free web hit counter
Scroll untuk baca artikel
Serba Serbi

Ketika Kolonialisme Bertemu Mistik: Menelusuri Akar Pemberontakan Pulung Ponorogo 1885

Penulis : Aunur Rofiq - Editor : Dede Nana

13
×

Rencana Rilis PlayStation 6 Berpotensi Terungkap, Berkat Microsoft

Share this article
Stik Playstation
Ilustrasi para tokoh lokal duduk bersila, merapatkan barisan dan menyusun rencana perlawanan terhadap penjajah. Konsolidasi senyap ini menjadi awal dari Pemberontakan Pulung di Ponorogo tahun 1885, saat mistik dan perjuangan berpadu dalam satu keyakinan: melawan penindasan. (Foto: Ilustrasi dibuat oleh JatimTIMES)

JATIMTIMES - Dalam lanskap sejarah perlawanan rakyat Jawa terhadap kekuasaan kolonial Belanda, Peristiwa Pulung tahun 1885 di Ponorogo muncul sebagai momen krusial yang merepresentasikan ketegangan sosial, politik, dan spiritual di pedalaman Jawa Timur. Tidak sekadar ekspresi dari tekanan ekonomi dan krisis sosial, tetapi juga manifestasi naratif Ratu Adil, tafsir lokal atas mesianisme Jawa, yang mengikat elemen elite priayi, petani miskin, dan bahkan kelompok etnis Tionghoa dalam konspirasi yang kompleks.

Peristiwa Pulung berakar dalam ketegangan struktural antara elite lokal yang tersisih dan masyarakat desa yang terpinggirkan oleh politik kolonialisme dan monopoli ekonomi. Tokoh utama peristiwa ini adalah Raden Martodimejo dan anaknya, Martodipuro. Keduanya merupakan keturunan bangsawan lokal, yakni R.M.A. Suriodiningrat dan R. Brotowiryo, bekas Bupati Ponorogo. 

Baca Juga : Rangkuman Sejarah Hari Pendidikan Nasional yang Diperingati Setiap 2 Mei

Martodimejo adalah mantan jagawana yang diberhentikan, sedangkan anaknya adalah pejabat biro statistik di Pacitan. Jejak birokrasi mereka mencerminkan relasi ambivalen elite lokal dengan struktur kekuasaan kolonial.

Konspirasi pemberontakan ini melibatkan jejaring kekerabatan yang luas: R. Martorejo, keponakan Martodimejo dan mantan juru tulis magang di biro statistik Pacitan; ayah Martorejo, seorang mantan carik Desa Patik; serta R. Reksojodikromo, keponakan lainnya. Dari unsur etnis Tionghoa, nama Sim Ju Hing mencuat sebagai bagian dari lingkaran konspirasi. Sim Ju Hing, bekas agen candu pemerintah yang kini menganggur, dikenal luas di kalangan masyarakat Cina lokal, dan memiliki hubungan dengan Oei Kin Tjwan, menantu Letnan Cina Ponorogo.

Desa Patik dan Kosmologi Ratu Adil

Menariknya, hampir seluruh jaringan konspirator tinggal di Desa Patik.Desa Patik, bagian dari Kewedanan Pulung, menjadi pusat dari peristiwa ini. Desa ini bukan hanya lokasi geografis, tetapi juga tapak simbolik dari mitologi Ratu Adil. 

Seorang pemuda desa yang kelak memimpin pemberontakan dipercaya lahir dengan pertanda kosmis: matahari atau bulan turun kepadanya. Ia bermimpi bertemu dengan Nyai Roro Kidul dan kakeknya yang menyuruhnya untuk memimpin perang. Martorejo menyebarluaskan ramalan Jayabaya bahwa akan muncul senapati pengusir Belanda. Narasi spiritual ini membungkus mobilisasi politik dengan legitimasi mistik.

Catatan mimpi dan 'kedigdayaan' sang pemuda dituliskan dalam buku kecil yang ditemukan saat penangkapan. Ayahnya, seorang pertapa dan mantan carik desa, turut memperkuat imajinasi kenabian ini. Dengan narasi demikian, pemuda ini menjelma menjadi inkarnasi Ratu Adil, simbol harapan masyarakat terhadap perubahan tatanan yang adil dan bebas dari penjajahan.

Ponorogo saat itu tengah dilanda konflik elite. R.A.A. Tjokronegoro, Bupati lama yang telah pensiun, masih hidup dan dianggap tetap memegang kendali kekuasaan informal. Ia digantikan oleh anak keduanya yang sebelumnya menjabat Wedana di Caruban. Sementara anak pertama yang dilangkahi, sebelumnya Patih Ponorogo, mengundurkan diri dan tidak akur dengan ayah maupun adiknya. Konflik dinasti ini membuka celah legitimasi kekuasaan dan menciptakan ruang subversi di kalangan elite.

Ketika Patih yang dilangkahi mengatakan bahwa "kabupaten akan segera hancur karena pemberontakan", pernyataan ini dianggap sebagai pertanda bahwa konspirasi melibatkan lebih banyak tokoh dibanding yang tercatat secara resmi.

Puncak pemberontakan terjadi ketika kelompok ini mulai menghimpun massa, sekitar 100 orang, dan bergerak dari Desa Patik serta Pulung. Mereka berhasil memengaruhi dua kepala desa untuk bergabung. Walau kekuatan fisik mereka terbatas, dampak psikologisnya besar: mitos Ratu Adil yang bangkit dari desa telah menjalari ketakutan pejabat kolonial.

