JATIMTIMES - Tepat pada Jumat Legi, 9 Mei 2025, Desa Purworejo, Kecamatan Sanankulon, Kabupaten Blitar, diselimuti nuansa khusyuk dan sakral. Warga dari berbagai dusun berjalan menyusuri jalanan berdebu menuju Makam Tiloro (Triroro), yang diyakini sebagai tempat peristirahatan tiga putri dari Mataram, sebuah kompleks pemakaman tua yang terletak di Kelurahan Blitar, Kota Blitar. Di sinilah prosesi wilujengan—selamatan desa—digelar sebagai bagian dari rangkaian panjang ritual Bersih Desa sekaligus peringatan hari jadi Desa Purworejo yang ke-315. Sebuah peristiwa spiritual, historis, dan budaya yang berpaut dalam satu garis takdir: ziarah mengenang asal-usul, syukur atas keberadaan, dan doa menjemput masa depan.
Bersih Desa sebagai Sakralisasi Sejarah Lokal
Baca Juga : Madura Sebelum Meledak: Sketsa Awal Pemberontakan Trunajaya (1670–1672)
Dalam pandangan masyarakat Jawa, tradisi bersih desa bukan sekadar hajatan adat, melainkan manifestasi spiritual yang menyeberangkan ingatan kolektif ke masa lalu, menjembatani hubungan antara yang hidup dan yang telah tiada. Kepala Desa Purworejo, Kalinggo Purnomo, menjelaskan bahwa ziarah dan wilujengan di Makam Tiloro merupakan bagian dari rangkaian acara bersih desa yang telah dimulai sejak awal Mei 2025 dan mencapai puncaknya pada hari ini. “Kegiatan ini kita wilujengan dan ziarah ke makam para leluhur. Kita berdoa di Makam Tiloro sebagai wujud penghormatan kepada para pendahulu yang membabad alas, tiga putri dari Mataram. Di makam ini juga terdapat pusara Ki Kerto atau Mbah Pret, yang diyakini sebagai perintis Desa Purworejo pada tahun 1710,” ujarnya.
Dengan demikian, peringatan tahun 2025 menjadi titik penanda usia desa yang telah mencapai 315 tahun. Angka yang tak hanya menjadi hitungan waktu, namun juga simbol dari keberlangsungan sejarah lokal yang diwariskan secara turun-temurun. Bagi Kalinggo, ziarah ini tak hanya mendoakan para pendahulu desa dan perangkat yang telah wafat, namun juga menjadi ruang spiritual untuk memohon keselamatan, kesehatan, dan kesejahteraan seluruh warga.
Rangkaian Ritual yang Penuh Makna
Tradisi bersih desa di Desa Purworejo tahun ini tidak dilaksanakan hanya dalam satu malam. Dimulai dengan acara shoawatan di Dusun Gendong pada 3 Mei, dilanjutkan dengan doa bersama lintas agama di Gereja Kristen Abdil Saloom Pos Purworejo pada 4 Mei, yang menunjukkan inklusivitas spiritual masyarakat desa. Pada malam 5 Mei, giliran Dusun Centong menjadi tuan rumah wilujengan di rumah Kamituwo setempat. Pada 6 Mei, masyarakat mengadakan wilujengan di petilasan Tri Tingal—situs yang dipercaya sebagai tempat berdirinya awal Desa Purworejo. Tri Tingal merupakan tempat pertemuan tiga tokoh besar Tanah Jawa: Raden Kebo Kenanga, Syekh Siti Jenar, dan Sunan Kalijaga.
Ziarah dilanjutkan ke makam para kepala desa terdahulu yang telah meninggal, sebagai bentuk penghormatan terhadap jejak kepemimpinan masa lalu. Lalu pada Kamis, 8 Mei, wilujengan dilakukan serentak di seluruh wilayah desa, diakhiri dengan ritual mageri deso, yakni berdoa sambil mengelilingi seluruh penjuru desa sebagai simbol pagar gaib penjaga harmoni dan ketentraman. Acara dilanjut dengan ziarah dan wilujengan ke makam tiga putri Mataram di Tiloro.
Sebagai penutup, wayang kulit semalam suntuk oleh dalang Ki Anom Dwijo Kangko menjadi panggung simbolik yang merayakan pertautan antara warisan tradisi dan hiburan rakyat. Sebuah bentuk ekspresi budaya yang menjaga nyala api tradisi di tengah arus modernisasi.
Makam Tiloro: Simbol Kesatuan Wilayah dan Memori Sejarah
Namun yang membuat prosesi ini unik dan penuh makna adalah tempatnya: Makam Tiloro. Secara administratif, makam ini berada di Kelurahan Blitar, Kecamatan Sukorejo, Kota Blitar. Namun yang menarik, punden ini justru menjadi pusat spiritual tiga wilayah: Kelurahan Blitar dan Kelurahan Tlumpu (Kota Blitar), serta Desa Purworejo (Kabupaten Blitar). Dalam tubuh punden tua ini bersemayam jasad tiga putri Kerajaan Mataram abad ke-17: Roro Rayung Wulan, Roro Wandansari, dan Roro Bondan Palupi. Merekalah yang kemudian dikenal sebagai Triroro, atau dalam ejaan Jawa masa kini disebut "Tiloro"—tiga perempuan sakti yang, dalam banyak narasi lisan, diyakini membawa restu dan perlindungan bagi wilayah sekitarnya.
