JATIMTIMES - Setelah runtuhnya Perang Jawa (1825–1830), perlawanan terhadap kolonialisme Belanda tidak serta-merta padam. Meski kekuatan militer Jawa telah dihancurkan dan kepemimpinan Pangeran Diponegoro berakhir dengan pengasingan, bara perlawanan masih menyala dalam berbagai bentuk.
Seperti halnya di Surakarta, Yogyakarta pun menjadi arena perlawanan sporadis yang mencerminkan ketidakpuasan rakyat terhadap dominasi kolonial. Di artikel ini, kita akan mengupas sejumlah gerakan perlawanan yang terjadi di wilayah Yogyakarta pasca-1830, menelusuri jejak para pemimpinnya, serta melihat bagaimana pemerintah kolonial merespons gejolak yang terus muncul.
Syekh Prawira Sentana dan Pemberontakan Kulon Progo (1840)
Baca Juga : 7 Alasan Menakjubkan Daun Seledri Ampuh Turunkan Tekanan Darah
Salah satu pemberontakan terbesar pasca-Perang Jawa pecah pada Februari 1840. Gerakan ini dipimpin oleh seorang peranakan Arab bernama Syekh Prawira Sentana, yang bersekutu dengan seorang Tionghoa bernama Bung Seng.
Bung Seng, yang dikenal mengenakan pakaian ala Arab, menunjukkan bahwa pemberontakan ini melibatkan elemen-elemen lintas etnis. Dalam waktu singkat, mereka berhasil menghimpun sekitar 1.600 orang, sebagian besar berasal dari daerah Bagelen dan Tembayat—wilayah yang secara administratif masuk dalam lingkup Surakarta.
Momen pemberontakan ini dipilih dengan cermat. Para bupati dan pejabat tinggi kerajaan sedang berada di ibu kota Yogyakarta untuk menghadiri Garebeg Besar, sebuah perayaan penting dalam kalender Islam. Hal ini membuat otoritas kerajaan dan kolonial tidak dalam posisi siap menghadapi serangan mendadak.
Penduduk Kulon Progo, Pengasih, dan Sentolo—daerah di bawah kekuasaan Sultan Yogyakarta dan Paku Alam—bergejolak. Pemerintah kolonial pun segera merespons. Tumenggung Ranawinata, Kepala Distrik Nanggulan, berhasil mencapai posnya dengan membawa pasukan kecil. Meski hanya terdiri dari empat puluh orang, pasukan ini mampu menghadapi pemberontak dalam pertempuran sengit.
Kemenangan awal bagi pihak kolonial disusul oleh kedatangan pasukan tambahan yang terdiri dari prajurit-prajurit Paku Alam II. Setelah pertempuran besar, gerakan ini berhasil dipadamkan. Syekh Prawira Sentana berhasil melarikan diri, tetapi rekannya Bung Seng tertangkap.
Pemerintah kolonial menyadari bahwa menangkap Prawira Sentana bukan perkara mudah. Oleh karena itu, mereka menyebarkan selebaran berbahasa Jawa, menjanjikan hadiah 1.000 gulden bagi siapa saja yang dapat menyerahkannya—hidup atau mati.
Strategi ini membuahkan hasil. Syekh Prawira Sentana akhirnya tertangkap, bersama dengan dua orang Tionghoa lainnya, Tiok Bung Seng dan Tioa Tjak. Ketiganya kemudian dihukum mati, menandai akhir dari pemberontakan ini.
Perlawanan Sporadis di Tahun-Tahun Berikutnya
Setelah insiden 1840, Yogyakarta terus mengalami gejolak perlawanan, meskipun dalam skala yang lebih kecil dan sporadis.
Pada 1850, seorang pria bernama Cakra Lesana muncul di Nanggulan, mengklaim dirinya sebagai Raden Bagus Liya. Ia berusaha meyakinkan penduduk bahwa ia adalah raja yang sah.
Dengan kepiawaiannya dalam membangun jaringan, ia berhasil menjalin hubungan dengan kelompok-kelompok di Bagelen, Kedu, dan Surakarta. Namun, upayanya berumur pendek. Polisi pribumi berhasil menangkapnya, dan sebagai hukuman, ia diasingkan ke Banda selama lima tahun.
Dua tahun berselang, pada 1852, dua orang yang mengaku kerasukan roh nenek moyang ditangkap karena diduga hendak menggerakkan kerusuhan. Insiden ini menunjukkan bahwa perlawanan tidak hanya muncul dalam bentuk pemberontakan bersenjata, tetapi juga melalui ekspresi budaya dan spiritual yang menantang otoritas kolonial.
