JATIMTIMES - Dalam sejarah kerajaan-kerajaan Nusantara, politik penghapusan silsilah bukanlah hal yang asing. Di tengah pergolakan kekuasaan, ketika legitimasi raja ditentukan oleh garis keturunan, maka narasi silsilah menjadi alat paling efektif untuk menguatkan atau menjatuhkan otoritas.
Artikel ini akan menelusuri satu kasus penting dalam sejarah Jawa: hubungan antara Pajang, Surabaya, dan nasib silsilah Pangeran Pekik, leluhur Sunan Amangkurat II, yang dipreteli secara sistematis dari catatan sejarah resmi.
Kemenangan Pajang atas Jawa Timur dan Peran Surabaya
Pasca-kekalahan Madura, kemenangan Pajang atas wilayah-wilayah pesisir timur Jawa merupakan tonggak penting dalam pemantapan kekuasaan. Hageman dalam Handleiding (hal. 70-71) mencatat betapa meriahnya upacara pengakuan kekuasaan Sultan Pajang oleh daerah-daerah seperti Sidayu, Gresik, Pasuruan, Tuban, Wirasaba, Kediri, Ponorogo, Madiun, Blora, dan Jipang. Bahkan, Raja Pajang, Sultan Hadiwijaya alias Jaka Tingkir secara simbolis tampil di hadapan Sunan Giri Prapen dengan menunggang gajah, diiringi para bangsawan dan pembesar kerajaan.
Namun di balik kemenangan simbolik itu, politik kekuasaan yang lebih dalam sedang berlangsung. Surabaya, salah satu kekuatan utama di wilayah timur, tidak ditaklukkan secara penuh, melainkan dinegosiasikan. Panji Wirya Krama, adipati Surabaya kala itu, diangkat menjadi semacam penghubung antara Pajang dan kerajaan-kerajaan timur. Nama ini bahkan disebut oleh Raffles dalam History of Java (hal. 143), meski informasi tentangnya sangat terbatas.
Setelah Pajang tumbang sekitar 1617, ikatan yang terjalin antara dua pusat kekuasaan ini tidak serta-merta menghilang. Meinsma dalam Babad Tanah Djawi (hal. 132) mencatat bahwa Ki Tambak Baya, tokoh penting Pajang, memilih pergi ke Surabaya, dan di sana ia diterima dengan baik. Ini menunjukkan adanya kesinambungan dan hubungan kultural-politik yang belum sepenuhnya putus.
Dalam lelap tidurnya, ia mendengar suara gaib yang meramalkan bahwa kelak keturunannya akan menjadi tokoh-tokoh besar. Ramalan ini, agaknya, dijadikan pedoman oleh Amangkurat II ketika menetapkan lokasi keraton barunya (Meinsma, Babad, hlm. 205), yang kemudian dibangun di Kartasuraâsebuah wilayah yang secara geografis terletak di bekas pusat kekuasaan Pajang, tempat Sultan Hadiwijaya dahulu bersinggasana dan memerintah tanah Jawa. Pada titik inilah, mitologi dan strategi politik berpadu erat dalam narasi konstruksi kekuasaan dinasti Mataram.
Pangeran Pekik, putra Panembahan Jayalengkara, adalah tokoh penting dalam sejarah Surabaya. Setelah penaklukan Surabaya oleh Mataram pada tahun 1625, Pangeran Pekik tidak dibinasakan, melainkan dijadikan menantu Sultan Agung dengan menikahi Ratu Pandansari, adik Sultan Agung. Pernikahan ini bukan sekadar aliansi politik, tetapi juga simbol integrasi antara kekuatan pesisir dan pedalaman. Pangeran Pekik kemudian menjadi penasihat utama di istana Mataram, menjembatani elite pesisir dan elite pedalaman .
Sebagai keturunan Sunan Ampel, Pangeran Pekik membawa legitimasi spiritual yang penting bagi Mataram. Ia juga dikenal dengan berbagai gelar, seperti Raden Muhammad Nur Pekik, Imam Faqih, dan Panembahan Pekik atau Raja Pandhita Wali. Gelar-gelar ini mencerminkan kedalaman spiritual dan peran religiusnya dalam masyarakat Jawa .
