarta. Dalam masa pemerintahannya (1893–1939), raja reformis ini dikenal mendorong kemajuan pendidikan dan membuka akses ilmu pengetahuan modern bagi kalangan priyayi dan abdi dalem. (Foto: Ilustrasi oleh JatimTIMES) 

JATIMTIMES - Di tengah arus kolonialisme yang kian menancapkan kuku kekuasaannya di bumi Nusantara pada paruh pertama abad ke-20, terdapat sebuah kekuatan lokal yang bangkit dari pusat budaya Jawa, Kasunanan Surakarta. Sosok pemegang kekuasaan tersebut adalah Sri Susuhunan Pakubuwono X, seorang raja yang bukan hanya memerintah dengan kharisma tradisional, tetapi juga melangkah ke garis depan perubahan sosial dengan semangat pembaruan yang visioner, terutama dalam bidang pendidikan.

 Perjuangan dan pengabdiannya terhadap pendidikan rakyat menjadikan Sunan Pakubuwono X sebagai pelopor yang patut dikenang dalam historiografi pendidikan nasional Indonesia.

Baca Juga : Pemkot Batu Bakal Merger 9 SD Negeri Tahun Ini

Sekolah Desa dan Sekolah Angka II: Akar Pendidikan Dasar

Visi pendidikan Sunan Pakubuwono X berakar pada semangat mencerdaskan kehidupan rakyat. Melalui pendirian Sekolah Desa yang berdurasi tiga tahun dan Sekolah Angka II dengan masa tempuh lima tahun, beliau merancang sistem pendidikan dasar yang menyentuh kebutuhan riil masyarakat. 

Pendidikan membaca, menulis, dan keterampilan teknis menjadi inti kurikulum yang sangat dibutuhkan pada masa itu. Sekolah-sekolah ini mendapat sambutan hangat dari masyarakat dan dibiayai oleh kas negara Kasunanan (Rijkskas), menunjukkan komitmen keuangan kerajaan dalam menopang pendidikan rakyat.

Penyelenggaraan sekolah-sekolah dasar yang tersebar di seluruh wilayah Kasunanan tidak hanya menjadi medium transfer ilmu pengetahuan, tetapi juga mencerminkan transformasi sistem feodal menuju masyarakat yang lebih egaliter. Model ini diadopsi oleh lembaga kepatihan, dan menjadi tonggak awal integrasi pendidikan dalam struktur pemerintahan tradisional Jawa.

Satu tonggak penting dalam sejarah pendidikan modern di Surakarta adalah pendirian HIS Kasatriyan (Hollandsch Inlandsche School) pada tanggal 1 November 1910. Sekolah dasar berbahasa Belanda ini menawarkan program tujuh tahun dan menjadi wahana penting bagi penguatan pendidikan kaum priyayi dan anak-anak abdi dalem. Pendirian sekolah ini dilaksanakan atas prakarsa GPH Kusumobroto, putra Sunan Pakubuwono X, dengan biaya langsung dari kas kraton. Lokasinya berada di sisi timur Kori Brajanala Ler, menjadikannya simbol perjumpaan antara budaya keraton dan pendidikan modern Eropa.

Dengan pendidikan yang disusun menurut kurikulum Belanda, HIS Kasatriyan membuka jalan bagi generasi baru bumiputra untuk memasuki jenjang pendidikan menengah dan tinggi, baik di Hindia Belanda maupun di Eropa. Melalui sekolah ini, akses ke pengetahuan ilmiah, bahasa asing, dan budaya modern dapat dijangkau oleh kalangan terdidik dari berbagai lapisan sosial.

TK dan HIS Pamardi Putri: Emansipasi Pendidikan Perempuan

Dalam dimensi emansipasi pendidikan perempuan, Sunan Pakubuwono X menempuh langkah progresif dengan mendirikan Frobel School (Taman Kanak-Kanak) pada 12 Agustus 1926, yang diberi nama TK Pamardi Siwi. Ini kemudian diikuti dengan pembukaan HIS Pamardi Putri pada Januari 1927, sebagai institusi lanjutan yang dikhususkan bagi anak perempuan.

Sebelum berdirinya Pamardi Putri, pendidikan untuk para putri raja diselenggarakan secara privat di kraton, dengan guru-guru perempuan asal Belanda seperti Ny. Kilian dan Ny. Bellingwoud yang memberikan pelajaran bahasa Belanda, keterampilan rumah tangga Barat, dan kerajinan tangan. Pendirian HIS Pamardi Putri menjadi bentuk institusionalisasi pendidikan perempuan, yang sebelumnya masih terkungkung dalam sistem pendidikan privat eksklusif.

Dengan langkah ini, Sunan Pakubuwono X tidak hanya memajukan pendidikan, tetapi juga membuka jalan bagi perempuan Jawa untuk berpartisipasi dalam ranah intelektual dan sosial, sesuai dengan semangat modernitas yang tumbuh di awal abad ke-20.

