free web hit counter
Scroll untuk baca artikel
Serba Serbi

Persekutuan Raden Kajoran dan Raden Mas Rahmat: Politik Rahasia, Ramalan Keruntuhan Mataram, dan Lahirnya Trunajaya

Penulis : Aunur Rofiq - Editor : A Yahya

13
×

Rencana Rilis PlayStation 6 Berpotensi Terungkap, Berkat Microsoft

Share this article
Stik Playstation
Ilustrasi Raden Kajoran (paling kiri) memperkenalkan putra mahkota Mataram, Raden Mas Rahmat (Pangeran Adipati Anom), kepada Raden Trunajaya (tengah)di Bale Joglo kediaman Raden Kajoran, Tembayat, tahun 1670. (Foto: Ilustrasi dibuat oleh JatimTIMES)

JATIMTIMES - Pada dekade terakhir abad ke-17, ketika angin sejarah menghempas Kesultanan Mataram dengan pergolakan internal dan tekanan eksternal, sebuah persekutuan rahasia terbentuk di balik tembok istana dan lereng pegunungan selatan. Di tengah kepungan krisis legitimasi, penindasan bangsawan, dan retaknya kohesi pusat-pesisir, dua tokoh tampil menyusun takdir baru bagi Jawa: Raden Kajoran, seorang bangsawan suci dari lereng Merapi, dan Raden Mas Rahmat, putra mahkota Mataram yang kelak menjadi Sunan Amangkurat II. Melalui tangan Kajoran, diperkenalkanlah kepada sang putra mahkota seorang pemuda Madura yang akan menjadi alat perubahan dan malapetaka: Raden Trunajaya. Dari titik ini, lahirlah konspirasi yang mengguncang jantung Mataram, mencabik sendi-sendi kekuasaan Jawa lama, dan membuka pintu bagi intervensi kolonial yang lebih dalam.

Raden Kajoran: Ulama Sufi, Bapak Mertua Trunajaya, dan Peramal Keruntuhan

Baca Juga : Ibadah Lancar dan Tenang, ini Tips Tidak Nyasar Saat Beribadah Haji di Makkah

Kajoran dikenal sebagai tanah asal keluarga keturunan darah ningrat sekaligus ulama besar. Di sanalah pada abad ke-17 berdiri megah sebuah dalem besar milik keluarga Kajoran, tempat tinggal tokoh penting dalam pemberontakan Trunajaya: Raden Kajoran Ambalik, atau Panembahan Rama.

Raden Kajoran Ambalik bukan sosok biasa. Ia adalah ulama keturunan Sunan Tembayat sekaligus bangsawan berdarah biru. Ia bukan hanya keturunan ningrat, tetapi juga dikenal sebagai tokoh spiritual yang memiliki karisma dan keahlian dalam laku tapa. Dalam catatan Daghregister VOC, Speelman menyebutnya "seorang pemburu iblis", "nabi kaum iblis"—label yang mengandung kekaguman sekaligus kekhawatiran kolonial terhadap karisma religiusnya. Penduduk setempat menyebutnya Panembahan Rama, gelar penuh hormat yang menandakan kedalaman spiritualitasnya.

Seperti tertuang dalam Babad Alit (hlm. 30, 40), Raden Kajoran Ambalik memiliki dua orang putri. Putri sulung menikah dengan Pangeran Wiramenggala, adik dari Pangeran Purbaya, sementara putri bungsu menikah dengan Raden Trunajaya. 

Raden Kajoran, tokoh utama dalam konfigurasi spiritual-politik Mataram, bukan sekadar bangsawan lokal di Kadipaten Kajoran. Ia adalah bagian dari jaringan elite ulama-bangsawan (priyayi-syekh) yang berakar dalam tradisi mistik dan perlawanan. Babad Babad Pakepung dan Serat Kandha menggambarkan dirinya sebagai sosok pertapa yang memiliki karisma dan ilmu linuwih. Dalam posisi ini, Kajoran melihat putra menantunya, Raden Trunajaya, bukan sekadar pemuda pelarian dari Madura, melainkan calon pemimpin yang dinubuatkan akan “mengguncang seluruh Jawa.” Kesadaran eskatologis Kajoran terhadap usia tua Mataram mendorongnya mempersiapkan alat sejarah: Trunajaya.

