Berbicara pendidikan seks yang ramai sampai saat ini, khususnya untuk kalangan anak-anak dan remaja, ternyata, memiliki sejarah panjang di pulau Jawa.
Dimana, sekitar abad ke-15, dibeberapa wilayah pulau Jawa, misalnya Banyumas atau Purworejo, pendidikan seks untuk anak-anak yang menginjak remaja, telah ada. Bahkan menjadi suatu tradisi yang cukup lama.
Tradisi nyantrik seks, begitulah orang-orang di masa itu menyebutnya. Atau dikenal luas dengan sebutan Gowok, yaitu tradisi pendidikan seks bagi anak-anak yang beranjak dewasa atau akan bersiap menikah.
Dalam Gowok, yang konon dari beberapa catatan yang ada, lahir seiring kehadiran Laksamana Cheng Ho ke Pulau Jawa pada tahun 1415. Tradisi ini dikenalkan seorang wanita bernama Goo Wok Niang. Dalam pelafalan masyarakat Jawa, nama Goo Wok Niang, berubah menjadi Gowok.
Gowok saat itu menjadi salah satu profesi terpandang. Dimana seorang perempuan, biasanya berusia antara 30-40 tahun, dan tidak memiliki status perkawinan, membuka praktik yang diperuntukkan untuk mengajari seorang anak yang beranjak remaja atau akan menikah, tentang berbagai seluk beluk seks dan pernikahan.
Bukan hanya sekedar teori, anak-anak yang nyantrik Gowok juga diajari praktik bersenggama. Untuk mengenali langsung seluk beluk tubuh wanita. Mulai dari bagian-bagian sensitif, hingga taraf hubungan seks. Mirip kamasutra di India.
Biasanya nyantrik Gowok bisa berlangsung sampai sepekan. Dimana anak-anak yang dititipkan oleh orang tuanya atau atas kesepakatan kedua belah pihak bagi anak yang akan menikah, akan belajar tuntas terkait hubungan seks.
Gowok disewa dan tentunya mendapatkan upah untuk menjadi guru anak-anak mereka. Biasanya orang tua akan mempercayakan anaknya pada Gowok langganan keluarga. Yakni, Gowok yang memang telah dipercaya mampu mengajari anak-anak mereka terkait pengetahuan seks. Sehingga di era itu satu Gowok bisa melayani dua atau tiga anak dalam satu keluarga.
Dalam karya novel Ronggeng Dukuh Paruk karangan Ahmad Tohari, praktik Gowok direkam dengan begitu baik. Begitu pula dalam buku Nyai Gowok karangan Budi Sarjono.
“Masa pergowokan biasanya berlangsung hanya beberapa hari, paling lama satu minggu,” tulis Tohari dalam bukunya.
“Satu hal yang tidak perlu diterangkan tetapi harus diketahui oleh semua orang adalah hal yang menyangkut tugas inti Gowok. Yaitu mempersiapkan seorang perjaka agar tidak mendapat malu pada malam pengantin baru,” lanjut Tohari.
Strata sosial Gowok yang terpandang, juga berdampak pada anak didiknya yang nyantrik. Biasanya setelah dianggap mahir terkait seks, sang anak akan punya status sosial yang lebih tinggi dan jadi rebutan wanita-wanita.
Bukan karena mahir berhubungan badan di ranjang saja, anak didik Gowok juga dipandang memiliki pengetahuan tentang dunia pernikahan dengan pasangannya. Mereka menjadi lelanangin jagad sejati dalam hubungan antara laki-laki dan perempuan.
Tradisi Gowok di abad ke-15, perlahan-lahan pudar dan akhirnya menghilang pada tahun 1960-an. Selain memang berbenturan dengan nilai-nilai agama, tradisi Gowok juga dipandang menjadi sesuatu yang bisa membahayakan sang anak-anak yang nyantrik. Maupun bagi pihak keluarga atau calon keluarga dari perempuan yang akan dinikahinya.
Pasalnya, banyak anak didik Gowok, akhirnya lebih memilih dan jatuh cinta pada sang gurunya. Padahal, untuk menjadi Gowok, salah satu syaratnya adalah tidak memiliki hubungan perkawinan.