free web hit counter
Scroll untuk baca artikel
Hiburan, Seni dan Budaya

Syamsuddin Al-Wasil: Ulama Persia dan Jejaknya dalam Historiografi Era Jayabaya

Penulis : Aunur Rofiq - Editor : Nurlayla Ratri

13
×

Rencana Rilis PlayStation 6 Berpotensi Terungkap, Berkat Microsoft

Share this article
Stik Playstation
Makam Syamsuddin al-Wasil di Setana Gedong, Jalan Doho, Kota Kediri, menjadi saksi bisu perjalanan dakwah ulama besar asal Persia pada abad ke-12. (Foto: Aunur Rofiq/JatimTIMES)

JATIMTIMES - Di antara peninggalan sejarah spiritual di Nusantara, nama Syekh Syamsuddin al-Wasil menonjol sebagai seorang ulama besar dari negeri Rum (Persia) yang meninggalkan jejaknya dalam historiografi Jawa. Ia dikenal sebagai seorang cendekiawan Muslim abad ke-12, yang menurut catatan sejarah, memiliki kedekatan dengan Sri Maharaja Mapanji Jayabaya, raja terbesar dari Kerajaan Kediri.

Dalam inskripsi Setana Gedong, nama al-Wasil tercatat sebagai sosok penting dalam perkembangan spiritual di Kediri, sementara dalam historiografi Jawa yang tersimpan di Museum Nasional Jakarta, ia disebut sebagai seorang ulama besar yang memiliki kemampuan dalam ilmu falak (astronomi) dan nujum (ilmu ramal-meramal). Kedatangannya ke Kediri diyakini atas permintaan Raja Jayabaya untuk mendiskusikan Kitab Musyarar, sebuah kitab yang berisi pengetahuan esoteris yang mendalam.

Baca Juga : R.M. Dipoatmaja: Putra Diponegoro yang Memimpin Perang Jawa di Pacitan dan Madiun

Samsudin al-Wasil, sebagaimana diteliti oleh Prof. Dr. Habib Mustopo, seorang guru besar sejarah dari Universitas Negeri Malang, diyakini berasal dari Abarkuh, Persia. Jejaknya dalam penyebaran ajaran Islam di pedalaman Kediri menunjukkan peran sentral ulama asing dalam asimilasi Islam dengan budaya lokal di Jawa.

Prof. Dr. Habib Mustopo, dalam penelitiannya yang berbasis pada data historis dan arkeologis, menyimpulkan bahwa Syekh Syamsuddin al-Wasil adalah seorang ulama besar yang hidup pada abad ke-12, tepatnya pada masa kejayaan Kerajaan Kediri di bawah pemerintahan Sri Maharaja Mapanji Jayabaya. Keberadaan tokoh ini dapat ditelusuri melalui dua sumber utama: inskripsi di kompleks makam Setana Gedong di Kediri dan catatan historiografi Jawa yang tersimpan di Museum Nasional Jakarta. Nama "al-Wasil" ditemukan dalam inskripsi Setana Gedong, sementara nama "Syamsuddin" muncul dalam historiografi Jawa yang menyebutnya sebagai ulama besar yang berasal dari Negeri Ngerum atau Rum, yang dalam konteks abad pertengahan merujuk pada kawasan Persia. Kedatangan Syekh Syamsuddin al-Wasil ke Kediri bukan sekadar perjalanan seorang pendakwah biasa, melainkan merupakan bagian dari upaya penyebaran ilmu dan agama Islam di Nusantara. Atas permintaan langsung dari Raja Kediri, Sri Maharaja Mapanji Jayabaya, ia diminta untuk membahas Kitab Musyarar, sebuah teks yang berisi berbagai pengetahuan khusus, termasuk ilmu falak (astronomi) dan nujum (ilmu peramalan). Keberadaan Syekh Syamsuddin al-Wasil juga dikaitkan dengan Serat Jangka Jayabaya, naskah ramalan yang muncul pada abad ke-17 dan diyakini oleh masyarakat Jawa sebagai karya dari Sri Mapanji Jayabaya yang meramalkan masa depan Nusantara. Kehadiran ulama dari Persia ini menunjukkan adanya interaksi intelektual yang erat antara kerajaan-kerajaan di Jawa dengan jaringan ulama dunia Islam, khususnya dari Timur Tengah dan Persia, yang pada masa itu menjadi pusat utama perkembangan ilmu pengetahuan dan spiritualitas Islam.

Historiografi Jawa: Peran Ulama dalam Kerajaan Kediri

Dalam catatan historiografi Jawa, hubungan antara Sri Mapanji Jayabaya dan ulama besar dari Persia ini mencerminkan relasi antara raja dan guru spiritualnya. Tradisi semacam ini jamak ditemukan dalam kerajaan-kerajaan Hindu-Buddha di Nusantara, di mana seorang raja kerap memiliki penasihat spiritual dari kalangan Brahmana atau pertapa.

Dalam Kakawin Hariwangsa, yang ditulis oleh Mpu Panuluh, disebutkan bahwa Jayabaya adalah titisan Wisnu, yang datang untuk menyelamatkan Pulau Jawa dari kehancuran di Zaman Kali. Ia ditemani oleh seorang Bhiksu Pandhita-Adhikara, yang dalam beberapa interpretasi dianggap sebagai Syekh Syamsuddin al-Wasil.

Sajak dalam Kakawin Hariwangsa menggambarkan kedudukan Jayabhaya:

Hana deso lengong leyep longonya, i yawadwipo kosarnkhya nusa sasriy palupuy hyeng ogastyo ton hanol...