Selain pendidikan sekuler, Sunan Pakubuwono X juga mendirikan madrasah agama bernama Mamba'ul Ulum pada 23 Juli 1905 (20 Jumadilawal Alip 1835), berlokasi di Bangsal Pawestren Masjid Agung Surakarta. Tujuan pendiriannya adalah merespons kekosongan intelektual saat ulama-ulama senior wafat tanpa regenerasi.

Madrasah ini mengajarkan ilmu-ilmu keislaman dengan pendekatan yang sistematis dan modern, menjadikannya pusat studi Islam terkemuka di Jawa. Lulusan madrasah ini bahkan mampu diterima di Universitas Al-Azhar Kairo, serta universitas ternama lainnya di luar negeri, seperti yang dialami oleh alumnus H. Munawir Sadzali, yang kelak menjadi Menteri Agama RI.

Dengan berdirinya madrasah ini, Sunan Pakubuwono X menunjukkan kepekaannya terhadap kebutuhan spiritual masyarakat, seraya memperkuat infrastruktur pendidikan agama yang berkualitas.

Pendidikan Putra-Putri Bangsawan dan Pengiriman ke Belanda

Kesadaran Sunan Pakubuwono X akan pentingnya pendidikan Barat tampak jelas dari langkah strategis beliau dalam mengirim putra-putri serta cucu-cucunya ke sekolah-sekolah elite, mulai dari Europeesche Lagere School (ELS), Hogere Burger School (HBS), hingga universitas-universitas terkemuka di Belanda. 

Beberapa nama bangsawan muda yang tercatat sebagai pelajar di Eropa antara lain Pangeran Arya Natabrata yang menempuh pendidikan masinis di Amsterdam, Pangeran Arya Jatikusuma yang belajar di Koninklijke Militaire Academie di Breda, serta Pangeran Arya Jayakusuma, Kusumabrata, dan Hadiwijoyo yang menempuh studi di Universitas Leiden. Selain itu, Pangeran Arya Natakusuma tercatat sebagai mahasiswa di Landbouw Hogeschool di Groeningen.

Tak hanya putra, para putri raja pun memperoleh pendidikan formal. Mereka dikirim ke ELS dan mendapatkan pelajaran keputrian dari guru-guru Belanda yang diundang khusus ke dalam lingkungan kraton. Kebijakan ini menegaskan keterbukaan Kraton Surakarta terhadap peradaban Barat serta komitmennya dalam mencetak pemimpin-pemimpin modern dari kalangan bangsawan Jawa.

Kepedulian Sunan Pakubuwono X terhadap pendidikan tidak hanya terbatas pada kalangan keluarga kerajaan. Beliau juga membentuk dana beasiswa bagi anak-anak cerdas dari keluarga abdi dalem dan pegawai Kasunanan yang kurang mampu secara ekonomi. Dana ini bersumber dari keuangan pribadi Sri Susuhunan dan dikelola langsung oleh putranya, GPH Hadiwijoyo.

Dari program beasiswa ini, lahirlah sejumlah tokoh nasional yang kemudian memainkan peran penting dalam sejarah Indonesia. Di antara mereka adalah Mr. KRMT Wongsonagoro, Mr. RMT Pusponagoro, Prof. Dr. Mr. KRM Aria Notonagoro, Mr. RMNg Projowilopo, Mr. Widodo, Mr. KRT Jaksonagoro, dan Mr. KPA Jojokusumo. Mereka merupakan bukti nyata keberhasilan kebijakan pendidikan inklusif yang digagas Sunan Pakubuwono X untuk memperluas akses ilmu pengetahuan di kalangan priyayi dan rakyat.

Mereka kelak menjadi pemimpin, akademisi, dan pejabat negara, yang membawa semangat kebangsaan dan pemikiran modern hasil didikan kraton Surakarta.

Sunan Pakubuwono X bukan hanya seorang penguasa tradisional, tetapi juga pionir dalam menciptakan infrastruktur pendidikan rakyat yang menyeluruh, inklusif, dan progresif. Melalui pendirian sekolah dasar, madrasah, sekolah Barat, hingga pemberian beasiswa ke luar negeri, beliau membuka akses pendidikan bagi berbagai lapisan masyarakat, serta menyiapkan kader-kader pemimpin modern Nusantara.

Jejak beliau dalam sejarah pendidikan Indonesia merupakan refleksi dari perpaduan antara nilai-nilai tradisional Jawa, semangat modernitas Barat, dan kepekaan terhadap kebutuhan sosial. Historiografi pendidikan Indonesia tak lengkap tanpa menempatkan Sunan Pakubuwono X sebagai tokoh sentral yang telah meletakkan dasar-dasar pendidikan nasional yang inklusif dan visioner. Namanya layak disejajarkan dengan tokoh-tokoh besar seperti Ki Hajar Dewantara, sebagai pelopor pendidikan rakyat sejati di era kolonialisme.