Pada 1861, sekelompok pendukung perlawanan dari kalangan rakyat jelata Yogyakarta mencoba menyusup ke perbatasan Bagelen dengan menyamar sebagai petani dan kepala desa.
Baca Juga : 5 Fakta Mengejutkan Tentang Dosis Aman Konsumsi Kunyit untuk Diabetes – Apa Kata Penelitian?
Mereka berupaya memicu kerusuhan, tetapi segera diketahui oleh para bupati Bagelen. Para bupati ini, yang telah berpihak kepada pemerintah kolonial, menawarkan bantuan kepada residen untuk menghancurkan gerakan tersebut sebelum berkembang lebih jauh.
Ketidakstabilan Yogyakarta di Dekade 1860-an
Pada 1860-an, pemerintah kolonial semakin khawatir dengan meningkatnya insiden-insiden kriminal dan perlawanan terselubung di Yogyakarta. Pada 1868, Menteri Tanah Jajahan P. Mijer mengajukan pertanyaan kepada Residen Yogyakarta A.J. Bosch: apakah tingginya angka kejahatan dan kerusuhan di wilayah ini berkaitan dengan kondisi ekonomi dan politik yang buruk?
Bosch memiliki pandangan yang berbeda dari rekannya di Surakarta. Ia mengakui bahwa jumlah perampokan pada 1867 memang menurun dibandingkan 1866, tetapi tetap lebih tinggi daripada dua atau tiga dekade sebelumnya. Ia menggambarkan situasi keamanan di Yogyakarta sebagai "tidak memuaskan secara mutlak", yang mencerminkan betapa lemahnya kontrol kolonial di daerah ini.
Salah satu alasan utama yang dikemukakan Bosch adalah struktur politik kepangeranan. Ia menyatakan bahwa satu-satunya cara untuk mengatasi ketidakstabilan ini adalah dengan menghilangkan sebagian besar kekuasaan para penguasa pribumi. Dengan kata lain, Bosch secara tersirat mendukung kebijakan intervensi langsung terhadap otonomi kesultanan dan kepangeranan.
Selain itu, Bosch menyoroti buruknya sistem kepolisian pribumi. Para polisi tingkat rendah menerima gaji yang sangat kecil, sehingga mereka mudah disuap. Akibatnya, banyak barang curian yang tidak terlacak, sementara benda-benda berharga sering kali lenyap dalam transaksi gadai ilegal.
Sebagai solusi, Bosch mengusulkan dua langkah utama: pertama, menambah jumlah pejabat Eropa yang ditempatkan di pedesaan untuk mengawasi pemerintahan lokal; dan kedua, menjadikan semua pejabat pribumi sebagai pegawai negeri kolonial agar mereka lebih tunduk kepada pemerintah Hindia Belanda daripada kepada penguasa lokal.
Bara yang Tak Kunjung Padam
Pemberontakan Syekh Prawira Sentana pada 1840 hanyalah salah satu dari sekian banyak bentuk perlawanan yang terjadi di Yogyakarta setelah Perang Jawa. Gerakan-gerakan sporadis ini mencerminkan ketidakpuasan rakyat terhadap pemerintahan kolonial dan sistem politik yang semakin menekan mereka.
Meskipun pemerintah Belanda berhasil meredam berbagai insiden, gejolak tetap muncul, menandakan bahwa ketidakadilan kolonial tidak pernah benar-benar diterima oleh rakyat. Bosch dan para pejabat kolonial lainnya mungkin menganggap bahwa solusinya adalah dengan menghapus kekuasaan pribumi, tetapi kenyataannya, semakin dalam mereka mencengkeram, semakin kuat perlawanan yang muncul.
Karena tanah ini, dengan segala luka dan ingatannya, tak pernah sepenuhnya tunduk. Di balik sunyi persawahan dan tembok keraton, ada bara yang tak padam—semangat bara api perjuangan Pangeran Diponegoro yang terus menjalar dalam bisik rakyat, dalam doa para petani, dalam amarah yang pelan tapi membara. Kolonialisme mungkin telah menang dalam catatan resmi, namun ia tak pernah bisa memadamkan ingatan yang hidup di antara celah-celah kehidupan sehari-hari.
Semakin dalam kekuasaan mencengkeram, semakin kuat pula akar perlawanan menyusup ke tanah. Tak selalu dalam bentuk senjata atau bentrokan terbuka, tetapi dalam keberanian untuk percaya: bahwa keadilan bisa diperjuangkan, dan bahwa Jawa, meski dilukai berulang kali, tidak akan pernah benar-benar takluk.