free web hit counter
Scroll untuk baca artikel
Hiburan, Seni dan Budaya

Ki Ageng Pamanahan dan Restu Sunan Prapen: Benih Kekuasaan di Alas Mentaok

Penulis : Aunur Rofiq - Editor : Sri Kurnia Mahiruni

13
×

Rencana Rilis PlayStation 6 Berpotensi Terungkap, Berkat Microsoft

Share this article
Stik Playstation
Ilustrasi Ki Ageng Pamanahan dan Ki Ageng Giring di halaman Masjid Gedhe Mataram—dua tokoh utama dalam Babad Alas Mentaok, yang kelak melahirkan Dinasti Mataram atas restu spiritual Sunan Prapen dari Giri. (Foto: Ilustrasi dibuat oleh JatimTIMES)

JATIMTIMES - Dalam sejarah Jawa abad ke-16, terdapat suatu peristiwa monumental yang tak hanya bersifat simbolis, tetapi juga menentukan arah perkembangan politik, keagamaan, dan kebudayaan Jawa di masa-masa sesudahnya. 

Peristiwa itu adalah perjalanan Raja Pajang, Raden Jaka Tingkir atau Sultan Hadiwijaya, ke Giri, didampingi para bupati dari wilayah timur, termasuk Ki Ageng Pamanahan dari Mataram, untuk mendapatkan pengesahan kekuasaan dari tokoh yang dianggap sebagai otoritas spiritual tertinggi kala itu: Sunan Giri Prapen.

Baca Juga : DramaEncode, Tempat Terbaik untuk Nonton maupun Download Drama Korea dan China

Dalam peristiwa itu pula, diucapkan suatu ramalan oleh sang Raja Pendeta yang kelak terbukti mengubah peta kekuasaan di tanah Jawa. Bahwa keturunan Ki Ageng Pamanahan kelak akan memerintah seluruh rakyat Jawa, bahkan Giri pun akan tunduk padanya.

Peristiwa ini tercatat dalam berbagai sumber tradisional Jawa seperti Babad Tanah Djawi dan Serat Kandha, juga dalam laporan-laporan kolonial seperti Hageman dan Raffles. Namun antara narasi-narasi ini terdapat variasi penekanan, perbedaan interpretasi, bahkan perbedaan dalam penyebutan tokoh dan urutan peristiwa. Historiografi Jawa—yang sering kali merupakan hasil perpaduan antara fakta, mitos, legitimasi politik, dan spiritualitas—menyimpan makna simbolis dalam narasi penobatan Raja Pajang oleh Sunan Giri. Namun di balik simbol-simbol itu tersembunyi dinamika kekuasaan yang tajam dan keputusan-keputusan strategis dari elite politik dan agama yang membentuk Jawa modern.

Wilayah Giri, atau Giri Kedaton, sejak abad ke-15 telah berkembang sebagai pusat kekuasaan spiritual dan keagamaan yang memancarkan otoritas moral di seluruh Jawa. Didirikan oleh Sunan Giri, seorang tokoh utama dalam jajaran Walisongo, Giri tidak sekadar lembaga pesantren, melainkan tampil sebagai semacam "tahta bayangan" yang di mata masyarakat memegang hak prerogatif untuk menobatkan atau menurunkan raja-raja duniawi.

Posisi ini menjadikan Giri sebagai lembaga penentu legitimasi kekuasaan, sejajar bahkan sering kali melampaui kewibawaan kerajaan sekuler. Maka tidak mengherankan ketika Sultan Hadiwijaya dari Pajang—yang secara de facto telah diangkat oleh rakyat dan didukung para elit Demak—masih merasa perlu untuk memperoleh pengesahan dari Giri.

Sunan Giri Prapen (berkuasa sekitar 1545–1605) merupakan cucu dari Sunan Giri II dan keturunan langsung dari Syekh Maulana Ishaq, salah satu penyebar Islam terpenting di wilayah timur Nusantara. Ia bukan sekadar seorang pemuka agama, tetapi seorang Raja Pendeta—susuhunan spiritual yang memiliki pengaruh besar dalam melegitimasi kekuasaan duniawi. Oleh karena itu, meskipun kekuasaan Demak telah surut dan Pajang mulai bangkit di bawah kepemimpinan Raden Jaka Tingkir (kemudian bergelar Sultan Hadiwijaya), kekuasaan Giri tetap menjadi poros sentral dalam politik Islam Jawa.