Raden Kajoran Ambalik muncul sebagai pusat dari jaringan kekerabatan dan perlawanan terhadap kekuasaan Amangkurat I. Sumber-sumber Jawa seperti Serat Tjandrakanta menyebutkan keberadaan saudara laki-laki dan perempuan Kajoran, meskipun tidak menyebutkan secara eksplisit nama-nama anaknya. Di sinilah catatan Belanda mengisi kekosongan tersebut dan memberikan informasi yang lebih konkret mengenai struktur keluarga Kajoran.

Menurut catatan Belanda, saudara-saudara Raden Kajoran terdiri atas seorang adik laki-laki yang dikisahkan tidak mempedulikan kepentingan keluarga; Raden Kahunan, adik Kajoran yang sempat ditetapkan sebagai penguasa di wilayah Jawa Tengah; seorang abang tua yang kemungkinan besar bernama Pangeran Pamingak; Wirameja, abang yang diketahui menjadi mertua dari Pangeran Puger; serta seorang saudari perempuan yang tanpa disebutkan namanya, namun dikenal karena upayanya menyelamatkan Raden Kajoran dari nasib tragis menjelang kejatuhannya.

Sementara itu, anak-anak Raden Kajoran yang dapat diidentifikasi antara lain dua orang putri yang masing-masing dinikahkan dengan Pangeran Wiramenggala dan Raden Trunajaya; Raden Wirakusuma, seorang panglima besar dalam pemberontakan Trunajaya; Raden Panganteen, juga dikenal dengan nama Beere; Raden Kartanegara dan Wangsadika, yang keduanya gugur dalam konflik bersenjata; serta Kartipada, salah satu tokoh terkemuka dalam barisan pemberontak.

Dengan demikian, keluarga Kajoran secara eksplisit tidak hanya menjadi simpul genealogis dari para pangeran dan elite politik Mataram, melainkan juga tampil sebagai dinasti pemberontak dengan jejak politik yang melintasi generasi dan menorehkan pengaruh besar dalam sejarah konflik kekuasaan di tanah Jawa.

Raden Trunajaya: Anak Pembuangan, Darah Madura, dan Cita-Cita Tertindas

Kerajaan Arosbaya merupakan kerajaan Islam pertama di Pulau Madura. Berdiri pada abad ke-15, kerajaan ini didirikan oleh Kiai Demang Plakaran, seorang bangsawan keturunan Prabu Brawijaya V melalui jalur Aria Damar, penguasa Palembang. Melalui garis keturunan ini, Arosbaya mewarisi trah Majapahit sekaligus menjadi pengusung awal Islam di Madura.

Putra Kiai Demang Plakaran yang paling berpengaruh adalah Kiai Pragalba, yang bergelar Pangeran Arosbaya. Ia memimpin perluasan dakwah Islam di Madura dengan dukungan para wali, termasuk Sunan Kudus. Kepemimpinan Pragalba kemudian dilanjutkan oleh putranya, Raden Pratanu, yang bergelar Panembahan Lemah Duwur—seorang raja progresif yang memindahkan pusat pemerintahan ke dataran tinggi Lemah Duwur dan membangun aliansi strategis dengan Kesultanan Pajang melalui pernikahannya dengan salah satu putri Sultan Hadiwijaya (Jaka Tingkir).

Dari pernikahan ini lahirlah Raden Koro, yang kelak dikenal sebagai Pangeran Tengah, penguasa terakhir Arosbaya (1592–1624). Pangeran Tengah adalah ayah dari Raden Prasena, tokoh yang lebih dikenal dalam sejarah sebagai Cakraningrat I.

