free web hit counter
Scroll untuk baca artikel
Hiburan, Seni dan Budaya

Tirai, Taplak, dan Takhta Priayi: Historiografi Akhir Kasus Brotodiningrat dalam Kemelut Madiun (1899–1901)

Penulis : Aunur Rofiq - Editor : Sri Kurnia Mahiruni

13
×

Rencana Rilis PlayStation 6 Berpotensi Terungkap, Berkat Microsoft

Share this article
Stik Playstation
Ketegangan memuncak di kantor Residen Madiun: ilustrasi R.M. Adipati Brotodiningrat, Bupati Madiun, beradu argumen dengan seorang pejabat Eropa. Adegan ini menggambarkan benturan kehormatan dan kekuasaan antara priyayi Jawa dan administratur kolonial Belanda, sebuah simbol resistensi halus dalam struktur pemerintahan Hindia Belanda akhir abad ke-19. (Foto: Ilustrasi dibuat oleh JatimTIMES)

JATIMTIMES - Pada suatu malam yang tenang di tanggal 6 Oktober 1899, sebuah peristiwa ganjil terjadi di Madiun, salah satu keresidenan penting di wilayah Vorstenlanden Jawa Timur. Rumah Residen Donner, pejabat kolonial tertinggi di daerah itu, menjadi sasaran pencurian. 

Namun bukan harta atau dokumen penting yang raib, melainkan justru tirai jendela dan taplak meja, benda-benda remeh namun sarat simbolisme. Peristiwa ini bukan sekadar insiden kriminal biasa; dalam kacamata Residen Donner, ia adalah sebuah pesan politis, sebuah penghinaan simbolik yang ditujukan langsung kepada dirinya oleh musuh tersembunyi dari kalangan elite bumiputra.

Baca Juga : Pemkab Malang Fokus Tingkatkan Kualitas Pendidikan, Wabup Lathifah: Perlu Adanya Pemerataan SDM

Donner, seorang pejabat Hindia Belanda yang telah lama mencurigai Bupati Madiun Raden Mas Adipati Brotodiningrat, segera menafsirkan pencurian tersebut sebagai tindakan subversif. Tirai yang hilang adalah tirai tempat ia biasa menikmati kopi pagi dalam balutan baju tidur, sebuah kebiasaan personal yang kini terasa terintip dan dilecehkan. Dalam atmosfer kolonial yang sarat kecurigaan, peristiwa kecil semacam ini bisa menjadi detonator krisis besar, dan itulah yang terjadi di Madiun.

Selama bulan Oktober 1899, serangkaian pencurian menimpa rumah-rumah orang Eropa di Madiun. Kejadian-kejadian ini segera memunculkan desas-desus tentang meningkatnya kriminalitas, keruntuhan ketertiban sosial, dan bahkan ancaman terhadap kekuasaan kolonial. Donner memanggil Brotodiningrat dan menuntut penyelidikan. 

Sang bupati, dengan nada berdiplomasi, menyarankan langkah-langkah administratif: registrasi seluruh pelayan pribumi yang bekerja untuk warga Eropa serta pemasangan lampu penerangan di rumah-rumah mereka. Donner menolak dengan keras. Ia tak mau dianggap panik atau gagal mengendalikan situasi. Ia menuduh bupati memanipulasi keadaan dan menyimpan niat politik tersembunyi.

Dugaan itu diperkuat ketika Soeradi, seorang mantan narapidana yang kabur dari penjara, tertangkap dan mengaku sebagai pelaku pencurian. Barang-barang curian, termasuk taplak milik Residen Donner, ditemukan bersamanya. Brotodiningrat segera menutup kasus: ia mengklaim bahwa keamanan telah dipulihkan, dan bahkan mengusulkan penghargaan medali bagi beberapa polisi yang dianggap berjasa. Namun Donner tetap tidak percaya. Ia melihat ini sebagai rekayasa yang disusun untuk menutupi dalang sebenarnya, yaitu Brotodiningrat sendiri.

