JATIMTIMES - Tahun 1842 menjadi saksi bisu salah satu insiden paling mencolok dalam sejarah Surakarta pasca-Perang Jawa (1825–1830). Peristiwa ini bukan sekadar kaburnya empat raden dari keraton, tetapi juga cerminan dari ketegangan yang berakar dalam antara para bangsawan lokal dan pemerintahan kolonial Belanda. Lebih dari sekadar insiden pelarian, kejadian ini menunjukkan benih-benih perlawanan dalam lingkup internal istana yang selama ini tampak diam setelah Perang Diponegoro.
Peristiwa ini berawal dari desas-desus yang beredar di Pacitan bahwa beberapa pangeran Solo tengah menyusun rencana pemberontakan. Kabar tersebut semakin menguat setelah kunjungan sejumlah pangeran ke Pacitan, termasuk Prangwadana (yang kelak bergelar Mangkunagara II). Pihak Belanda, yang sejak kekalahan Diponegoro sangat waspada terhadap setiap gejolak politik di kerajaan-kerajaan Jawa, segera mengambil langkah untuk meredam situasi.
Baca Juga : 7 Ramuan Alami untuk Menurunkan Gula Darah dengan Cepat
Namun, insiden yang tampaknya hanya bersifat internal ini ternyata berkembang menjadi ancaman politik yang cukup serius. Keempat raden yang melarikan diri—Raden Panji Jaya Asmara, Raden Mas Arya Suradipura, Raden Mas Brata Atmaja, dan Raden Bagus Yatal—bukanlah bangsawan biasa. Mereka berasal dari trah utama dinasti Mataram yang masih memiliki pengaruh besar di kalangan elite keraton.
Latar Belakang: Keraton yang Terkungkung
Pasca-Perang Jawa, Kasunanan Surakarta mengalami kemerosotan signifikan dalam hal otonomi politik dan ekonomi. Perjanjian yang ditandatangani dengan pihak kolonial semakin mempersempit ruang gerak Susuhunan. Sementara itu, banyak bangsawan senior yang menyaksikan bagaimana hukuman berat dijatuhkan kepada mereka yang dianggap menentang pemerintahan kolonial.
Paku Buwana VII, yang naik takhta pada 1830, mewarisi posisi yang serba sulit. Kedaulatan raja hanya bersifat simbolis, dengan Belanda memegang kendali atas kebijakan politik dan ekonomi. Keuangan keraton bergantung pada subsidi dari pemerintah kolonial, yang membuat para pangeran semakin frustrasi terhadap keterbatasan mereka. Dalam konteks inilah, upaya pelarian empat raden ini menjadi lebih dari sekadar tindakan individu, melainkan bentuk protes terhadap sistem yang mengekang mereka.
Kaburnya Para Raden: Sebuah Skandal Istana
Pada malam 8 Agustus 1842, keempat raden tersebut secara diam-diam meninggalkan keraton bersama keluarga mereka. Skandal ini mengguncang istana, terutama karena mereka melarikan diri ke daerah yang cukup jauh dari pusat kekuasaan Surakarta. Mereka diketahui menetap di Tanjung, dekat Benteng Klaten, dengan sejumlah pengikut bersenjata.
Pada 12 Agustus, insiden ini semakin membesar ketika Raden Panji Jaya Asmara dan Raden Arya Kusumadinata (adik Pangeran Arya Mataram) turut melarikan diri bersama lima belas orang pengikutnya.
Paku Buwana VII merasakan tekanan besar dari peristiwa ini. Kekhawatiran akan pemberontakan baru yang bisa mengguncang kestabilan Surakarta membuatnya segera bertindak. Ia mengutus dua wedana untuk membujuk para pelarian agar kembali, dengan ancaman bahwa jika mereka menolak, mereka akan dibawa paksa—hidup atau mati.
Reaksi Kolonial: Langkah Cepat dan Tegas
Ketika laporan mengenai kaburnya para pangeran ini sampai ke Pejabat Sementara Gubernur Jenderal, P. Merkus, yang tengah berada di Salatiga, situasi menjadi semakin tegang. Di saat yang sama, Residen Surakarta J.F.T. Mayor diangkat kembali ke jabatannya untuk menangani masalah ini.