Cakraningrat I menurunkan sejumlah putra, salah satunya adalah Demang Malayakusuma, yang kemudian menjadi ayah dari Raden Trunajaya—pemimpin utama pemberontakan besar terhadap Kesultanan Mataram pada 1674–1680.

Dengan demikian, Raden Trunajaya merupakan keturunan langsung Panembahan Lemah Duwur, pewaris trah Majapahit, serta cucu politik Kesultanan Pajang. Akar ideologis dan politik Trunajaya terbentuk dari peristiwa tragis tahun 1624, ketika Kerajaan Arosbaya jatuh akibat invasi besar-besaran Sultan Agung dari Mataram. Dalam ekspedisi itu, sang kakek, Pangeran Tengah, kehilangan kekuasaan setelah pasukan Mataram di bawah komando Adipati Pragola dan Pangeran Sumedang menguasai Madura.

Trunajaya pun tumbuh sebagai pewaris dendam sejarah dan martabat kerajaan yang ditaklukkan. Kelak, ia bangkit sebagai simbol perlawanan terhadap hegemoni Mataram, didukung oleh elite Madura dan bekas pejabat Surabaya.

Raden Trunajaya, tokoh muda keturunan Cakraningrat I, berasal dari garis keturunan bangsawan Madura yang telah dikucilkan dari tahta. Ayahnya, Raden Demang Melaya—putra Pangeran Magiri alias Cakraningrat I—tewas dalam konflik istana.

Raden Trunajaya bukan sekadar seorang bangsawan pelarian. Ia adalah cucu dari Pangeran Cakraningrat I, penguasa Madura yang gugur dalam konflik melawan Pangeran Alit. Silsilah ini dikukuhkan sendiri oleh Trunajaya kepada utusan Belanda, Piero, seorang Mor, dalam pertemuan terakhir mereka pada 10 Februari 1667. Ayahnya, Raden Demang Melaya, putra Pangeran Magiri (Cakraningrat I), pernah memegang jabatan sebagai mantri anom di lingkungan keraton Mataram. Sumber-sumber Belanda maupun Jawa mengindikasikan bahwa Demang Melaya dihukum mati oleh Sunan Amangkurat I, mungkin karena pembangkangan administratif atau kecurigaan politik. Sejak itu, Trunajaya tumbuh dalam bayang-bayang ketegangan antara Madura dan Mataram.

Trunajaya kecil hidup dalam pelarian dan pengawasan. Ketika remaja, ia menjalin hubungan rahasia dengan putri pamannya yang membuatnya terancam hukum adat. Perlindungan dari rakyat Madura dan simpati dari pengikutnya membawanya ke pengasingan yang lebih tinggi: ke lingkungan istana putra mahkota Mataram, Raden Mas Rahmat.

Di sini, permainan politik halus terjadi. Para abdi putra mahkota, yang telah disuap oleh Cakraningrat, membiarkan Trunajaya masuk ke dalam orbit kekuasaan. Namun bukan Raden Rahmat yang pertama menyadari potensi pemuda ini, melainkan Raden Kajoran. Kajoran, dengan indra mistiknya, mengangkat Trunajaya sebagai menantu dan mempersiapkannya menjadi pion utama dalam takdir sejarah yang baru.

Perkenalan Rahasia: Kajoran, Rahmat, dan Trunajaya

Menurut Babad Tanah Jawi, Serat Kandha, dan Meinsma, Raden Kajoran sangat mencintai menantunya karena melihat dalam diri Trunajaya tanda-tanda "kresna" (takdir agung) untuk menjadi pahlawan besar yang akan mengguncang tatanan Jawa. Dalam tafsir sufistik-politik Kajoran, kehancuran Mataram telah ditakdirkan oleh Yang Mahakuasa. Oleh karena itu, ia memperkenalkan Trunajaya kepada putra mahkota bukan hanya sebagai menantu, tetapi sebagai alat ilahi dalam transformasi sejarah.

