free web hit counter
Scroll untuk baca artikel
Serba Serbi

Madura Sebelum Meledak: Sketsa Awal Pemberontakan Trunajaya  (1670–1672)

Penulis : Aunur Rofiq - Editor : A Yahya

13
×

Rencana Rilis PlayStation 6 Berpotensi Terungkap, Berkat Microsoft

Share this article
Stik Playstation
Ilustrasi Raden Trunojoyo, bangsawan Madura abad ke-17 yang memimpin pemberontakan besar melawan kekuasaan Mataram di bawah Amangkurat I. (Foto: Ilustrasi dibuat oleh JatimTIMES)

JATIMTIMES - Tahun-tahun menjelang meletusnya pemberontakan besar Raden Trunajaya terhadap Kesultanan Mataram menyimpan narasi yang kompleks dan penuh intrik politik. Di balik retorika pemberontakan dan kehancuran kerajaan, terdapat satu fase penting yang menjadi titik pijak kekuatan Trunajaya: kepindahannya ke Madura antara tahun 1670 hingga 1672. 

Masa transisi ini menjadi momen krusial dalam konsolidasi kekuasaan dan pembentukan jaringan patronase lokal yang kelak menjelma menjadi kekuatan militer dan politik menakutkan di tanah Jawa. Artikel ini membedah fase tersebut secara historis dan historiografis, menelusuri sumber primer dari Daghregister, arsip Kolonial Belanda, hingga laporan rahasia dan babad lokal.

Baca Juga : Prabu Sri Suhita: Raja Wanita Tangguh di Tengah Kekacauan Majapahit

Raden Trunajaya: Anak Pembuangan, Darah Madura, dan Cita-Cita Tertindas

Raden Trunajaya, tokoh muda keturunan Cakraningrat I, berasal dari garis keturunan bangsawan Madura yang telah dikucilkan dari tahta. Ayahnya, Raden Demang Melaya—putra Raden Prasena alias Cakraningrat I—tewas dalam konflik istana. Trunajaya kecil hidup dalam pelarian dan pengawasan. Ketika remaja, ia menjalin hubungan rahasia dengan putri pamannya yang membuatnya terancam hukum adat. Perlindungan dari rakyat Madura dan simpati dari pengikutnya membawanya ke pengasingan yang lebih tinggi: ke lingkungan istana putra mahkota Mataram, Raden Mas Rahmat.

Di sini, permainan politik halus terjadi. Para abdi putra mahkota, yang telah disuap oleh Cakraningrat, membiarkan Trunajaya masuk ke dalam orbit kekuasaan. Namun bukan Raden Rahmat yang pertama menyadari potensi pemuda ini, melainkan Raden Kajoran. Kajoran, dengan indra mistiknya, mengangkat Trunajaya sebagai menantu dan mempersiapkannya menjadi pion utama dalam takdir sejarah yang baru.

Babad dan Serat Kandha menggambarkan momentum historis ketika Kajoran memperkenalkan menantunya kepada sang putra mahkota. Narasi ini penting, karena ia bukan sekadar temu muka politis, melainkan konvergensi antara agenda spiritual, balas dendam politik, dan kalkulasi masa depan dinasti.

Kajoran menjelaskan kepada Raden Rahmat bahwa menantunya akan menjadi wakil yang pantas untuk memimpin Madura. Ia memintanya dibekali dana, pakaian, dan alat-alat perang. Rahmat menyetujui. Bahkan, menurut Serat Kandha, ia menjanjikan pengangkatan Trunajaya sebagai tumenggung. Ia akan dibiayai penuh dan diberi kuasa untuk membujuk rakyat pesisir dan Madura agar tidak tunduk kepada Cakraningrat.

Narasi ini menunjukkan bahwa dari awal Trunajaya bukan aktor lepas kendali, tetapi bagian dari rancangan besar persekutuan antara Kajoran dan Rahmat untuk membendung otoritarianisme Sunan Amangkurat I, dan membuka jalan bagi pergantian kekuasaan.

Dalam diskursus Raden Kajoran, persekutuan ini dilandasi keyakinan spiritual: “Telah menjadi kehendak Yang Maha Esa bahwa Mataram sudah tua dan akan musnah.” Maka, jika kemusnahan adalah keniscayaan, maka peran manusia adalah mempercepat datangnya keruntuhan yang bersifat ilahiah.

