free web hit counter
Scroll untuk baca artikel
Hiburan, Seni dan Budaya

Surasubrata dan Surat dari Madinah: Jejak Islam, Politik, dan Pemberontakan di Keraton Surakarta

Penulis : Aunur Rofiq - Editor : Nurlayla Ratri

13
×

Rencana Rilis PlayStation 6 Berpotensi Terungkap, Berkat Microsoft

Share this article
Stik Playstation
Ilustrasi Raden Mas Panji Surasubrata dan Raden Jayaprawira tengah merancang gerakan anti-kolonial di sebuah rumah joglo bangsawan Jawa, Sukawati, Sragen, tahun 1865. (Foto: ilustrasi dibuat oleh JatimTIMES)

JATIMTIMES - Surakarta di pertengahan abad ke-19 bukan hanya sekadar sebuah kerajaan bawahan Hindia Belanda yang tunduk pada perintah kolonial. Di balik kemegahan keraton dan kepatuhan politik para pangeran, sebuah bara perlawanan terus menyala dalam senyap. 

Peristiwa-peristiwa yang mengguncang istana bukan sekadar pertarungan politik biasa, tetapi juga bagian dari gelombang besar perlawanan rakyat terhadap kekuasaan kolonial yang semakin mencengkeram Nusantara.

Baca Juga : 4 Doa Ayah untuk Anak yang Dicontohkan Para Nabi

Gerakan ini bukan hanya lahir dari dendam atas kehancuran perang Jawa (1825-1830), tetapi juga dari keyakinan akan kebangkitan Islam dan ramalan-ramalan apokaliptik yang beredar di kalangan elite keraton dan para ulama. 

Nama-nama seperti Raden Mas Panji Surasubrata, Raden Jayaprawira, Mangkuwijaya, hingga pesan-pesan rahasia dari Madinah menggambarkan betapa keraton Surakarta menjadi pusat konspirasi yang tak bisa dianggap remeh oleh pemerintah kolonial.

Intrik dan Penangkapan di Madiun: Perjalanan Menuju Jerat Hukum

Pada saat yang hampir bersamaan dengan penyelidikan di Surakarta, di Madiun tengah berlangsung interogasi terhadap dua tokoh yang diduga terlibat dalam konspirasi anti-kolonial: Raden Mas Panji Surasubrata dan Raden Jayaprawira.

Surasubrata, seorang bangsawan berusia 32 tahun, adalah putra  Pangeran Natabrata, cucu dari Paku Buwana VII, dan juga saudara ipar Paku Buwana IX. Sementara itu, Jayaprawira merupakan mantan Wedana Bulu di Magetan. 

Awalnya, Jayaprawira hanya berniat mengunjungi makam leluhurnya di Sukawati, Solo. Namun, perjalanannya membawanya ke sebuah pertemuan dengan Surasubrata, yang kemudian mengubah nasib mereka berdua.

Dalam pertemuan itu, Surasubrata menunjukkan sebuah dokumen berbahasa Jawa yang berisi perintah Sultan agar rakyat mengusir Belanda dari tanah Jawa. Dokumen ini menjadi bukti kuat bagi pihak kolonial bahwa ada pergerakan bawah tanah yang sedang dirancang di lingkungan keraton.

Ketika ditangkap dan diinterogasi, Surasubrata awalnya menyangkal telah menunjukkan dokumen itu kepada Jayaprawira. Namun, dalam tekanan pemeriksaan, ia mengakui bahwa dokumen tersebut berasal dari Raden Panji Tuskara, seorang mantan letnan pasukan Sunan.

Tuskara sendiri akhirnya tak bisa mengelak. Ketika diperiksa di Solo, ia mengakui bahwa ia menulis dokumen itu atas perintah Surasubrata. Namun, ia berdalih bahwa tindakannya dilakukan di bawah ancaman dan tekanan utang yang belum dibayarnya.

Penyelidikan yang Mandek: Benang Merah yang Tak Terbukti

Meskipun Belanda telah menginterogasi berbagai pihak, mereka gagal menemukan kaitan langsung antara konspirasi Surasubrata dan rencana pemberontakan yang lebih besar di bawah Mangkuwijaya. Akhirnya, pada 1 September 1865, Residen Solo, Lammers van Toorenburg, melaporkan bahwa penyelidikan atas kasus ini telah berakhir tanpa bukti konkret yang mengarah pada perlawanan berskala besar.

Namun, situasi ini tak menghentikan Belanda untuk mengambil langkah tegas. Pada 4 November 1865, pemerintah kolonial mengeluarkan dekrit pengusiran Surasubrata dan Tuskara dari Jawa, sebagai langkah preventif untuk mencegah bangkitnya perlawanan lebih lanjut.