Babad Tanah Djawi mencatat bahwa pada tahun 1503 J (1581 M), Sultan Pajang beserta seluruh bala tentaranya, termasuk para bupati dari wilayah timur seperti Japan, Wirasaba, Kediri, Surabaya, Pasuruan, Madiun, Sedayu, Lasem, Tuban, dan Pati, melakukan perjalanan menuju Giri. Dalam rombongan itu turut serta Ki Ageng Pamanahan dari Mataram. 

Mereka bermalam di penginapan-penginapan sementara di sekitar kawasan Giri. Ketika Sunan Giri Prapen keluar dari istananya, seluruh pengiring menyambut dengan takzim. Sultan Pajang lalu dipanggil mendekat dan diumumkan secara resmi sebagai Sultan Hadiwijaya dari Pajang oleh Sunan Giri.

Ini adalah momen yang penting secara politis dan religius. Pajang, yang sebenarnya telah muncul sebagai kekuatan baru pasca keruntuhan Demak, tetap merasa perlu untuk mendapatkan pengesahan dari Giri. Pengukuhan ini bukan hanya simbol, tetapi juga sarana memperoleh legitimasi moral dan spiritual di mata elite-elite Islam dan rakyat Jawa. Dalam budaya politik Jawa Islam abad ke-16, pengesahan kekuasaan oleh figur spiritual seperti Sunan Giri Prapen merupakan bentuk tertinggi dari legalitas.

Yang lebih menarik dalam peristiwa itu adalah kehadiran Ki Ageng Pamanahan, seorang bangsawan dan tokoh spiritual dari Mataram. Menurut Babad Tanah Djawi dan Serat Kandha, Pamanahan datang dengan kesopanan luar biasa. Ia tidak ingin mendahului yang lain, duduk di belakang, membungkus nasi dengan rapi, dan membersihkan tempat makannya. Tindakan-tindakan simbolik ini justru menarik perhatian sang Raja Pendeta. 

Sunan Giri Prapen kemudian memanggilnya, meminta agar ia duduk mendekat, dan mengucapkan ramalan yang kelak menjadi kenyataan: bahwa keturunan Ki Ageng Pamanahan akan memerintah seluruh rakyat Jawa, dan bahkan Giri akan tunduk pada Mataram.

"Keturunan Ki Gede Mataram kelak akan memerintah seluruh rakyat Jawa. Bahkan Giri pun akan patuh pada Mataram."

Ucapan ini tidak bisa dipandang sekadar ramalan spiritual. Dalam konteks politik Jawa kala itu, ramalan adalah bentuk penandaan terhadap nasib dan arah sejarah. Ramalan Giri itu seperti fatwa kenabian: ia menciptakan landasan spiritual bagi kemunculan dinasti baru, yaitu Dinasti Mataram. Dan memang, kurang dari tiga dekade kemudian, putra Ki Ageng Pamanahan—Panembahan Senapati—menjadi pendiri Kerajaan Mataram Islam yang menggantikan Pajang sebagai kekuatan utama di Jawa.

Namun narasi dalam Babad tidaklah tunggal. Hageman, dalam catatan kolonialnya, memberikan versi berbeda. Dalam versi ini, penekanan tidak terletak pada ramalan, melainkan pada momentum politik. Penguasa Pajang Sultan Hadiwijaya digambarkan duduk di atas gajah saat para bupati timur mengakui kekuasaannya. Panji Wiryakrama dari Surabaya bahkan ditunjuk sebagai wali negara. 

Sunan Giri Prapen tetap hadir, tetapi peran spiritualnya dikerdilkan. Ini bisa jadi akibat pendekatan rasionalistis Hageman, atau mungkin karena sumber-sumber Pajang lebih menekankan pada peran kekuatan politik duniawi. Namun ketidakhadiran ramalan dalam versi Hageman justru mempertegas bahwa narasi spiritual dalam Babad kemungkinan besar berasal dari lingkaran Mataram yang ingin menegaskan legitimasi mereka melalui restu Giri.

Tiga catatan lain menegaskan betapa aktifnya Giri dalam urusan Jawa Timur. Dalam Babad Sangkala tahun 1470 J (1548 M), dikisahkan bahwa Raja Giri pergi ke Kediri. Ini diperkuat oleh catatan Raffles dan Hageman yang menyebut tahun 1549 sebagai waktu kedatangan Raja Giri ke Kadiri, bahkan penaklukan Kediri oleh Giri tahun 1552. 

