JATIMTIMES - Pemberontakan Pulung yang meletus di wilayah timur Pulau Jawa pada tahun 1885 bukan sekadar letupan amuk massa yang spontan, melainkan cermin dari kerapuhan struktur kekuasaan kolonial dan kegagalan deteksi dini oleh aparat pemerintahan Hindia Belanda.
Reaksi penguasa kolonial terhadap pemberontakan ini —yang awalnya penuh pengabaian, lalu berubah menjadi paranoia politik dan sosial— mengungkapkan watak kekuasaan Belanda yang rapuh di hadapan konflik internal elite lokal dan sentimen rakyat pedesaan.
Baca Juga : Raden Kajoran: Sang Pemberontak Suci dari Tembayat
Pemberontakan tersebut terjadi di Desa Patik, sebuah wilayah kecil yang secara administratif masuk dalam wilayah Ponorogo, di bawah lingkup Keresidenan Madiun. Ironisnya, meskipun secara spasial terbatas dan keterlibatan massa tergolong kecil, pemberontakan ini menggores keresahan mendalam dalam benak elite kolonial di Batavia. Mereka menyadari, dalam waktu singkat, bahwa penguasa Belanda hanya minoritas kecil yang bertahan atas dasar kekuasaan simbolik dan birokrasi yang keropos, terutama di pedalaman Jawa Timur.
Penyangkalan Awal dan Politik Pengabaian
Sikap pertama pemerintah kolonial terhadap peristiwa ini sangat mencerminkan politik pengabaian. Pemerintah di Batavia, termasuk gubernur jenderal kala itu, tidak langsung menanggapi insiden yang terjadi. Mereka hanya menunggu laporan dari Residen Madiun, yang lamban menyampaikan informasi penting mengenai latar belakang, pelaku, dan tujuan pemberontakan. Hingga akhir Desember 1885, laporan dari Keresidenan Madiun bahkan belum juga tiba di Batavia.
Reaksi pasif ini menunjukkan bagaimana Batavia terbiasa melihat pemberontakan sebagai gejala lokal yang bisa ditangani secara administratif, bukan sebagai manifestasi kegagalan sistemik. Di sisi lain, kelambanan ini juga mencerminkan kepercayaan berlebih pada jaringan birokrasi lokal yang ternyata telah kehilangan kepekaan terhadap dinamika sosial di akar rumput.
Namun, semua berubah ketika opini publik Belanda mulai terguncang. Koran-koran dan masyarakat Eropa yang tinggal di Hindia Belanda menjadi panik begitu mendengar kabar bahwa para pemberontak hendak membantai semua orang Eropa dan merangkul para priyayi serta orang-orang Tionghoa untuk bergabung dalam gerakan tersebut. Ketakutan akan pengkhianatan dari dalam mengemuka: minoritas Eropa yang tadinya merasa aman, mulai merasa dikepung oleh rakyat yang mereka kuasai dan oleh elite lokal yang selama ini menjadi mitra administratif mereka.
Paranoia dan Kecurigaan terhadap Elite Pribumi
Kecurigaan kemudian tertuju pada keluarga Bupati Ponorogo, terutama sang bupati lama, Raden Adipati Ario (R.A.A.) Tjokronegoro. Meskipun ia sudah pensiun, Tjokronegoro masih dipandang sebagai penguasa de facto oleh masyarakat dan pejabat kolonial. Selama masa jabatannya, ia dikenal sebagai seorang "oude stempel"—gaya lama, keras, bahkan diktator—namun ia juga dipandang sebagai tokoh yang menjaga stabilitas sosial.
Tjokronegoro, menyadari posisinya terancam, segera berusaha mencitrakan loyalitas penuh kepada Belanda. Ia menegaskan kesetiaannya di hadapan Direktur Jawatan Sipil yang datang khusus dari Batavia untuk menyelidiki. Dengan tangan di dada berhiaskan Salib Orange Nassau—simbol kehormatan kolonial yang disematkan padanya—ia bersumpah bahwa tidak ada keterlibatan dirinya maupun keluarganya dalam gerakan tersebut. "Tuhan menjadi saksi! Seberapa pun beratnya, akan saya laksanakan. Saya telah diberi segalanya oleh pemerintah," ujarnya.