Sementara itu, penyelidikan terhadap Mangkuwijaya terus berlanjut. Dokumen-dokumen penting bertanggal AJ 1790 ditemukan di tangan Mangkuwijaya, memperkuat dugaan bahwa rencana pemberontakan telah dirancang sejak tahun 1861. Di berbagai daerah, terutama di Pekalongan dan Brebes, rumor tentang perang besar yang akan dimulai dari Solo semakin santer beredar.

Surat dari Madinah: Bayang-bayang Islam dan Perlawanan

Sekitar setahun setelah kasus Mangkuwijaya mencuat, Surakarta kembali diguncang oleh munculnya sepucuk surat misterius yang datang dari Madinah. Surat itu dibawa oleh Raden Mas Riya Kusuma, seorang anggota istana, kepada Residen Solo.

Isi surat tersebut menggemparkan:

Baca Juga : Heboh Mahasiswa UIN Malang Akui Perkosa Mahasiswi UB, Dicopot dari Jabatan Ketua Dema

"Tidak lama lagi, seorang wali yang menyamar sebagai santri akan tiba di Jawa. Jika jalur kereta api telah mencapai Solo, kerajaan Jawa akan lenyap. Zamannya orang-orang Belanda akan tiba."

Pesan itu tak hanya dikirimkan kepada Riya Kusuma, tetapi juga kepada Kiai Tapsir Anom, kepala penghulu Solo, serta Raden Ngabehi Ranggawarsita, pujangga istana yang merupakan cucu Yasadipura II, tokoh sastra besar yang diasingkan karena mendukung Diponegoro.

Surat ini menunjukkan betapa kuatnya pengaruh Islam dalam gerakan perlawanan saat itu. Seiring dengan meningkatnya jumlah jemaah haji ke Mekah setelah 1870, jaringan komunikasi antara ulama di Arab dan Nusantara semakin erat. Gagasan tentang kebangkitan Islam dan perjuangan melawan penjajah menjadi bahan bakar utama yang menghidupi perlawanan di Jawa.

"Besi yang Melingkar Jawa": Teknologi dan Ketakutan Kolonial

Di tengah ketegangan politik dan spiritual ini, muncul pula faktor baru dalam dinamika perlawanan: pembangunan jalur kereta api.

Bagi sebagian rakyat dan elite keraton, rel kereta api yang membentang melintasi Jawa bukan sekadar proyek modernisasi, melainkan sebuah tanda kehancuran kerajaan Jawa. Istilah "melingkarnya batangan besi di sekitar Jawa" menjadi metafora tentang semakin kuatnya cengkeraman kolonial atas tanah Jawa.

Hal ini sejalan dengan munculnya berbagai bentuk perlawanan yang semakin berani, termasuk propaganda seorang anak buta, putra seorang mantri di Kadipaten, yang mengaku sebagai inkarnasi Nabi Muhammad dan Imam Mahdi.

Dalam sebuah artikel di surat kabar Juru Mertani, dikisahkan bagaimana anak buta ini menjadi pusat perhatian, bahkan para pangeran istana pun datang kepadanya untuk meminta berkah. Residen P. Zoetelief segera bertindak, menangkap anak buta dan ayahnya, meskipun penyelidikan akhirnya menyimpulkan bahwa tak ada indikasi gerakan pemberontakan di balik fenomena itu.

Antara Takdir, Politik, dan Perlawanan

Gerakan perlawanan di Kepangeranan Surakarta pada pertengahan abad ke-19 bukanlah sekadar peristiwa sporadis. Ia lahir dari ketidakpuasan politik, warisan dendam dari Perang Jawa, serta keyakinan religius yang mengakar kuat di masyarakat.

Dari penangkapan Surasubrata dan Jayaprawira, konspirasi Mangkuwijaya, hingga pesan rahasia dari Madinah, semuanya menunjukkan bahwa gerakan anti-kolonial tak bisa dipisahkan dari tiga faktor utama: politik istana, jaringan Islam global, dan perubahan teknologi yang dianggap sebagai ancaman bagi keberadaan kerajaan tradisional.

Namun, Belanda tetap memainkan peran sebagai penguasa yang tak ingin bertindak gegabah. Ketika Residen Lammers van Toorenburg mendesak pengasingan tokoh-tokoh kunci, Gubernur Jenderal Sloet van de Beele menolak dengan alasan tak cukup bukti.

Pangeran Diponegoro memang telah ditangkap dan dipenjara. Tubuhnya dikurung di balik dinding benteng, tapi semangatnya tak pernah bisa dirantai. Api yang dinyalakannya dalam Perang Jawa belum padam, hanya berpindah tangan—menyusup ke dada para pewarisnya yang bergerak dalam senyap. 

Mereka bukan hanya bayang-bayang masa lalu, melainkan penerus yang terus menyulam perlawanan di balik tirai penjajahan. Dalam bisu dan diam, bara itu tetap dijaga. Sejarah pun kelak akan mencatat: bahwa perlawanan tak pernah mati—ia hanya bertransformasi, menunggu saatnya kembali menyala dan membakar penjajah dengan kobaran yang lebih besar.