Baca Juga : Sekolah Negeri-Swasta Gratis: DPRD Kabupaten Malang Desak Pemda Patuhi Putusan MK

Budaya Intelektual Keraton Pakubuwono X: Menyemai Radjiman, Melahirkan Pancasila

Di balik gegap gempita sidang BPUPKI pada 29 Mei 1945, terdapat jejak panjang budaya intelektual yang berakar dari keraton Jawa. Salah satu buahnya adalah dr. Kanjeng Raden Tumenggung Radjiman Wedyodiningrat, tokoh utama di balik pertanyaan fundamental: "Apa dasar negara Indonesia jika merdeka?" Pertanyaan inilah yang menjadi pintu lahirnya Pancasila.

Radjiman bukanlah tokoh yang muncul secara tiba-tiba. Ia merupakan seorang abdi dalem Keraton Surakarta berpangkat kliwon, yang tumbuh dalam lingkungan Keraton Kasunanan Surakarta pada masa kepemimpinan Sri Susuhunan Pakubuwono X (1893–1939)—seorang raja reformis yang membuka istana bagi arus ilmu pengetahuan modern. Dalam masa pemerintahannya, Pakubuwono X mendorong pendirian berbagai lembaga pendidikan, termasuk memberikan akses bagi kaum priyayi dan abdi dalem untuk menempuh pendidikan Barat, seperti di STOVIA, tempat Radjiman ditempa sebagai dokter.

Sebagai abdi dalem intelektual, Radjiman mencerminkan wajah baru dari aristokrasi Jawa yang tercerahkan. Ia tak hanya mewarisi sopan santun keraton, tetapi juga mengembangkannya menjadi etos pelayanan publik dan pemikiran kebangsaan. Melalui jalur Boedi Oetomo, Volksraad, dan BPUPKI, Radjiman menjadi jembatan antara nilai tradisional keraton dan modernitas bangsa.

Perannya dalam BPUPKI sangat menentukan. Pertanyaan yang ia lontarkan secara strategis membuka ruang bagi Bung Karno mengemukakan Pancasila. Bukan sekadar fasilitator, Radjiman juga memberi pengantar atas naskah Pancasila edisi pertama tahun 1948 dari tempat tinggalnya di Ngawi, yang menjadi saksi perenungan ideologis bangsa.

Radjiman adalah produk budaya intelektual keraton yang bertransformasi menjadi dokter bangsa—menyembuhkan luka kolonial dan merumuskan arah kemerdekaan. Budaya baca, debat, dan rasa tanggung jawab sosial yang tumbuh di masa Pakubuwono X menjadikan keraton bukan sekadar pusat simbolik, tetapi juga laboratorium kebangsaan.

Ketika Radjiman wafat pada 1952 dan dianugerahi gelar Pahlawan Nasional pada 2013, ia telah menegaskan bahwa nasionalisme Indonesia tidak lahir dari ruang hampa. Ia lahir dari budaya literasi, dialog, dan pengabdian yang disemai sejak dalam dinding keraton, dan dibawa oleh mereka yang berani menjadikan tradisi sebagai fondasi masa depan.

Pakubuwono X: Raja Surakarta yang Modern, Cerdas, dan Budayawan

Pakubuwono X adalah sosok raja istimewa dalam sejarah panjang Keraton Surakarta Hadiningrat. Ia dikenal luas sebagai raja yang cerdas, visioner, dan menguasai berbagai disiplin ilmu, mulai dari ilmu pemerintahan, politik, hingga ilmu-ilmu kebatinan dan spiritual Jawa. Selama masa pemerintahannya yang panjang, Surakarta mengalami masa keemasan, baik dalam bidang kebudayaan, pendidikan, maupun pembangunan fisik dan modernisasi kota.

Lahir pada 29 November 1866 dengan nama kecil Raden Mas Sayidin Malikul Kusno, ia merupakan putra dari Pakubuwono IX dengan permaisuri KRAy Kustiyah. Sejak usia dini, masa depannya sebagai penguasa Kasunanan telah dipersiapkan. Pada usia tiga tahun, ia telah diangkat sebagai putra mahkota dengan gelar Kanjeng Gusti Pangeran Adipati Anom Hamangkunegara Sudibya Rajaputra Narendra ing Mataram, sebuah gelar yang menandai dirinya sebagai calon raja penerus tahta Mataram Surakarta.

Ketika ayahandanya wafat pada 16 Maret 1893, Raden Kusno naik tahta menggantikan Pakubuwono IX. Dua minggu kemudian, pada 30 Maret 1893, ia resmi dinobatkan sebagai Pakubuwono X, dan mulai memerintah Nagari Surakarta Hadiningrat dalam periode yang sangat panjang, yakni selama 46 tahun.