Raden Trunajaya didoktrin untuk menjadi raja Surabaya, bahkan jika itu akan membangkitkan kemarahan pusat. Menurut Serat Kandha, jika saatnya telah tiba dan terjadi kekacauan di istana, ia akan menghancurkan keraton atas perintah putra mahkota sendiri. Sebuah pernyataan yang penuh paradoks, karena mengindikasikan bahwa Trunajaya, meskipun pemberontak, adalah bagian dari rencana rahasia elit Mataram sendiri. 

Menurut sumber primer Belanda (Jonge, Opkomst), Trunajaya menyebut dirinya sebagai putra Raden Damang Malaya, anak Cakraningrat I. Ibunya, menurut Palmer, adalah seorang selir, tetapi Rouffaer menyebutnya sebagai permaisuri (garwa). Silsilah ini didukung sumber Jawa dan Madura, yang mengaitkannya dengan garis Sunan Giri melalui Nyi Ageng Sawu.

Namun Trunajaya kecil tersingkir dari jalur suksesi, digantikan oleh pamannya, Cakraningrat II. Trauma ini tidak hanya melahirkan ambisi, tetapi juga pembenaran: bahwa haknya atas Madura dirampas secara sewenang-wenang oleh Mataram. Ketika memberontak, Trunajaya menyatakan kepada Komandan Belanda Couper bahwa ia memiliki hak atas Madura yang tidak bisa dicabut oleh siapa pun.

Perintah dari Raden Mas Rahmat jelas: Trunajaya harus kembali ke Madura, membujuk rakyat Sampang agar tidak menghadap ke istana, dan mengucilkan Cakraningrat. Ia juga diperintahkan untuk memengaruhi pesisir dan mancanegara—daerah-daerah yang tidak sepenuhnya loyal kepada pusat Mataram.

Di balik retorika penugasan ini, terlihat satu desain besar: pelemahan pusat kekuasaan Mataram melalui penggerusan legitimasi Cakraningrat dan pembentukan poros kekuasaan alternatif di pesisir utara. Ini adalah bentuk awal dari disentralisasi kekuasaan yang, dalam sejarah Jawa, selalu menandai kehancuran sebuah kerajaan besar.

Kepindahan ke Madura dan Insiden di Teluk Sampang (1670–1671)

Tanggal 19 Oktober 1671, sebuah laporan dari syahbandar Cina di Jepara membuka tabir kehadiran Trunajaya di Madura. Seorang Eropa, yang kemudian diketahui bernama Cornelis Francen atau "Kees", terbunuh secara keji di Teluk Sampang. Informasi ini, yang dikirimkan oleh seorang pedagang Cina bernama Kartisarana, menunjukkan bahwa aksi kekerasan yang melibatkan elemen bangsawan Madura mulai terjadi sebelum pemberontakan meletus. Francen disebut bukan warga negara mana pun, melainkan berasal dari Banda. Aksi ini dilaporkan telah dilakukan oleh "putra Pangeran Sampang" yang belakangan diketahui adalah Raden Trunajaya sendiri.

Pembunuhan ini menunjukkan bahwa Trunajaya telah memegang kendali kekuasaan de facto di wilayah barat Madura pada awal 1671. Tak satu pun dari pelaku dihukum, bahkan dua perempuan yang menjadi saksi justru disekap di istana. Upaya Residen Jepara untuk memperoleh keterangan lebih lanjut gagal, dan penguasa Madura saat itu, Panembahan Sampang, memilih bungkam. Kesunyian ini adalah isyarat bahwa kekuasaan pangeran resmi telah digeser oleh kekuatan baru yang lebih berani dan tak terkontrol: Trunajaya.

Jaringan Kekuasaan dan Landasan Pemberontakan di Pamekasan

Dalam dokumen lain yang disusun oleh Laksamana Cornelis Speelman, dicatat bahwa Trunajaya membangun basis pemberontakannya di Pamekasan, wilayah tengah Pulau Madura. Di sana, ia memperoleh dukungan penuh dari masyarakat lokal. Tokoh bernama Wiranegara, yang pernah berkuasa di Pamekasan, serta anaknya Wiradipa, kemungkinan besar merupakan bagian dari jaringan patronase Trunajaya. Bahkan, dalam masa-masa genting tahun 1677, anak Wiranegara menyatakan sumpah setia kepada Speelman sebagai wakil Sunan, pertanda bahwa Pamekasan menjadi arena kontestasi politik yang penting dalam fase awal pemberontakan.