Pertanyaan penting muncul: apakah Soeradi melarikan diri sebelum atau sesudah pencurian di rumah residen? Informasi dari jaksa kepala menyebutkan bahwa Soeradi kabur setelah peristiwa itu. Donner yakin bahwa laporan Brotodiningrat adalah kebohongan sistematis yang menutupi jaringan kriminal yang lebih besar, berakar hingga ke pejabat kabupaten dan orang-orang kepercayaannya.

Penyidikan mulai merambah jauh ke jantung kekuasaan lokal. Nama-nama mencuat: pejabat irigasi yang disebut sebagai pemimpin tak resmi jaringan mata-mata dan polisi bayangan, pejabat candu, bahkan para priayi lainnya. Sosok bernama Kartorejo, mantan narapidana yang kini menjadi informan resmi dan digaji dari kas khusus kepolisian keresidenan, dituduh sebagai penghubung antara dunia hitam dan elite kekuasaan. Penggeledahan, penahanan paksa, dan pengakuan di bawah tekanan menjadi bagian dari strategi pengendalian yang dijalankan Brotodiningrat.

Donner kemudian menyusun laporan panjang yang mengusulkan pemecatan Brotodiningrat. Ia mengklaim bahwa rezim sang bupati telah melampaui batas kewenangan administratif, menjadi negara kecil dalam negara, dengan polisi, penjara, bahkan jaringan keagamaan dan guru spiritual yang tunduk pada kendali Brotodiningrat. Pemerintah kolonial di Batavia menerima laporan tersebut dengan penuh perhatian. Bupati Madiun akhirnya diberhentikan sementara dan diasingkan bersama keluarganya ke Padang, Sumatra Barat.

Namun kasus belum selesai. Penyelidikan berlanjut. Para saksi menghilang, informan kabur, dan ketegangan meningkat di kalangan priayi Madiun. Mereka menyadari bahwa operasi Donner bukan hanya menjatuhkan seorang bupati, tapi membersihkan seluruh sistem kekuasaan lokal yang telah mapan selama puluhan tahun. Beberapa pejabat mengundurkan diri, mengajukan cuti sakit, atau sekadar menghilang tanpa jejak. Maret 1900 menjadi momen krusial: lima bulan setelah pengasingan Brotodiningrat, laporan final Donner disampaikan ke Gubernur Jenderal, Konsili Hindia, dan Direktur Jawatan Sipil. Konklusinya: sistem pemerintahan Brotodiningrat telah menyatu dengan jaringan kriminal, dan tak dapat lagi dipertahankan.

Namun tidak semua pejabat kolonial sepakat. Dua pembela muncul: mantan atasan Brotodiningrat, Mullemeister, dan anggota Konsili Hindia, Hora Siccama. Mullemeister menggambarkan Brotodiningrat sebagai birokrat handal yang difitnah oleh Residen Donner. Hora Siccama, dalam sidang Konsili Hindia, menyatakan bahwa meski sang bupati mungkin bersentuhan dengan dunia kriminal, tidak ada bukti langsung bahwa ia memerintahkan pencurian.

Merasa difitnah dan diperlakukan tidak adil, Brotodiningrat menyusun dua pembelaan tertulis. Satu ditujukan kepada Gubernur Jenderal, dan satu lagi kepada Ratu Belanda. Ia menyatakan bahwa penyelidikan atas dirinya dilakukan in absentia, tanpa kehadirannya, dan penuh manipulasi oleh musuh-musuh lamanya, termasuk keluarga Bupati Magetan. Ia bahkan menyebut konflik lama terkait pembagian air irigasi sebagai akar ketegangan antara dirinya dan Donner.

Akhirnya, intervensi politik membuahkan hasil. Gubernur Jenderal Van der Wijck memutuskan untuk memensiunkan Brotodiningrat dengan hormat, memberikan pensiun tetap sebesar f 250 per bulan, serta mengizinkannya untuk kembali dari pengasingan. Secara lisan, Brotodiningrat diberitahu agar tidak menetap di Madiun atau daerah lain yang menjadi basis kekuasaannya. Ia memilih menetap di Yogyakarta, menutup karier birokratisnya dengan kegetiran seorang aristokrat yang terjungkal bukan karena korupsi kas, tapi karena perang simbol dan intrik kekuasaan lokal.