Babad dan Serat Kandha menggambarkan momentum historis ketika Kajoran memperkenalkan menantunya kepada sang putra mahkota. Narasi ini penting, karena ia bukan sekadar temu muka politis, melainkan konvergensi antara agenda spiritual, balas dendam politik, dan kalkulasi masa depan dinasti.

Kajoran menjelaskan kepada Raden Rahmat bahwa menantunya akan menjadi wakil yang pantas untuk memimpin Madura. Ia memintanya dibekali dana, pakaian, dan alat-alat perang. Rahmat menyetujui. Bahkan, menurut Serat Kandha, ia menjanjikan pengangkatan Trunajaya sebagai tumenggung. Ia akan dibiayai penuh dan diberi kuasa untuk membujuk rakyat pesisir dan Madura agar tidak tunduk kepada Cakraningrat.

Narasi ini menunjukkan bahwa dari awal Trunajaya bukan aktor lepas kendali, tetapi bagian dari rancangan besar persekutuan antara Kajoran dan Rahmat untuk membendung otoritarianisme Sunan Amangkurat I, dan membuka jalan bagi pergantian kekuasaan.

Dalam berbagai versi Babad, pertemuan antara Raden Mas Rahmat dan Trunajaya difasilitasi oleh Raden Kajoran pada tahun 1670. Dalam Serat Kandha disebutkan bahwa putra mahkota bersedia menanggung semua biaya hidup, persenjataan, dan keperluan diplomatik Trunajaya. Dalam versi Meinsma, bahkan diperintahkan langsung untuk membekalinya dengan uang, pakaian, dan alat perang.

Trunajaya diperintahkan menuju Sampang, Madura, untuk mulai menggalang simpati dan mencegah rakyat menghadap langsung ke istana. Strategi ini bertujuan mengisolasi Adipati Cakraningrat II secara politik. Ia juga harus menggoyahkan pesisir utara Jawa dan menguasai pelabuhan-pelabuhan penting sebagai basis logistik kelak. Dalam bayangan Raden Mas Rahmat, jika keadaan telah genting, maka Trunajaya akan diperintahkan menghancurkan Keraton Plered. Bahkan, menurut Babad Meinsma, jika Mataram runtuh, putra mahkota sendiri akan menyusul Trunajaya untuk memproklamirkan kekuasaan baru.

Ideologi dan Ramalan: Mataram Sudah Tua, Saatnya Musnah

Baca Juga : Digelar Hari ini, Berikut Sejarah dan Proses Konklaf 

Dalam diskursus Raden Kajoran, persekutuan ini dilandasi keyakinan spiritual: “Telah menjadi kehendak Yang Maha Esa bahwa Mataram sudah tua dan akan musnah.” Maka, jika kemusnahan adalah keniscayaan, maka peran manusia adalah mempercepat datangnya keruntuhan yang bersifat ilahiah.

Raden Trunajaya didoktrin untuk menjadi raja Surabaya, bahkan jika itu akan membangkitkan kemarahan pusat. Menurut Serat Kandha, jika saatnya telah tiba dan terjadi kekacauan di istana, ia akan menghancurkan keraton atas perintah putra mahkota sendiri. Sebuah pernyataan yang penuh paradoks, karena mengindikasikan bahwa Trunajaya, meskipun pemberontak, adalah bagian dari rencana rahasia elit Mataram sendiri.

Konspirasi Madura: Tugas Trunajaya di Pesisir

Menurut sumber primer Belanda (Jonge, Opkomst), Trunajaya menyebut dirinya sebagai putra Raden Damang Malaya, anak Pangeran Magiri alias Cakraningrat I. Ibunya, menurut Palmer, adalah seorang selir, tetapi Rouffaer menyebutnya sebagai permaisuri (garwa). Silsilah ini didukung sumber Jawa dan Madura, yang mengaitkannya dengan garis Sunan Giri melalui Nyi Ageng Sawu.