Yang dapat diterjemahkan secara bebas sebagai:

 Di sebuah negeri yang indah, Pulau Jawa, yang bagaikan kitab suci dari Agastya yang sakti. Negeri itu dilanda ketakutan, sehingga keindahannya lenyap. Kemudian, para dewa bersama Hyang Aswi memohon kepada Padmanabha untuk memperbaiki dunia. Dewa Hari pun turun ke sana dan menjadi seorang raja yang bijaksana, ditemani oleh seorang bhiksu yang sakti.

Menurut Prof. Dr. Poerbatjaraka, dalam karyanya Agastya in den Archipel, ia mengaitkan tokoh Bhiksu Pandhita-Adhikara dalam Kakawin Hariwangsa dengan resi Agastya, seorang bijak dalam tradisi Hindu. Namun, dalam interpretasi lain, ada kemungkinan bahwa Bhiksu Pandhita-Adhikara ini adalah Syekh Syamsuddin al-Wasil, yang disebut dalam berbagai sumber sebagai guru spiritual Jayabhaya.

Ilmu Perbintangan dan Karomah Sang Ulama

Dalam konteks perkembangan ilmu pengetahuan di Jawa, Syamsuddin al-Wasil dianggap sebagai ahli ilmu falak (astronomi) dan ilmu nujum (astrologi). Kemampuan ini membuatnya dihormati oleh Jayabaya, yang dikenal sebagai raja dengan visi kenabian dalam Serat Jangka Jayabaya.

Keberadaan kitab Musyarar, yang didiskusikan antara Jayabaya dan Syamsuddin al-Wasil, menunjukkan bahwa Islam dan kebudayaan Jawa saling bertukar pengetahuan sejak abad ke-12. Pengetahuan tentang perbintangan, metafisika, dan ramalan tidak hanya berkembang dalam tradisi Hindu-Buddha, tetapi juga diadopsi oleh pemikir Islam yang masuk ke Jawa.

Baca Juga : Pangeran Diponegoro II: Pewaris Perang Jawa yang Berjuang hingga Pengasingan

Dalam beberapa cerita tutur, Syamsuddin al-Wasil dikisahkan memiliki karomah (kesaktian) yang mirip dengan Rsi Agastya. Karomah ini diyakini mencakup kemampuannya dalam membaca tanda-tanda alam, meramalkan peristiwa besar, serta memberikan petunjuk spiritual kepada penguasa Kediri.

Setana Gedong: Makam Sang Ulama di Tanah Kediri

Setelah wafat, Syamsuddin al-Wasil dimakamkan di kompleks Setana Gedong. Saat ini, makamnya yang terletak di Jalan Doho, Kota Kediri, ramai dikunjungi oleh para peziarah, sebuah situs yang masih dihormati oleh masyarakat hingga saat ini. Kompleks ini awalnya berupa makam terbuka, sebelum kemudian dibangun oleh Bupati Kediri, Suryo Adilogo, yang hidup pada abad ke-16 dan merupakan mertua Sunan Drajat.Hal ini menunjukkan bahwa meskipun makam Syekh Syamsuddin telah ada sejak abad ke-12, bangunan makam yang ada saat ini kemungkinan besar berasal dari abad ke-16. Kompleks pemakaman Setana Gedong, tempat peristirahatan terakhirnya, menjadi bukti penghormatan yang terus berlanjut dari generasi ke generasi terhadap sosok ulama besar ini.

Keberadaan makam ini memberikan bukti bahwa pengaruh ulama Persia di Jawa tidak hanya terbatas pada dakwah, tetapi juga dalam pembentukan tradisi ziarah dan pemuliaan makam wali. Seperti makam para wali lainnya di Nusantara, Setana Gedong menjadi pusat spiritual bagi umat Islam di Kediri.

Selain itu, makam Eyang Sagalor di Ngantang, Kabupaten Malang, juga diyakini sebagai bagian dari jejak ulama Persia yang datang ke Jawa jauh sebelum masa Wali Songo. Keterkaitan makam ini dengan prasasti Hantang, yang mencatat kemenangan Jayabaya atas Raja Hemabhupati, semakin memperkuat hipotesis bahwa Islam telah memiliki akar yang kuat di Kediri sejak abad ke-12.

Jejak Ulama Persia dalam Sejarah Islam di Jawa

Dalam historiografi Islam di Nusantara, keberadaan ulama Persia seperti Syamsuddin al-Wasil menunjukkan adanya jaringan keilmuan yang luas antara Timur Tengah dan Nusantara. Kedatangannya ke Kediri pada masa Jayabaya membuktikan bahwa proses Islamisasi di Jawa telah dimulai sebelum era Wali Songo.

Meskipun rekonstruksi sejarahnya sulit dilakukan karena minimnya sumber arkeologis, catatan historiografi Jawa dan cerita tutur masyarakat menunjukkan bahwa peran ulama asing sangat besar dalam membentuk pemikiran spiritual para penguasa Jawa.

Seperti dalam legenda Syekh Subakir di Gunung Tidar atau Syekh Wasil di Gresik, Syamsuddin al-Wasil di Kediri adalah contoh bagaimana ulama Muslim dari Persia atau Timur Tengah memiliki peran sebagai pembawa ilmu dan spiritualitas yang diterima oleh para raja Jawa.

Jejaknya di Setana Gedong, Kitab Musyarar, dan Kakawin Hariwangsa menegaskan bahwa Islam dan budaya Jawa telah berinteraksi sejak era Hindu-Buddha, di mana ajaran Islam tidak hanya diterima sebagai ajaran keagamaan, tetapi juga sebagai ilmu pengetahuan dan kebijaksanaan spiritual yang memperkaya peradaban Nusantara.