Pada tahun 1636, Sultan Agung memerintahkan Pangeran Pekik untuk menaklukkan Giri Kedaton, pusat spiritual yang dipimpin oleh Panembahan Kawis Guwa, keturunan Sunan Giri. Karena darah Walisongo dan otoritas keagamaannya, hanya Pangeran Pekik yang dianggap layak untuk menaklukkan Giri Kedaton. Keberhasilannya menegaskan peran pentingnya sebagai pemimpin spiritual dan militer .
Penaklukan Giri Kedaton bukan hanya kemenangan militer, tetapi juga simbol penaklukan spiritual, mengukuhkan dominasi Mataram atas wilayah-wilayah yang sebelumnya otonom secara religius.
Pada masa pemerintahan Amangkurat I, hubungan antara sang raja dan mertuanya, Pangeran Pekik, memburuk secara drastis. Amangkurat I, yang mencurigai Pangeran Pekik terlibat dalam konspirasi istana, memerintahkan pembunuhan terhadapnya beserta anggota keluarga pada tahun 1659. Peristiwa ini bukan sekadar tragedi keluarga kerajaan, tetapi juga menciptakan luka sejarah yang dalam antara Mataram dan elite aristokrat pesisir timur Jawaâterutama Surabaya, tanah leluhur Pangeran Pekik. Di dalam tubuh keluarga raja sendiri, pembunuhan tersebut membangkitkan bara dendam dan menjadi titik balik dalam dinamika kekuasaan dinasti.
Pangeran Adipati Anom, putra sulung Amangkurat I sekaligus cucu Pangeran Pekik, sangat terguncang oleh pembunuhan kakeknya. Dalam upaya melampiaskan luka politik dan pribadi itu, ia membentuk aliansi rahasia dengan tokoh-tokoh yang berseberangan dengan ayahandanya, termasuk Raden Kajoran, seorang bangsawan spiritual dari klan keturunan Sunan Tembayat. Dari poros koalisi antara Pangeran Adipati Anom dan Raden Kajoran, lahirlah sebuah gerakan bersenjata yang kemudian dipimpin oleh Raden Trunajayaâseorang bangsawan Madura yang berhasil membangun basis kekuatan militer yang tangguh di wilayah pesisir timur Jawa.
Pemberontakan ini tidak muncul sebagai ledakan spontan, tetapi merupakan buah dari skenario politik yang dirancang secara sistematis oleh Pangeran Adipati Anom dan Raden Kajoran. Sebagai putra mahkota, ia memiliki ambisi kuat untuk segera merebut tahta dari tangan ayahandanya, Amangkurat I, yang semakin otoriter dan kehilangan legitimasi di mata elite kerajaan maupun rakyat. Namun lebih dari sekadar ambisi politik, Adipati Anom juga digerakkan oleh dendam darah: ia ingin membalas kematian kakeknya, Pangeran Pekik, yang dibunuh secara brutal atas perintah Amangkurat I pada tahun 1659.
Dengan menjadikan Trunajaya sebagai pelaksana militer dari proyek perebutan kekuasaan ini, Adipati Anom tidak hanya menyembunyikan keterlibatannya dari pusat kekuasaan Mataram, tetapi juga memperluas jangkauan perlawanan ke luar lingkaran keraton, menyentuh jaringan aristokrat pesisir, pemimpin spiritual lokal, dan pasukan Makassar. Pemberontakan yang muncul kemudian adalah bentuk revolusi tersembunyi yang dibungkus dalam koalisi horizontal antarkekuatan marjinal yang pernah disingkirkan oleh hegemoni raja.
Menurut laporan Piero, seorang utusan Belanda, pada 10 Februari 1675, Raden Trunajayaâyang kala itu telah menyandang gelar Panembahanâmenyatakan secara eksplisit bahwa dirinya pernah menjalin perjanjian politik dengan Pangeran Adipati Anom. Kesepakatan tersebut, yang kemungkinan terjadi antara tahun 1670 hingga 1671, ditafsirkan sebagai fondasi dari sebuah front oposisi terhadap kekuasaan absolut Amangkurat I. Namun, perjanjian itu tidak terealisasi. Adipati Anom, diduga kuat, memilih berdamai kembali dengan sang ayah setelah serangan pertama pasukan eksil Makassar terhadap Gresik dan Surabaya mengalami kegagalan pada awal 1675 (Daghregister, 20 April 1675).