Pemerintah Hindia Belanda, dengan sistem pengawasan yang rapat dan jaringan intel yang luas, segera bertindak. Korespondensi antara para penggerak pemberontakan diamankan, termasuk buku kecil berisi mimpi-mimpi, catatan kekuatan gaib, dan ramalan yang menyertai pemimpin spiritual mereka. Buku ini menjadi dokumen penting bagi kolonial untuk menunjukkan bahwa pemberontakan ini bukan hanya berdasar pada ketimpangan ekonomi, tapi juga mitos, ambisi sosial, dan konflik elite lokal.

Pemberontakan tidak bisa dilepaskan dari krisis ekonomi dan kebijakan fiskal kolonial. Pajak tanah menjadi beban utama rakyat. Sim Ju Hing menyatakan kepada Martorejo bahwa dalam pemerintahan Ratu Adil, pajak akan dihapuskan dan rakyat kecil akan sejahtera. Propaganda ini efektif membakar semangat pemberontakan. Narasi keadilan ekonomi ini menambah legitimasi gerakan di mata rakyat yang telah muak dengan pungutan dan tekanan kolonial.

Kendati Belanda menganggap bahwa akar pemberontakan bukan kemiskinan, melainkan frustrasi elite terhadap kegagalan ambisi politik mereka, fakta bahwa dua kepala desa dari Pateh dan Pulung ikut serta dalam pemberontakan menunjukkan bahwa ketidakpuasan telah menembus struktur administratif bawah.

Baca Juga : Ngrowo dan Pakuncen: Dua Kabupaten Penyangga Kekuasaan Amangkurat II di Jawa Timur

Pihak Belanda menolak mengakui faktor pajak sebagai penyebab utama. Bagi mereka, motif utamanya adalah frustrasi elite desa yang kehilangan kuasa dan harapan atas posisi. Namun narasi ini terbantahkan oleh testimoni para pendukung pemberontakan yang menyebutkan bahwa "pemerintahan Ratu Adil kelak akan menghapus pajak dan menyejahterakan rakyat kecil." Dalam satu petikan, Martorejo dikisahkan berkata kepada Sim Ju Hing bahwa "Belanda akan terus melemah di Jawa karena tekanan di Eropa, dan kini waktunya telah tiba."

Sim Ju Hing dan Jaringan Cina Ponorogo

Peran etnis Tionghoa dalam peristiwa ini menjadi teka-teki. Sim Ju Hing adalah sosok Cina yang tinggal di rumah Martodimejo, dan disebut-sebut sebagai mata-mata Oei Kin Tjwan. Oei sendiri berada di bawah pengaruh Kiai Sumoroto alias Kertopati, seorang guru spiritual yang mengajarkan "ilmu Hindu". Oei tampaknya percaya ia ditakdirkan memainkan peran besar di Ponorogo. Namun, baik Letnan Cina maupun Kiai Kertopati menyangkal keterlibatan mereka. Bagi Belanda, rumor keterlibatan Cina adalah propaganda pemberontak.

Pemberontakan Pulung yang meletus di Ponorogo tahun 1885 merupakan salah satu manifestasi keresahan sosial akibat kebijakan pajak kolonial yang mencekik rakyat pedesaan. Setelah beberapa kali rencana gagal karena minimnya dukungan, pemberontakan akhirnya dimulai pada malam 2 November 1885. Sekitar 50 orang menyerang rumah Wedana Pudak dan kediaman Kontrolir Belanda. 

Meski berhasil menjarah dan merusak, mereka gagal memicu gerakan rakyat yang lebih luas. Tanpa logistik dan tenaga yang cukup, rombongan melanjutkan perjalanan ke Desa Caper dan menerima makanan dari kepala desa, tanpa sadar telah dicampur obat tidur.

Dalam keadaan terlelap di pemakaman Dowo, para pemberontak dikepung dan ditangkap oleh pasukan kolonial tanpa perlawanan berarti. Penangkapan ini menandai berakhirnya pemberontakan. Pemerintah kolonial menutup kasus dengan menyalahkan elite lokal, termasuk mantan Bupati Tjokronegoro dan Residen Madiun Mr. Oudeman, yang dianggap lalai dan akhirnya diberhentikan.

Secara historiografis, pemberontakan ini termasuk dalam kategori gerakan mesianis seperti yang dikaji Sartono Kartodirdjo—gerakan berbasis mitos Ratu Adil yang muncul dari frustrasi sosial-ekonomi. Namun, minimnya infrastruktur komunikasi dan lemahnya jaringan membuat gerakan ini cepat padam.

Meski kecil dan berumur pendek, Pemberontakan Pulung mencerminkan denyut awal kesadaran perlawanan rakyat terhadap kolonialisme. Ia adalah suara keras dari pedalaman Jawa yang, meski dibungkam, tak pernah benar-benar padam dalam ingatan sejarah.

Belanda menghitung bahwa terdapat sebelas tokoh utama dalam pemberontakan, sebagian besar dari keluarga besar di Patik, dua di antaranya adalah priayi. Kekuatan militer pemberontak tidak mencapai seratus orang. Namun, karena dua kepala desa ikut serta, aparat kolonial menganggap peristiwa ini serius. Belanda menilai bahwa motivasi utama pemberontakan adalah hilangnya pengaruh dan posisi sosial elite lokal, bukan penderitaan ekonomi rakyat.

Namun, kesimpulan ini terbantahkan oleh fakta di lapangan. Sentimen anti-pajak dan impian akan pemerintahan adil tanpa korupsi menjadi narasi dominan yang menggerakkan partisipasi rakyat kecil. Pemberontakan ini bukan hanya hasil ambisi elite yang kalah, melainkan gejala sosial yang mencerminkan keterputusan antara pemerintah kolonial dan rakyat.