Pamekasan menjadi titik strategis karena letaknya di tengah pulau, memungkinkan Trunajaya memantau gerak lawan dan menggalang kekuatan dari timur hingga barat Madura. Dalam laporan rahasia Wangsantaka tahun 1677, disebutkan bahwa tokoh penting seperti Raden Mogatsari, bekas kepala daerah Pamekasan, ikut bergabung dengan Trunajaya di Kediri. Ini menunjukkan bahwa kekuatan Trunajaya bersifat trans-regional, melampaui batas-batas administratif lokal.

Benturan dengan Kompeni dan Tuduhan Perompakan (1672)

Situasi semakin panas pada Oktober 1672 ketika dua kapal dagang Belanda, Zalm dan Kruyskerke, tiba di Teluk Gresik dan diminta untuk menghadapi kapal-kapal perompak yang beraksi di sekitar pantai Madura. Tembakan senapan, korban luka, dan bahkan kematian mengiringi operasi militer kecil ini. Para perompak menunjukkan perlawanan sengit, membuktikan bahwa mereka bukan pelaku kriminal biasa. Para utusan Mataram yang ikut mencampuri kasus ini, bahkan menyampaikan terima kasih kepada Belanda atas bantuan mereka. Fakta bahwa perompak ini diyakini sebagai bagian dari jaringan kekuasaan Trunajaya mengindikasikan bahwa pemerintah pusat Mataram mulai menyadari skala ancaman yang dihadapi.

Peran Para Tokoh Bangsawan dan Fragmentasi Kekuasaan di Madura

Persaingan internal di antara bangsawan Madura menjadi bagian tak terpisahkan dari keberhasilan awal Trunajaya. Sampang, Pamekasan, dan Sumenep bukan hanya wilayah geografis, tetapi juga entitas politik dengan struktur aristokratis masing-masing. Dalam hal ini, strategi Trunajaya cukup cermat: membangun basis di Pamekasan yang relatif stabil, mendekati klan-klan yang kecewa pada Mataram, dan memanfaatkan ketegangan internal di Sumenep

Pada tahun 1677, ketika ekspedisi militer Speelman memusatkan perhatian ke Madura, ditemukan bahwa wilayah barat pulau itu dikuasai oleh Mas Aria Jayengpati. Ia berasal dari Sampang dan pernah menjabat sebagai kepala daerah Sumenep, kemungkinan besar juga merupakan bagian dari jaringan pendukung Trunajaya. Namun, tidak semua bangsawan Madura berpihak padanya. Tumenggung Yudanegara dari Sumenep tetap setia pada Mataram dan merupakan satu-satunya tokoh lokal yang mampu mempertahankan pengaruhnya setelah kejatuhan Trunajaya.Kesetiaannya berasal dari ikatan lama dan rasa benci terhadap Pangeran Cakraningrat II yang pernah menipu ayahnya. Yudanegara, yang di masa awal pemberontakan langsung menyatakan dukungannya kepada Trunajaya, menunjukkan bahwa konflik internal Madura juga menjadi pendorong utama mobilisasi kekuatan politik.

Laporan-laporan kolonial dan babad lokal menyiratkan bahwa Jayengpati menggantikan posisi Pangeran Anggadipa yang difitnah dan dilengserkan oleh Pangeran Sampang, kerabat Trunajaya. Anggadipa kemudian meninggal di Sumekar (Sumenep) dan dimakamkan di Sumengasta. Rangkaian peristiwa ini mencerminkan kompleksitas politik lokal Madura, di mana garis darah, fitnah, dan aliansi strategis memainkan peran penting.

Historiografi dan Tafsir Sejarah

Baca Juga : Wakil Forikan Sampang Buka Langsung Kegiatan Gemarikan

Dalam pendekatan historiografis, fase awal kehadiran Trunajaya di Madura harus dilihat sebagai pembentukan "negara dalam negara". Ia membangun jaringan kekuasaan alternatif yang menyaingi otoritas resmi Mataram. Pembunuhan terhadap Francen, operasi perompakan yang terorganisir, dan konsolidasi wilayah Pamekasan merupakan indikasi bahwa Trunajaya tidak hanya berambisi memerdekakan diri, tetapi juga membentuk pemerintahan tandingan.