Trunajaya, yang menyadari perubahan arah politik Adipati Anom, segera mengambil inisiatif strategis. Ia menikahkan keponakannya, seorang bangsawati Madura, dengan Karaeng Galesongâpemimpin pasukan eksil Makassar yang terkenal militan. Pernikahan ini tak sekadar simbol ikatan darah, melainkan kontrak politik-militer yang bersifat timbal balik: Galesong berkewajiban menaklukkan Gresik dan Surabaya demi kemajuan agenda Trunajaya. Dari perkawinan itu lahirlah seorang anak pada Januari 1677, yang menunjukkan bahwa aliansi mereka telah terjalin sejak akhir 1675. Tindakan-tindakan tersebut membuktikan bahwa pemberontakan Trunajaya bukanlah gerakan spontan, melainkan sebuah konspirasi yang matang dan terencana, berakar dari konflik internal istana dan jaringan aristokrasi yang terpinggirkan oleh otoritarianisme Amangkurat I.
Pemberontakan Trunajaya berakhir tragis pada tahun 1679. Setelah mengalami kekalahan beruntun, Trunajaya ditangkap di Pegunungan Kediri oleh pasukan gabungan Mataram dan VOC, lalu dieksekusi pada 2 Januari 1680 di Payak, dekat Bantul. Raden Kajoranâmertua sekaligus penasihat spiritual Trunajayaâtelah lebih dahulu ditangkap dan dihukum mati pada 14 September 1679.
Meski pemberontakan itu gagal, dendam lama akhirnya terbalaskan. Pangeran Adipati Anomâputra Amangkurat I sekaligus cucu Pangeran Pekikâmemanfaatkan konflik ini untuk menghancurkan kekuasaan ayahandanya, yang pernah memerintahkan pembantaian atas Pangeran Pekik pada tahun 1659. Setelah Amangkurat I wafat dalam pelarian pada 1680, Adipati Anom naik takhta sebagai Amangkurat II.
Baca Juga : Pengakuan Kakak Tega Perkosa Adik Kandung Selama 6 Tahun di Jombang
Darah Pangeran Pekik memang telah dibayar, namun sejarah juga mencatat tragedi: Trunajaya dan Raden Kajoran, dua tokoh revolusioner dari pesisir dan pedalaman, menjadi korban dalam pertarungan kekuasaan Mataram yang kejam dan penuh darah.
Di sebuah lereng sunyi, di antara ilalang dan batu nisan tua, terbaring makam Pangeran Pekikâdi Banyusumurup, Imogiri, Bantul, Daerah Istimewa Yogyakarta. Bukan di puncak bukit para raja, melainkan di lereng sepi yang disediakan bagi mereka yang dianggap menyimpang, membangkang, atau tak sepenuhnya tunduk pada kehendak pusat kuasa. Di situlah ia dibaringkan: seorang bangsawan besar Surabaya, menantu dan korban kekuasaan Mataram. Makam itu kini menjelma prasasti bisu atas sejarah yang disunting, warisan yang dikesampingkan, dan kebenaran yang perlahan-lahan dilupakan. Banyusumurup bukan sekadar pemakamanâia adalah catatan kaki dari babak sejarah yang enggan dibacakan.
Ketika Silsilah Mulai Dipangkas
Namun, persoalan menjadi kabur ketika menelaah silsilah Pangeran Pekik. Sadjarah Dalem sebagaimana dikutip Padmasoesastra hanya mencatat sampai ayahnya: Raden Panji Jayalengkara. Ketiadaan informasi lebih lanjut tentang leluhur Pangeran Pekik sangat mencolok. Djajadiningrat dalam studinya tentang Banten (hal. 222) menegaskan bahwa Tumenggung Tirtawigunaâsalah satu penulis Babad Tanah Djawiâseharusnya memiliki pengetahuan luas tentang Surabaya, tetapi sengaja mengaburkannya.