Nama mereka diabadikan dalam penamaan jalan-jalan utama di Kelurahan Blitar. Namun lebih dari sekadar identitas toponimi, makam ini telah menjadi jantung spiritual dan penanda sejarah bagi warga Purworejo dan sekitarnya. Di kompleks yang sama, juga terdapat makam Ki Kerto atau Mbah Pret, sosok prajurit Mataram yang dalam penuturan turun-temurun disebut sebagai pendiri Desa Purworejo pada 1710. Konvergensi tokoh bangsawan dan prajurit dalam satu ruang peristirahatan terakhir ini merepresentasikan simbiosis antara kuasa kerajaan dan perjuangan lokal yang menjadi fondasi berdirinya desa.
Kepala Desa Kalinggo menutup harapannya dengan doa agar seluruh warga Desa Purworejo senantiasa diberi umur panjang, rezeki yang berkah, serta kehidupan yang harmonis. “Semoga kita semua dalam lindungan Tuhan Yang Maha Esa,” ujarnya dengan nada yang penuh keyakinan.
Maka, dalam wilujengan di Makam Tiloro, kita menemukan bukan hanya ritual tahunan, tetapi juga penegasan identitas. Sebuah kesadaran historis bahwa masa lalu bukan sesuatu yang ditinggalkan, melainkan dijaga, dirawat, dan dihidupkan kembali agar masa depan desa senantiasa terang oleh cahaya leluhur dan berkah ilahi.
Dari sudut pandang historiografi, tradisi bersih desa ini adalah bentuk nyata dari sejarah yang hidup (living history). Ia tidak dibukukan dalam arsip formal negara, namun diwariskan melalui tutur, ritual, dan ruang. Penulis berpendapat, dalam kajian sejarah Jawa, diperlukan menekankan pentingnya membaca sejarah dari narasi-narasi mikro yang kerap tak tertulis dalam sejarah resmi. Dalam konteks Desa Purworejo, ziarah ke Makam Tiloro adalah bentuk rekonstruksi sejarah komunitas yang melibatkan ruang, waktu, dan ritus.
Baca Juga : Prabu Sri Suhita: Raja Wanita Tangguh di Tengah Kekacauan Majapahit
Melalui tradisi ini pula, kita dapat menelusuri relasi antara sejarah kerajaan (Kerajaan Mataram), penyebaran prajuritnya (Ki Kerto), dan dinamika lokal yang menjelma menjadi desa dengan identitas spiritual dan historis yang kuat. Dalam struktur sosial budaya masyarakat Purworejo, nilai-nilai ini tidak sekadar diperingati secara ritual, namun juga dijadikan landasan moral untuk membangun kehidupan bermasyarakat yang rukun dan berkelanjutan.
Bukan Sekadar Makam, Tiloro Diduga Situs Candi Kuno
Penelitian arkeologis terbaru di Kompleks Makam Tiloro, Kelurahan Blitar, Kecamatan Sukorejo, Kota Blitar, mengungkap temuan mengejutkan. Arkeolog dan peneliti sejarah, Gus Dian, menemukan indikasi kuat bahwa lokasi makam yang diyakini sebagai peristirahatan Tiga Putri Mataram—Roro Rayung Wulan, Roro Wandansari, dan Roro Bondan Palupi—dulunya merupakan tapak sebuah candi kuno.
Dalam ekspedisi pada bulan Juli 2024, Gus Dian bersama tim menemukan material arsitektur kuno, seperti bata tumang dan batu andesit besar, yang lazim digunakan pada konstruksi candi-candi di masa lalu. Ia menduga bangunan ini terkubur dan masih menyisakan fondasi di bawah permukaan. “Strukturnya tidak mungkin makam biasa. Ukurannya besar, dan orientasinya menunjukkan tata letak khas bangunan suci masa klasik,” jelas Gus Dian.
Salah satu indikasi kuat adalah keberadaan pohon beringin tua di tengah area makam. Menurut Gus Dian, dalam tradisi arsitektur Nusantara, pohon seperti ini sering tumbuh di bekas situs penting atau pusat bangunan spiritual. “Kami menduga, di bawah pohon beringin itu terdapat struktur utama candi yang runtuh atau dikubur seiring waktu,” ungkapnya.
Temuan ini menguatkan dugaan bahwa kawasan tersebut dulunya adalah tempat suci sebelum dijadikan area pemakaman oleh elite Mataram Islam. Namun, jenis candinya—apakah Hindu Syiwa, Buddha, atau Brahma—masih memerlukan kajian ikonografi dan stratigrafi yang lebih rinci. Gus Dian juga menekankan pentingnya pendekatan yang hati-hati dalam mengungkap tabir sejarah Tiloro. Jika penelitian berlanjut, fokus utama harus diarahkan pada pemetaan geologi, ekskavasi terbatas, serta pelibatan ahli epigrafi dan sejarawan lokal.
“Penemuan ini membuka babak baru dalam studi sejarah Blitar. Situs ini bisa menjadi jendela ke masa peralihan dari peradaban klasik ke era Islam Mataram,” tutup Gus Dian. Ia berharap pemerintah dan masyarakat bisa mendukung pelestarian serta penggalian lebih lanjut terhadap situs ini.
“Kita tidak sedang bicara sekadar makam, tapi kemungkinan besar sebuah jejak candi yang terlupakan. Ini warisan yang sangat berharga," pungkas Gus Dian.