Historiografi kolonial seperti yang terekam dalam Daghregister dan laporan resmi Belanda cenderung menyudutkan Trunajaya sebagai perompak dan pengkhianat. Namun, jika dibaca melalui perspektif lokal dan babad Madura, narasi ini berubah menjadi cerita tentang perlawanan, pembebasan, dan harga diri bangsawan lokal yang tersingkir oleh politik pusat Mataram.

Fase 1670–1672 adalah titik balik sejarah Jawa abad ke-17. Kepindahan Trunajaya ke Madura bukan sekadar pelarian, tetapi ekspansi kekuasaan. Dari Madura, ia melancarkan gerakan revolusioner yang mengguncang sendi-sendi kekuasaan Mataram hingga ke jantung istana di Plered.

Kisah tentang Raden Trunajaya menetap di Madura pada tahun 1670–1672 bukan hanya bagian kecil dari narasi besar pemberontakan. Ini adalah fondasi dari seluruh perlawanan yang terjadi setelahnya. Dengan membedah periode ini melalui dokumen kolonial dan babad lokal, kita memahami bagaimana kekuasaan tidak hanya dibentuk melalui legitimasi, tetapi juga melalui aksi nyata, keberanian, dan kemampuan membangun solidaritas politik di tengah keterpecahan elite lokal. Dari Teluk Sampang hingga Pamekasan, jejak Trunajaya menandai lahirnya seorang pemimpin yang mengubah arah sejarah Jawa abad ke-17.

Darah Bangsawan, Jiwa Pemberontak: Akhir Perjuangan Trunajaya

Pada 10 Februari 1675, seorang utusan Belanda bernama Piero mencatat sebuah pernyataan penting dari Raden Trunajaya, yang kala itu telah menyandang gelar Panembahan. Dalam laporannya kepada VOC, Piero menuliskan bahwa Trunajaya mengklaim pernah menjalin suatu perjanjian rahasia dengan Pangeran Adipati Anom (nama kecil: Raden Mas Rahmat), putra sulung dari Amangkurat I, Raja Mataram. Perjanjian ini diperkirakan terjadi sekitar tahun 1670–1671, dan diyakini sebagai cikal bakal terbentuknya koalisi oposisi terhadap kekuasaan raja yang semakin otoriter.

Namun, perjanjian itu tidak membuahkan hasil konkret. Putra mahkota—yang kelak naik takhta sebagai Amangkurat II—diduga menarik diri dari kesepakatan tersebut dan kembali berdamai dengan ayahandanya. Hal ini kemungkinan besar dipicu oleh gagalnya ekspedisi awal pasukan eksil Makassar dalam menaklukkan Gresik dan Surabaya pada awal tahun 1675, sebagaimana tercatat dalam Daghregister tertanggal 20 April 1675.

Melihat situasi yang berubah, Trunajaya mengambil langkah strategis. Ia menikahkan kemanakannya, seorang putri bangsawan Madura, dengan Karaeng Galesong, pemimpin pasukan eksil Makassar. Pernikahan ini bukan sekadar aliansi keluarga, tetapi juga merupakan bentuk kontrak militer-politik: Galesong berkewajiban menaklukkan Gresik dan Surabaya demi kepentingan Trunajaya. Dari pernikahan ini, seorang anak lahir pada Januari 1677, menunjukkan bahwa ikatan tersebut telah terjalin paling tidak sejak akhir tahun 1675.

Langkah-langkah ini membuktikan bahwa pemberontakan Trunajaya bukanlah sebuah gerakan spontan. Koalisi politik dan militer telah disusun dengan matang sejak beberapa tahun sebelumnya, memperlihatkan ketajaman strategi dan visi jangka panjang dari bangsawan Madura yang kelak mengguncang stabilitas Kesultanan Mataram.

Trunajaya, bangsawan muda dari Madura, bukanlah pemberontak biasa. Ia adalah menantu sekaligus murid Raden Kajoran, seorang ulama karismatik dari lereng Merapi. Dalam perjuangannya, Trunajaya tidak berjalan sendiri. Ia merumuskan kekuatan revolusioner yang menghimpun sentimen keagamaan, semangat nasionalisme lokal, serta kemarahan rakyat terhadap hegemoni VOC. Bersama Raden Kajoran, ia menyadari bahwa Kesultanan Mataram telah kehilangan legitimasi: bukan lagi representasi rakyat Jawa, melainkan telah menjadi instrumen kekuasaan kolonial.