Merkus, yang memahami bahwa pergerakan militer secara terbuka bisa memicu keresahan rakyat, awalnya menolak mengerahkan pasukan. Namun, tekanan dari pihak Susuhunan membuatnya menyetujui pengiriman pasukan kecil ke Klaten untuk mencari para buronan tersebut. Kapten Kavaleri J.J. Nolten, komandan pasukan Naga Pengawal pribadi Sunan, ditugaskan untuk menindaklanjuti insiden ini dengan mengerahkan 25 pasukan berkuda.
Pada 14 Agustus, laporan dari Kolonel H.E. Buschkens memastikan bahwa keempat raden telah ditangkap dan dibawa kembali ke Solo setelah perjalanan berkuda selama delapan jam. Sementara itu, Pangeran Arya Kusumadinata masih tetap dalam pelarian.
Penangkapan dan Dampak Politik
Baca Juga : Daihatsu Terios Tabrak Bengkel di Singosari: Telan Korban Jiwa, Pengemudi Bakal jadi Tersangka?
Setelah beberapa minggu dalam pelarian, Pangeran Arya Kusumadinata akhirnya menyerahkan diri pada 1 September 1842. Hal ini terjadi setelah Residen Solo menyebarluaskan pernyataan yang menenangkan, meyakinkan sang pangeran bahwa tidak akan ada hukuman berat baginya.
P. Merkus merasa puas bahwa insiden ini dapat diselesaikan tanpa perlu pengerahan pasukan besar. Namun, ia tetap menyelidiki apakah ada unsur politik yang lebih besar dalam kasus ini. Dari laporan yang dikumpulkan, diketahui bahwa alasan utama kaburnya para raden adalah masalah keuangan. Mereka mencoba menekan kerabat mereka agar membantu memperbaiki situasi ekonomi mereka.
Meski demikian, bagi Belanda, peristiwa ini menjadi pengingat bahwa ketidakpuasan terhadap sistem kolonial masih berakar kuat di dalam keraton. Meskipun perlawanan terbuka telah dipadamkan sejak 1830, ketegangan internal dalam elite kerajaan tetap membara di bawah permukaan.
Sebagai hukuman, keempat raden diasingkan ke Ternate. Sementara itu, para pangeran senior yang diduga terlibat hanya menerima hukuman ringan berupa penjara selama tiga bulan. Keputusan ini menunjukkan bahwa Belanda tidak ingin menimbulkan keresahan lebih lanjut di kalangan bangsawan Surakarta.
Perlawanan yang Tak Pernah Padam
Insiden Solo tahun 1842 bukanlah sekadar skandal keluarga bangsawan. Peristiwa ini merupakan cerminan dari ketegangan yang terus berlangsung di Surakarta pasca-Perang Jawa. Para pangeran yang merasa terpinggirkan mencoba mencari jalan keluar dari keterbatasan mereka, meskipun akhirnya harus menerima konsekuensi berat dari tindakan mereka.
Bagi Belanda, peristiwa ini menjadi bukti bahwa kendali mereka atas kerajaan-kerajaan Jawa masih jauh dari stabil. Meskipun secara militer mereka telah menang dalam Perang Diponegoro, benih-benih ketidakpuasan masih bersemi dalam tubuh elite lokal.
Perlawanan di Surakarta, meskipun tidak selalu dalam bentuk pemberontakan terbuka, terus berlangsung dalam berbagai cara. Kaburnya para raden pada tahun 1842 hanyalah salah satu episode dari sejarah panjang perlawanan bangsawan Jawa terhadap sistem kolonial yang mengekang mereka. Bagian berikutnya akan mengungkap lebih jauh bagaimana gerakan-gerakan serupa terus berkembang di wilayah kepangeranan lainnya, menandai bahwa semangat perlawanan di tanah Jawa tak pernah benar-benar padam.
Tak ada damai sejati di tanah yang pernah dilukai; bara Perang Jawa terus berkobar dalam senyap.Ia sekadar bersembunyi di balik senyap, menyala pelan di dada para bangsawan yang terkekang, dalam istana yang dijaga ketat, di balik senyum para pangeran yang tak lagi punya kuasa atas tanah dan rakyatnya. Solo 1842 hanyalah satu percik kecil dari api besar yang masih menyimpan dendam dan harapan. Selama tanah Jawa masih menyimpan ingatan pada luka dan perlawanan, bara itu akan tetap menyala—tak selalu dengan teriakan, tapi cukup dengan langkah diam yang menantang, dan tekad yang enggan tunduk sepenuhnya pada penjajahan.