Namun, bayang-bayang kecurigaan tetap menggelayut pada putra tertuanya, mantan patih Ponorogo, yang secara politis telah dilangkahi dalam proses suksesi. Sang Patih, yang dikenal memiliki banyak musuh, mengundurkan diri ketika adiknya diangkat menjadi bupati menggantikan sang ayah. Meski ia membantah keterlibatan dan justru mengajukan permohonan kepada pemerintah pada 1884 untuk bertugas kembali di kabupaten atau keresidenan lain, tuduhan terhadapnya tetap mencuat sebagai bagian dari kecurigaan sistemik terhadap elite lokal.
Meski akhirnya direktur jawatan sipil menilai mantan patih tersebut sebagai orang yang bersih, posisi politiknya telah diguncang. Direktur bahkan membujuknya untuk berdamai dengan ayah dan adiknya secara publik, suatu rekonsiliasi simbolik yang disaksikan langsung oleh masyarakat, demi meredakan ketegangan politik di tingkat elite lokal.
Skandal Pejabat Kolonial: Ketakutan, Kelambanan, dan Pembiaran
Reaksi Belanda tidak hanya terfokus pada elite pribumi, tetapi juga mengarah pada ketidakbecusan pejabat kolonial sendiri. Seorang kontrolir lokal, Ten Cate, menjadi sorotan setelah terbukti meninggalkan posnya ketika pemberontakan terjadi. Alasan yang diajukan—takut dibunuh karena pernah menyuruh membabat pohon jarak milik warga demi tanaman kopi pemerintah—justru menambah kemarahan rakyat dan menurunkan kredibilitasnya di mata penguasa kolonial.
Residen Madiun, Oudemans, tidak luput dari kecaman. Laporannya yang terlambat, kabur, dan minim informasi membuatnya disorot tajam oleh direktur jawatan sipil. Tuduhannya bahwa pemberontakan ini semata akibat frustrasi keturunan bupati lama dianggap terlalu menyederhanakan masalah dan mengabaikan realitas struktural seperti beban pajak dan ketegangan sosial yang sudah lama mengakar. Lebih parah lagi, ia hanya singgah beberapa jam di Ponorogo dalam perjalanan ke Pacitan dan tidak memberikan perhatian serius terhadap pemberontakan yang berpotensi meluas.
Baru setelah rumor menyebar bahwa akan ada pemberontakan susulan, Residen Oudemans menganggap persoalan ini serius dan mengirim laporan baru ke Batavia pada Desember 1885—nyaris bersamaan dengan kedatangan Direktur dari Batavia. Terlambat dan terkesan enggan bertanggung jawab, posisi Oudemans akhirnya dipertaruhkan.
Pada awal 1886, Gubernur Jenderal Van Rees dengan tegas mengumumkan pemecatan bagi pejabat-pejabat yang dianggap tidak kompeten. Residen Oudemans menjadi salah satu korban kebijakan pembersihan ini. Ia diberi opsi untuk mengundurkan diri secara terhormat dan menerima pensiun—suatu bentuk kompromi dalam tata kelola kolonial Hindia Belanda.
Akhir dari Penyelidikan: Rehabilitasi dan Refleksi Sistemik
Baca Juga : Poster Film Knock-Off Tampilkan Kim Soo Hyun, Langsung Tuai Pro-Kontra Netizen
Sementara penyelidikan tidak berhasil membuktikan keterlibatan langsung para wedana, letnan Cina, dan jaringan mata-mata polisi, rumor keterlibatan komunitas Tionghoa dari Kertosono dan daerah lain tetap mengemuka. Meski demikian, direktur menyatakan bahwa sulit untuk mengungkap fakta di balik “kelicikan orang Cina itu”, sebuah stereotip rasial yang umum di kalangan Eropa kala itu namun tetap mencerminkan kebuntuan intelijen Belanda di lapangan.
Akhir dari penyelidikan ini membawa konsekuensi penting. Beban pajak terhadap rakyat dikurangi sebagai bentuk kompensasi moral, beberapa pejabat kolonial kehilangan karier mereka, dan rekonsiliasi keluarga elite Ponorogo dilakukan untuk menjaga stabilitas. Terlepas dari itu semua, birokrasi kolonial kembali diperkuat dan diawasi lebih ketat oleh pemerintah pusat di Batavia.