Tahun 1551, Daha (Kediri) dilaporkan terbakar habis, dan tahun 1577, adipati Kediri hilang setelah memeluk Islam. Tahun 1579, Kediri resmi menjadi pengikut Muhammad. Ini menunjukkan bahwa Giri tak hanya bertindak sebagai pemuka spiritual, tetapi juga penguasa militer dan politik aktif di kawasan timur.

Di balik ramalan Giri dan kesopanan Pamanahan, tersimpan ketegangan laten antara Pajang dan Mataram. Setelah kembali dari Giri, Pangeran Benawa, Putra Sultan Pajang dikisahkan sangat terkejut dan ingin segera ā€˜memadamkan bunga api’ yang sedang menyala, yakni potensi kebangkitan Mataram. Namun Sultan Hadiwijaya memilih menghindari konfrontasi langsung, menyadari bahwa melawan kehendak spiritual adalah melawan kehendak Tuhan.

Ramalan itu menjadi titik balik sejarah. Di Mataram, Pamanahan mengeluarkan empat peraturan penting, memperkuat basis kekuasaannya, dan menyiapkan jalan bagi anaknya, Danang Sutawijaya (Panembahan Senapati), untuk mengkonsolidasikan kekuatan. Narasi ini sangat penting karena menandai momen legitimasi awal Dinasti Mataram—bukan hanya dari kekuatan politik duniawi, tetapi dari restu spiritual tertinggi di Jawa kala itu: Giri.

Baca Juga : Atlet Gulat Kota Batu Boyong Lima Medali di Invitasi Cabang Olahraga Beladiri Tingkat Nasional

Perbandingan antara Babad Tanah Djawi, Serat Kandha, dan Hageman menunjukkan bagaimana historiografi Jawa dibentuk oleh kepentingan-kepentingan politik dan spiritual. Babad Tanah Djawi dan Serat Kandha, yang berkembang di lingkungan Mataram, menonjolkan simbolisme spiritual dan ramalan, sedang Hageman mencatat fakta politik secara lebih pragmatis. Namun justru perbedaan ini memperkaya pemahaman kita terhadap narasi sejarah Jawa.

Penulis berpendapat, narasi ini tidak cukup hanya dicatat, tetapi harus dianalisis dengan perspektif intertekstual dan kontekstual. Bahwa legitimasi kekuasaan di Jawa abad ke-16 tak hanya berasal dari darah dan pedang, tetapi dari restu para wali. Sunan Giri Prapen menjadi figur penting yang membingkai transisi dari Demak ke Pajang dan akhirnya ke Mataram. Sedangkan Ki Ageng Pamanahan, dengan kesantunan dan kecermatannya membaca situasi spiritual-politik, menanam benih yang kelak tumbuh menjadi kerajaan terbesar di tanah Jawa pasca Majapahit.

Ramalan itu hidup, bukan karena ia diucapkan, tetapi karena ia diyakini. Dan keyakinan itulah yang membentuk sejarah.

Sunan Prapen: Pendeta Tertinggi dari Giri dan Jejak Dakwah Islam Nusantara

Dalam sejarah Islam di Nusantara abad ke-16 hingga awal ke-17, sosok Sunan Prapen dari Giri Kedaton tampil sebagai pemimpin spiritual dan politik yang berpengaruh besar. Ia adalah cucu dari Sunan Giri (Raden Paku), ulama besar penerus ajaran Sunan Ampel dan pendiri Giri Kedaton, pusat dakwah Islam di pesisir utara Jawa Timur.

Sunan Giri Prapen, yang juga dikenal sebagai Susuhunan Parapen, tidak hanya melanjutkan tradisi keilmuan Giri, tetapi juga membawa peran Giri ke dalam jantung politik Nusantara. Berdasarkan naskah kuno Uit de overlevering van het geheiligde Grissee (KITLV H 141), garis suksesi Giri dimulai dari Sunan Dalem, lalu Sunan Seda Margi, dan kemudian dilanjutkan oleh Sunan Prapen.

Menurut tulisan Wiselius dan studi historiografi oleh GP Rouffaer, Sunan Prapen mulai memimpin Giri sejak sekitar 1553 hingga 1587, meskipun Rouffaer memperkirakan masa hidupnya bisa sampai 1605. Alasan utamanya adalah catatan pelaut Belanda Olivier van Noort yang pada tahun 1601 mengklaim bertemu seorang pendeta berumur 120 tahun di luar kota Gresik—yang diduga kuat adalah Sunan Prapen—dan menggambarkannya sebagai figur religius tertinggi di Jawa.