Baca Juga : Bukan Sembarangan, Ini Syarat Agar Bisa Menjadi Pengganti Paus Fransiskus

Kasus Brotodiningrat bukan sekadar kasus kriminal atau disipliner. Ia adalah potret kompleksitas kolonialisme di akhir abad ke-19: ketika kekuasaan lokal tak lagi sekadar alat dari pemerintahan kolonial, tetapi menjadi entitas mandiri dengan struktur birokrasi, jaringan sosial, bahkan legitimasi spiritual yang sulit diurai. Historiografi kasus ini mengungkap bukan hanya konflik antara residen dan bupati, tapi perang kepentingan antara kolonialisme modern yang mencita-takan birokrasi rasional, dan dunia priayi yang berakar pada patronase, loyalitas personal, dan kuasa simbolik yang diwariskan dari tradisi Jawa.

Donner mungkin menang dalam laporan, namun sejarah mencatat bahwa Brotodiningrat tetap dihormati di kalangan bumiputra sebagai simbol dari perlawanan senyap terhadap arogansi kolonial. Kasus ini menutup sebuah babak panjang hubungan kolonial-priayi di Jawa Timur, dan membuka jalan bagi bentuk-bentuk baru perlawanan politik yang lebih sistemik di abad ke-20.

Dari Sumoroto ke Madiun: Transformasi R.M.A. Brotodiningrat sebagai Bupati Jawa dalam Era Kolonial

Raden Mas Adipati Brotodiningrat lahir pada tahun 1849 dari keluarga bangsawan Sumoroto, hasil pernikahan politik antara Raden Tumenggung Brotodirjo, Bupati Sumoroto dan putri Pangeran Sinduseno, cucu Sunan Paku Buwana V. Sejak kecil, Brotodiningrat telah mewarisi dua garis darah agung: priyayi daerah dan trah keraton Surakarta. Namun, takdirnya tidak semata ditentukan oleh warisan darah, melainkan oleh kemampuan beradaptasi dengan dunia baru: birokrasi kolonial.

Ketika sang ayah wafat pada 1855, Brotodiningrat masih kanak-kanak. Ia dibawa ke Keraton Surakarta, tempat ia menempuh pendidikan dan formasi etika kebangsawanan, sekaligus dididik dalam sistem kolonial melalui sekolah Belanda dan Sekolah Pejabat Pribumi. Di sinilah ia belajar menyeimbangkan dua dunia: tradisi Jawa dan rasionalitas administratif Eropa.

Karier administratifnya dimulai sejak usia 17 tahun, saat ia menjabat sebagai magang mantri negeri di Madiun. Dalam tempo cepat, ia naik menjadi Wedana Magetan, lalu Bupati Sumoroto pada usia 19 tahun. Namun, pembubaran Kabupaten Sumoroto oleh pemerintah kolonial pada 1877 menandai awal transisi dari kekuasaan lokal berbasis kekerabatan menuju birokrasi mobilitas. Ia dipindah ke Ngawi, lalu ke Madiun pada 1885, menandai dirinya sebagai bupati karier sejati.

Di Madiun, Brotodiningrat mendapat dukungan Residen Mullemeister, yang mempromosikannya dengan gelar Adipati dan simbol kehormatan payung emas. Namun kariernya tak lepas dari konflik, seperti perseteruannya dengan Residen Donnerls. Ini menunjukkan ambiguitas posisi elite bumiputra: seorang pejabat kolonial yang tetap membawa warisan otonomi Jawa.

Brotodiningrat adalah representasi dari perubahan struktural dalam pemerintahan Jawa: dari bupati yang mewarisi jabatan secara genealogis, menuju pejabat profesional yang meniti karier melalui pendidikan dan penilaian kolonial. Ia menjembatani dua era—menutup zaman priyayi otonom dan membuka babak baru birokrat bumiputra dalam kerangka kolonial.

Dengan warisan simbolik sebagai bangsawan, namun loyalitas administratif kepada kolonial, Brotodiningrat adalah prototipe bupati abad ke-20: modern, terdidik, dan adaptif terhadap perubahan zaman.