Namun Trunajaya kecil tersingkir dari jalur suksesi, digantikan oleh pamannya, Cakraningrat II. Trauma ini tidak hanya melahirkan ambisi, tetapi juga pembenaran: bahwa haknya atas Madura dirampas secara sewenang-wenang oleh Mataram. Ketika memberontak, Trunajaya menyatakan kepada Komandan Belanda Couper bahwa ia memiliki hak atas Madura yang tidak bisa dicabut oleh siapa pun.

Perintah dari Raden Mas Rahmat jelas: Trunajaya harus kembali ke Madura, membujuk rakyat Sampang agar tidak menghadap ke istana, dan mengucilkan Cakraningrat. Ia juga diperintahkan untuk memengaruhi pesisir dan mancanegara—daerah-daerah yang tidak sepenuhnya loyal kepada pusat Mataram.

Di balik retorika penugasan ini, terlihat satu desain besar: pelemahan pusat kekuasaan Mataram melalui penggerusan legitimasi Cakraningrat dan pembentukan poros kekuasaan alternatif di pesisir utara. Ini adalah bentuk awal dari disentralisasi kekuasaan yang, dalam sejarah Jawa, selalu menandai kehancuran sebuah kerajaan besar. 

Sebelum kembali ke Madura, Trunajaya menerima pelajaran-pelajaran terakhir dari Raden Kajoran di Kadipaten. Dalam pengasingan itulah ia dididik untuk menjadi pemimpin spiritual-politik, bukan sekadar prajurit. Strategi, keteguhan hati, dan kemampuan menyusun kekuatan rakyat menjadi inti doktrin Kajoran.

Misi akhir pun ditetapkan: jika Mataram jatuh dalam kekacauan, Trunajaya akan menghancurkan keraton. Menurut Meinsma, dalam versi babad lainnya, jika itu terjadi, maka putra mahkota sendiri akan menyusul ke Surabaya untuk memimpin pemerintahan baru dari pesisir. Gagasan ini sangat revolusioner, karena memutar balik pusat kekuasaan Jawa dari pedalaman ke pantai utara.

Historiografi Persekutuan: Sumber Jawa dan Kolonial

Dalam penulisan sejarah ini, kita berhadapan dengan dua jenis narasi: pertama, narasi tradisional Jawa seperti Babad Pakepung, Serat Kandha, dan Babad Tanah Jawi; kedua, laporan kolonial Belanda seperti Jonge, Meinsma, dan Rouffaer. Meskipun berbeda dalam gaya dan tujuan, keduanya mengakui keberadaan persekutuan rahasia antara Raden Kajoran, Raden Mas Rahmat, dan Raden Trunajaya.

Sumber Jawa menekankan aspek spiritual, legitimasi keturunan, dan nuansa pewayangan; sementara sumber Belanda cenderung rasional dan politis. Tetapi keduanya menyatu dalam satu kesimpulan: pemberontakan Trunajaya tidak mungkin terjadi tanpa dukungan elit Mataram sendiri.

Dari sudut historiografi, persekutuan ini mengandung ironi. Di satu sisi, Raden Mas Rahmat terlibat dalam konspirasi untuk menjatuhkan ayahnya sendiri, Sunan Amangkurat I. Namun di sisi lain, ia sedang menyusun kekuatan alternatif untuk menyelamatkan takhta dari kehancuran total. Penulis mencatat, persekutuan dengan Trunajaya adalah bentuk "pemberontakan dalam kerangka penyelamatan dinasti". Dalam konteks ini, Rahmat tidak serta-merta pengkhianat, tetapi seorang pangeran yang mencoba menyelamatkan masa depan Mataram dengan mengandalkan kekuatan non-keraton.

Sementara itu, Raden Kajoran menampilkan peran sebagai spiritualis dengan misi profetik. Ia melihat kerusakan moral dan politik di dalam istana sebagai isyarat runtuhnya peradaban Mataram lama. Maka ia mendukung menantunya sebagai "Imam Mahdi Jawa" yang akan membawa pembaruan. Historiografi lokal seperti dalam Serat Kandha menggambarkan Kajoran sebagai wali sekaligus pemimpin revolusi.