Fakta ini menunjukkan indikasi kuat adanya sensor sejarah. Bukan karena ketidaktahuan, melainkan disengaja demi kepentingan dinasti. Di masa-masa setelah runtuhnya Surabaya dan masuknya keturunannya ke dalam Mataram, terjadi politik pembentukan narasi baru. Silsilah yang menunjukkan kejayaan atau keunggulan musuh lama dipangkas, agar generasi penerus tidak lagi memiliki legitimasi historis sebagai pesaing kekuasaan.
Dalam Babad Tanah Djawi, disebutkan bahwa Pangeran Pekik berasal dari seorang pandita. Penulisan yang tampaknya direduksi sedemikian rupa untuk menyingkirkan klaim kekuasaan Surabaya. Nama âpanditaâ di sini diyakini merujuk pada Raden Rahmat, Ali Rahmatullah, atau Sunan Ampel dari Ampel Denta, sosok wali besar dari Surabaya. Jika benar, maka ini menunjukkan upaya menutupi garis keturunan bangsawan religius yang sah dari pihak Surabaya.
Dengan demikian, tokoh Panji Wirya Krama, yang disebut dalam sumber Eropa tetapi tak dikenal dalam tradisi Jawa pasca-Mataram, tampaknya termasuk bagian dari silsilah yang sengaja digelapkan. Ia bisa jadi leluhur atau bagian dari lingkaran kekuasaan yang menjadi asal-muasal Pangeran Pekik.
Kenapa penghapusan ini penting? Jawabannya ada pada konflik legitimasi dinasti. Keturunan Pangeran Pekik melalui Amangkurat III menjadi ancaman bagi jalur Pakubuwanan yang berkuasa setelahnya. Sunan Mas alias Amangkurat III digulingkan oleh pamannya, Pangeran Puger yang naik takhta sebagai Pakubuwana I. Sementara keturunannya dibuang, seperti Raden Mas Garendi alias Sunan Kuning, yang berakhir sebagai pemimpin oposisi dan pemberontak.
Karena itulah, sangat masuk akal jika sejarah resmi mengaburkan asal-usul Pangeran Pekik. Jika leluhurnya diakui sebagai penguasa sah atau tokoh penting dalam sejarah Surabaya, maka legitimasi Mangkurat III menjadi lebih kuat. Dan ini menjadi ancaman bagi jalur Pakubuwanan yang hendak mempertahankan narasi tunggal kekuasaan.
Indikasi penghapusan ini bahkan dapat ditelusuri kembali ke masa Sultan Agung. Pertempuran panjang dan menyakitkan antara Mataram dan Surabaya menciptakan trauma kolektif yang diteruskan dalam bentuk politik sejarah. Penulisan Babad Tanah Djawi di era ini tidak bisa dilepaskan dari ideologi penguasa. Ketika Sultan Agung membutuhkan narasi untuk mengukuhkan kedudukannya sebagai pemimpin tunggal tanah Jawa, maka riwayat tentang musuh-musuhnya, termasuk Surabaya, harus disunting, dikaburkan, bahkan dihilangkan.
Kini, dengan sumber-sumber seperti Hageman, Meinsma, Raffles, dan kajian Djajadiningrat, kita memiliki peluang untuk merekonstruksi sejarah yang telah dipreteli oleh kepentingan dinasti. Menyusun ulang silsilah Pangeran Pekik bukan sekadar tindakan akademis, tetapi bagian dari keadilan historis. Surabaya, sebagai kota besar dan pusat kebudayaan yang penting, tidak boleh dipinggirkan dari sejarah karena kalah dalam politik istana.
Dengan membuka kembali narasi silsilah yang disembunyikan, kita belajar bahwa sejarah bukan sekadar apa yang tertulis, tetapi juga apa yang sengaja tidak ditulis. Dalam diamnya teks, tersembunyi suara-suara yang selama ini dibungkam.
Kisah Pangeran Pekik adalah contoh nyata bagaimana sejarah dapat disunting untuk mendukung narasi kekuasaan tertentu. Penghapusan silsilah dan pengaburan peran tokoh-tokoh penting mencerminkan politik penghapusan yang disengaja. Namun, melalui penelitian dan penggalian sumber-sumber sejarah alternatif, kita dapat mengungkap kembali narasi-narasi yang terlupakan dan memberikan penghormatan yang layak kepada tokoh-tokoh seperti Pangeran Pekik.