Masa pemerintahan Pakubuwono X menjadi era penuh transformasi. Ia memperhatikan betul kemajuan kebudayaan Jawa. Seni tari, karawitan, pedalangan, dan sastra Jawa berkembang pesat di bawah perlindungannya. Banyak gendhing dan tari keraton diciptakan pada masanya, dan tradisi seni dihidupkan secara konsisten oleh para sentana dan abdi dalem. Tradisi menabuh gamelan secara rutin diselenggarakan untuk memperingati hari-hari besar kerajaan. Pakubuwono X sendiri menguasai berbagai bidang ilmu, termasuk sejarah, pakem pewayangan, tosan aji (keris), seni karawitan, pencak silat, dan permainan pedang. Ia juga dikenal mahir memainkan alat musik rebab.

Karena sifatnya yang arif dan bijaksana, para abdi dalem memberinya julukan “Sampeyan Dalem Ingkang Minulyo saha Wicaksana”, yang berarti "Paduka yang mulia dan bijaksana." Julukan ini tak hanya simbolik, tapi mencerminkan bagaimana Pakubuwono X menjaga nilai-nilai adat dan tradisi Jawa, tanpa mengabaikan kemajuan zaman.

Salah satu aspek paling menonjol dari pemerintahannya adalah keberanian dalam melakukan modernisasi Surakarta. Ia menggabungkan arsitektur Jawa dengan gaya Eropa, menciptakan harmoni antara tradisi dan kemajuan. Bangunan seperti atap Argapura yang bergaya loji Belanda serta patung-patung Eropa di Sasana Sewaka dan Sasana Hadrawina menjadi simbol visual dari pembaruan gaya kerajaan. Arsitektur keraton tampak lebih megah, anggun, dan berkarakter, serta masih bisa disaksikan hingga kini.

Pakubuwono X juga berperan besar dalam menjadikan Surakarta sebagai pusat kemajuan di Hindia Belanda. Pada masa pemerintahannya, Surakarta menjadi kota paling modern di tanah Jawa. Kota ini telah menggunakan penerangan listrik jauh lebih awal dibandingkan daerah lain. Listrik pertama kali menyala pada 19 April 1902, berkat kolaborasi cerdas antara Keraton Surakarta, Kadipaten Mangkunegaran, para saudagar, dan hartawan lokal. Mereka bersama-sama mendirikan perusahaan Solosche Electriciteit Maatschappij (SEM). Listrik membuat malam-malam di Surakarta hidup. Taman Sriwedari menjadi pusat hiburan rakyat, dan pertunjukan wayang diselenggarakan dengan gemerlap cahaya, memperkuat atmosfer kesenian.

Selain itu, raja juga aktif mendukung media dan intelektualisme. Keraton berlangganan berbagai surat kabar seperti Neratja, Bromartani, Dharma Khanda, Sin Po, Soerabajasch Handelsblad, De Java Bode, dan lainnya, baik dalam bahasa Jawa, Melayu, maupun Belanda. Dalam bidang seni rupa, diadakan pameran lukisan, fotografi, batik, ukiran, dan berbagai karya seni lainnya.

Yang juga luar biasa adalah perhatian Pakubuwono X terhadap pendidikan. Ia mengirim putra-putri dan cucu-cucunya ke sekolah-sekolah elite seperti ELS dan HBS, bahkan hingga ke Belanda. Putri-putri raja dididik oleh guru-guru Belanda di lingkungan keraton. Ia juga mendirikan dana beasiswa pribadi untuk anak-anak pandai dari keluarga abdi dalem dan pegawai Kasunanan yang tidak mampu. Dana ini dikelola oleh putranya, GPH Hadiwijoyo, dan berhasil melahirkan tokoh-tokoh nasional seperti Mr. KRMT Wongsonagoro, Prof. Dr. Mr. KRM Aria Notonagoro, dan lain-lain.

Dalam segala kiprahnya, Pakubuwono X adalah cerminan raja yang berakar kuat dalam budaya, tetapi juga terbuka terhadap peradaban modern. Ia mampu menjaga warisan leluhur sambil mendorong bangsanya untuk maju dan terhubung dengan dunia luar. Tak heran jika banyak sejarawan menganggapnya sebagai simbol kejayaan terakhir Keraton Surakarta sebelum dinamika politik kolonial dan kemerdekaan mengubah struktur kerajaan secara fundamental.

Pakubuwono X wafat pada 22 Februari 1939 dan dimakamkan di Astana Pajimatan Imogiri, Yogyakarta. Namun warisan kebudayaan dan pembaruannya tetap hidup, menjadikannya sebagai salah satu raja paling berpengaruh dalam sejarah Jawa modern.