Historiografi Pemberontakan Pulung
Dari sudut pandang historiografi, pemberontakan Pulung dan reaksi kolonial terhadapnya menunjukkan bagaimana kekuasaan kolonial pada dasarnya selalu berada dalam kondisi genting. Ia bertumpu pada kolaborasi semu antara elite lokal dan kekuasaan asing, namun keretakan dalam hubungan ini bisa dengan cepat menimbulkan kepanikan administratif, politik, bahkan militer.
Apa yang oleh Residen Madiun disebut sebagai keturunan bupati lama yang frustrasi ternyata lebih dari sekadar persoalan personal. Ia mengandung makna struktural mengenai ketimpangan, marginalisasi elite tradisional, dan ketegangan antara struktur kekuasaan tradisional dengan logika birokrasi kolonial. Dalam konteks inilah, pemberontakan Pulung menjadi lebih dari sekadar catatan kaki sejarah lokal: ia adalah cermin dari retakan sistem kekuasaan kolonial yang selalu bergantung pada ilusi stabilitas.
Bara di Lereng Wilis: Jejak Mesianis Pemberontakan Pulung
Di tengah sunyi lereng Pegunungan Wilis, tahun 1885 mencatat sebuah peristiwa getir: Pemberontakan Pulung. Di balik letupannya, tersimpan gejolak batin masyarakat pedesaan Ponorogo yang lama tertekan oleh cengkeraman pajak kolonial. Gerakan ini tidak sekadar perlawanan bersenjata, melainkan juga jeritan batin yang mencari keadilan lewat sosok mesianis: Ratu Adil.
Adalah Raden Martodimejo dan putranya, Raden Martodipuro—bangsawan keturunan Bupati pertama Ponorogo—yang memantik bara itu. Ketidakadilan ekonomi yang makin dalam, ditambah mitos turun-temurun tentang Ratu Adil yang akan menumbangkan penindasan, menjadi bahan bakar gerakan mereka. Di Distrik Pulung, mereka menggalang simpati, meyakinkan para petani bahwa saatnya telah tiba untuk menggulingkan kekuasaan kolonial.
Namun harapan seringkali tak sebanding dengan kenyataan. Upaya mereka berulang kali kandas karena kurangnya dukungan dan jaringan. Meski demikian, malam 2 November 1885 menjadi titik berangkat. Sekitar lima puluh orang, dengan tekad bulat namun persiapan minim, menyerang rumah Wedana Pudak dan kediaman Kontrolir Belanda. Beberapa bangunan dirusak, namun gaung perlawanan itu tak menggema lebih jauh. Masyarakat yang diharapkan turut bangkit, justru diam membeku.
Melarikan diri ke Desa Caper, rombongan disambut dengan makanan hangat dari kepala desa—suguhan yang diam-diam telah dicampur obat tidur. Dalam lelap yang tak terduga, mereka kemudian ditangkap di pemakaman Dowo tanpa sempat mengangkat senjata.
Kolonialisme merayakan kemenangannya tanpa denting peluru. Pemerintah Hindia Belanda menutup lembar perlawanan ini dengan menunjuk elite lokal sebagai kambing hitam. Mantan Bupati Tjokronegoro dan Residen Madiun Mr. Oudeman dianggap lalai, dan keduanya pun diberhentikan.
Dalam perspektif sejarah, pemberontakan ini tercatat sebagai bagian dari gerakan mesianis—seperti yang dikaji oleh Sartono Kartodirdjo. Ini adalah contoh perlawanan yang lahir dari frustrasi sosial, dibungkus mitologi, dan digerakkan oleh keyakinan akan keadilan ilahiah. Namun, tanpa jaringan luas dan infrastruktur komunikasi yang memadai, semangat itu padam sebelum sempat berkobar.
Pemberontakan Pulung mungkin kecil dan singkat, tapi ia meninggalkan jejak. Ia adalah bisikan dari pelosok Jawa bahwa harapan, meski sesaat tertidur di Dowo, tak pernah benar-benar mati. Seperti bara dalam abu, ia menanti waktu untuk kembali menyala.