Pemberontakan meletus pada tahun 1674. Dengan dukungan militer dari pasukan Madura dan laskar Makassar yang dipimpin Karaeng Galesong, Trunajaya melancarkan ofensif besar-besaran ke wilayah pesisir utara Jawa. Kota-kota strategis seperti Surabaya, Gresik, dan sebagian Jepara jatuh ke tangannya. Di puncak kekuasaannya, ia memproklamasikan diri sebagai Panembahan Maduretno, gelar simbolik yang menegaskan klaimnya sebagai raja tandingan Mataram.

Pemerintahan Trunajaya dibangun atas dasar koalisi yang luas—melibatkan bangsawan lokal, ulama, dan kelompok anti-Mataram. Ia bukan semata pemberontak, melainkan sebuah alternatif kekuasaan. Catatan Belanda menyebutkan bahwa rezimnya cenderung lebih stabil, mendapat simpati rakyat pesisir yang lama menderita akibat beban pajak tinggi dan korupsi birokrasi Mataram.

Kebangkitan Trunajaya mengguncang tatanan istana. Amangkurat I, penguasa Mataram, terdesak dan melarikan diri dari istana. Ia wafat dalam pelarian pada 1677. Putranya, Adipati Anom, kemudian naik takhta sebagai Amangkurat II dalam situasi yang amat genting. Demi menyelamatkan kekuasaan, ia menandatangani Perjanjian Jepara dengan VOC—memberikan konsesi wilayah pesisir dari Cirebon hingga Surabaya sebagai imbalan bantuan militer Belanda.

VOC segera bertindak. Mereka mengerahkan pasukan bersenjata modern, memanfaatkan taktik pengepungan, sabotase logistik, hingga pembunuhan tokoh-tokoh kunci. Kolaborasi antara VOC dan Mataram menjadi titik balik. Namun perlawanan tidak padam. Di Mojokerto, Kediri, hingga lereng Gunung Kelud, laskar Trunajaya tetap memberikan perlawanan sengit, memanfaatkan medan dan dukungan lokal.

Pertempuran klimaks terjadi di Bukit Selokurung, barat daya Gunung Kelud. Di benteng terakhir ini, Trunajaya mempertahankan wilayahnya dengan strategi gerilya dan pemahaman geografis yang unggul. Namun kekuatan gabungan VOC dan Mataram di bawah pimpinan Kapitan Francois Tack akhirnya menaklukkannya. Pada 27 Desember 1679, Trunajaya ditangkap hidup-hidup.

Ia dibawa ke Payak, Bantul, dan dihadapkan langsung kepada Amangkurat II. Yang terjadi bukanlah proses peradilan, melainkan eksekusi yang sarat balas dendam. Pada 2 Januari 1680, di depan para bangsawan dan pejabat tinggi, Amangkurat II sendiri menikam Trunajaya dengan keris Kyai Balabar hingga tembus punggung. Tubuhnya kemudian dipenggal. Menurut kisah lisan yang diwariskan turun-temurun, hatinya dikeluarkan dan dimakan mentah oleh pejabat istana, sementara kepalanya dijadikan alas kaki abdi dalem dan dihancurkan dalam lumpang batu.

Itu bukan sekadar kematian, tetapi pembinasaan simbolik. Sebuah teror politik terhadap siapa pun yang berani menentang kekuasaan feodal dan dominasi asing. Namun tindakan brutal ini justru menabalkan Trunajaya sebagai martir. Bukannya dilupakan, ia menjelma menjadi legenda perlawanan.

Hingga kini, keberadaan jasad Trunajaya tetap misterius. Tidak ada makam resmi yang diakui. Sebagian sumber menyebutkan jasadnya dibuang ke sungai; sebagian lain meyakini bahwa para pengikut setianya berhasil menyelamatkan dan menguburkannya secara diam-diam di lokasi yang dirahasiakan.

Dari ketidakpastian inilah, mitos Trunajaya tumbuh. Ia hidup dalam ingatan kolektif rakyat Madura dan Jawa bukan hanya sebagai tokoh sejarah, tetapi sebagai lambang perlawanan terhadap penindasan, kolonialisme, dan pengkhianatan elite terhadap rakyat. Trunajaya, dengan darah bangsawan dan jiwa pemberontaknya, tetap abadi sebagai simbol perjuangan yang tak padam.