Persekutuan ini pada akhirnya meletus dalam bentuk pemberontakan Trunajaya tahun 1674, ketika ia menyerang dan menguasai pesisir utara, kemudian Surabaya. Dalam waktu singkat, Trunajaya berhasil mengumpulkan dukungan dari para penguasa lokal, pasukan Makassar eks Gowa, hingga orang-orang pesisir yang kecewa dengan sentralisasi Mataram.

Menurut laporan Piero, seorang utusan Belanda, pada 10 Februari 1675, Raden Trunajaya – yang kala itu telah menyandang gelar Panembahan – menyatakan pernah menjalin perjanjian dengan Pangeran Adipati Anom, putra sulung Amangkurat I. Perjanjian ini, kemungkinan terjadi pada tahun 1670–1671, ditafsirkan sebagai awal dari sebuah koalisi oposisi terhadap raja Mataram. Namun, janji tersebut tak ditepati. Diduga kuat, sang putra mahkota memilih berdamai kembali dengan ayahandanya setelah serangan pertama pasukan eksil Makassar terhadap Gresik dan Surabaya berakhir gagal pada awal 1675 (Daghregister, 20 April 1675).

Dalam konteks ini, Trunajaya bergerak cepat. Ia memberikan kemanakannya – seorang putri bangsawan Madura – kepada Kraeng Galesong sebagai istri. Pernikahan ini tak hanya simbol ikatan darah, tetapi juga kontrak militer-politik: Galesong harus menaklukkan Gresik dan Surabaya untuk kepentingan Trunajaya. Dari perkawinan ini lahirlah seorang anak pada Januari 1677, sehingga ikatan tersebut kemungkinan telah terjalin sejak akhir 1675. Tindakan ini menunjukkan bahwa konspirasi tersebut telah matang sebelum tahun 1676, dan bukan insiden mendadak.

Namun pemberontakan ini bukan semata ambisi pribadi. Ia lahir dari kontradiksi internal dinasti, marginalisasi bangsawan daerah, dan pembusukan kekuasaan pusat. Persekutuan Raden Mas Rahmat dengan Trunajaya adalah hasil logis dari sistem politik yang disfungsional. Ketika Keraton sudah tak lagi menjadi pusat legitimasi moral, maka alternatif yang lahir adalah revolusi. Dan di sinilah, dalam bayangan persekutuan Kajoran, sejarah berubah arah.

Konspirasi dan Takdir Jawa

Persekutuan antara Raden Kajoran, Raden Mas Rahmat, dan Raden Trunajaya adalah momen penting dalam sejarah Jawa. Ia menandai berakhirnya supremasi absolut Mataram dan awal dari zaman baru kekuasaan yang lebih terfragmentasi dan terbuka terhadap campur tangan asing. Trunajaya, dalam semua pergolakan dan pengkhianatannya, adalah anak zaman—lahir dari penindasan dan dijadikan alat oleh kekuatan yang lebih besar darinya.

Dan akhirnya, ketika sebagian Mataram luluh oleh perang saudara, ketika bara membakar keraton dan darah mengering di tanah istana, Kajoran dan Trunajaya digiring ke penghabisan. Raden Mas Rahmat, putra mahkota yang lama terpinggirkan, pun naik takhta di atas puing dan pengkhianatan.

Namun sejarah tak semudah itu menghapus jejak. Meski riwayat mereka berakhir di tiang eksekusi dan ujung pedang, nama Kajoran dan Trunajaya tetap bergema, menggema dalam lorong waktu Jawa. Mereka bukan semata pembangkang, melainkan juru cetak zaman—arsitek sunyi yang membentuk kembali wajah tanah ini dengan darah, dengan nyala, dan dengan bisikan ramalan para leluhur.