free web hit counter
Scroll untuk baca artikel
Peristiwa

Diskusi Hari Kebebasan Pers Dunia, AJI Malang & Ilkom UM Soroti Relasi Kuasa dan Tantangan Jurnalisme

Penulis : Prasetyo Lanang - Editor : A Yahya

13
×

Rencana Rilis PlayStation 6 Berpotensi Terungkap, Berkat Microsoft

Share this article
Stik Playstation
Diskusi publik hari kebebasan pers sedunia digelar AJI Malang dan Prodi Ilmu Komunikasi UM.(Foto: Prasetyo Lanang/JatimTIMES)

JATIMTIMES - Jurnalisme mendapat tantangan serius di tengah perubahan zaman. Mulai dari kebebasan pers tak cukup dijamin undang-undang hingga kurangnya pendidikan masyarakat terhadap dunia pers. Hal ini mengemuka dalam diskusi peringatan Hari Kemerdekaan Pers Dunia yang digelar di Lantai 2 Perpustakaan Universitas Negeri Malang (UM), Senin (5/5/2025).

Diskusi publik tersebut diinisiasi Program Studi Ilmu Komunikasi UM bekerja sama dengan Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Malang. Diskusi bertema “Pers Merdeka, Demokrasi Terjaga” itu menyikapi hari kebebasan pers dunia atau World Press Freedom Day (WPFD) yang jatuh setiap 3 Mei. Dalam kesempatan itu, dosen Ilmu Komunikasi UM, Akhirul Aminulloh, menyoroti bahwa rendahnya tingkat pendidikan di Indonesia turut memperbesar ancaman terhadap kemerdekaan pers.

Baca Juga : AJI- UNESCO Berikan Training, Tingkatkan Pemahaman Persma Akan Tantangan Serta Resiko Digital

"Masyarakat sering dijadikan 'alat' oleh pemerintah untuk melanggengkan kekuasaan, termasuk dengan cara menekan pers," ujarnya, Senin (5/5/2025).

Ia menilai kebebasan pers belum berjalan baik karena masyarakatnya belum terdidik. Menurutnya, narasi penguasa masih dipercaya karena masyarakat belum punya daya kritis.

Akhirul menekankan pentingnya kualitas pemberitaan dibanding kuantitas. Media harus berani mengulik kasus-kasus tersembunyi di ruang kekuasaan, termasuk di lingkup kecil. Ia menyebut relasi kuasa bisa muncul dalam berbagai bentuk dan tingkatan. "Selama pendidikan dan kesejahteraan masyarakat belum diperbaiki, maka ancaman terhadap kemerdekaan pers akan terus ada," tambahnya.

Dirinya menyebut ancaman terhadap jurnalis bukan semata datang dari luar, tetapi juga dari dalam dunia politik yang kini banyak diisi oleh mantan jurnalis. Menurut Akhirul, banyak jurnalis masuk ke politik bukan karena idealisme memperjuangkan demokrasi, melainkan sebagai “diklat” menuju kekuasaan. 

"Selama media dan pers tidak mengganggu komponen kekuasaan, ya aman. Tapi ketika mulai merugikan, ancamannya muncul, dari intimidasi ringan hingga pembunuhan. Mereka yang pernah jadi jurnalis mungkin tahu lahan basah dan bisa mengendalikan jurnalis. Akhirnya pers dijadikan alat kekuasaan, bukan alat kontrol," katanya.

Ia juga mengkritik kondisi masyarakat yang masih mudah dipengaruhi hoaks dan narasi kekuasaan karena minimnya akses terhadap pendidikan bermutu. Seminar ini menjadi refleksi penting bahwa perjuangan kemerdekaan pers tak lepas dari agenda besar pendidikan publik yang mencerdaskan dan memberdayakan.

Baca Juga : Jalan dan Irigasi Tembakau: Jejaring Baru dari DBHCHT untuk Tani Blitar

Di tempat yang sama, Wahyu Nurdianto, anggota AJI Malang, menyoroti persoalan mendasar dalam kepemilikan media yang kerap terafiliasi dengan kepentingan politik. Kepemilikan media disebut masih berpengaruh terhadap independensi. "Jika pemiliknya berafiliasi dengan partai politik, maka isi beritanya akan baik-baik saja bagi kelompok mereka. Tidak bisa dipungkiri, meja redaksi masih sering ditelpon untuk mencabut atau mengubah narasi berita," ungkap Wahyu.

Ia menambahkan, survei terbaru menunjukkan 75,1 persen jurnalis di Indonesia pernah mengalami kekerasan, dengan 38 kasus tercatat pada Mei 2025 saja berdasarkan catatan AJI Indonesia. Ia juga menyoroti penurunan peringkat kebebasan pers Indonesia yang kini berada di posisi 127 dari 180 negara, menurut data terkini. "Pada 2023 kita di peringkat 108, lalu turun ke 111 di 2024, dan kini 127. Ini bukti bahwa iklim pers kita memburuk," tegasnya.

Menurutnya, tantangan ini tak bisa dilawan sendirian. Perlu sinergi antara jurnalis, akademisi, mahasiswa, dan masyarakat. Saat ini, justru netizen yang menjadi anjing penjaga demokrasi. Wahyu mengajak semua pihak untuk memperkuat peran pers dalam menjaga demokrasi. 

"Kebebasan pers adalah pilar utama demokrasi yang harus dijaga bersama. Tanpa pendidikan yang mencerdaskan dan media yang merdeka dari kepentingan modal, demokrasi hanya akan menjadi panggung milik segelintir elit," tandasnya.