Puncak pengaruh Sunan Giri Prapen terlihat dari peristiwa penting pada 1581, saat Sultan Hadiwijaya dari Pajang melakukan kunjungan ziarah politik ke Giri Kedaton. Kunjungan itu bukan hanya simbol penghormatan spiritual, tetapi juga bentuk pencarian legitimasi suci dari seorang ā€œraja pendeta.ā€ Rombongan besar turut serta, termasuk tokoh-tokoh elite seperti Ki Ageng Pamanahan (Mataram) serta para bupati dari daerah penting di Jawa Timur dan Tengah.

Dalam tradisi Jawa, restu dari Giri memiliki nilai legitimasi lebih tinggi dibanding pengakuan politik biasa. Giri dipandang sebagai representasi otoritas moral Islam, dan Sunan Prapen adalah penjaga nilai-nilai itu. Maka, kehadiran Sultan Pajang ke Giri menjadi peristiwa religio-politik yang menandai pentingnya Giri sebagai episentrum kekuasaan spiritual.

Peran dakwah Sunan Giri Prapen tak berhenti di Jawa. Dalam Babad Lombok, Sunan Prapen disebut sebagai penyebar Islam ke Pulau Lombok, bahkan dengan pendekatan koersif yang menimbulkan ketegangan dengan kerajaan lokal. Raja Lombok kala itu terpaksa memindahkan pusat kekuasaan ke Selaparang sebagai bentuk resistensi terhadap dakwah Giri.

Sementara itu, dalam Kidung Pamancangah dari Bali, dikisahkan kedatangan utusan Islam yang membawa alat cukur sebagai simbol Islamisasi ke Raja Batu Renggong. Utusan itu ditolak, dan kisah ini menggambarkan bagaimana ekspansi dakwah Giri bertemu dengan batas kebudayaan lokal yang kuat mempertahankan identitas pra-Islam.

Pengaruh Giri bahkan menjangkau Sulawesi. Dalam kisah-kisah tradisional, Dato ri Bandang—ulama Minangkabau yang membawa Islam ke Makassar—disebut sebagai murid Susuhunan Giri. Ini menandakan adanya jejaring dakwah maritim dari Giri ke luar Jawa, menjangkau kepulauan Indonesia bagian timur.

Salah satu peristiwa penting yang menegaskan peran geopolitik Giri adalah keterlibatannya dalam konflik di Ambon. Tahun 1565, penduduk Hitu meminta bantuan Giri dalam menghadapi tekanan Portugis. Giri merespons dengan mengirim pasukan dari Jawa yang bertahan di sana selama tiga tahun dan mendirikan Cotta Java, sebuah basis pertahanan Islam. Meskipun gagal secara militer, peristiwa ini menandai peran aktif Giri dalam membela komunitas Muslim maritim di wilayah timur Nusantara.

Namun demikian, dalam historiografi kolonial dan narasi mainstream Islam Jawa, figur Sunan Prapen dan Giri Kedaton kerap tersisih oleh dominasi narasi Mataram Islam. Padahal, jika ditelusuri lebih dalam, peran Giri di bawah Sunan Prapen justru merupakan fondasi penting dalam penyebaran Islam dan konsolidasi kekuasaan spiritual yang berdampak lintas generasi.

Giri tidak hanya menjalankan fungsi pendidikan dan dakwah, tetapi juga menjelma sebagai lembaga yang menyediakan legitimasi moral bagi kekuasaan politik. Sementara Dinasti Mataram menekankan dominasi militer dan patronase istana, Giri menancapkan pengaruhnya lewat kekuatan simbolik, spiritual, dan jaringan keilmuan yang menjangkau jauh ke luar pulau.

Sebagaimana dicatat oleh penulis, kekuatan simbolik dan spiritual semacam inilah yang menjadi penopang jangka panjang dalam membentuk wajah peradaban. Sunan Giri Prapen, dalam hal ini, tidak hanya seorang ulama, tetapi juga arsitek besar Islamisasi pesisir yang melampaui batas-batas geografis dan budaya.

Giri Kedaton di bawah kepemimpinan Sunan Giri Prapen, dengan demikian, bukan hanya sebuah pusat pengajaran Islam, melainkan episentrum religius yang membentuk fondasi bagi arah sejarah Indonesia awal modern. Dari Gresik, cahaya Islam dipancarkan ke seluruh Nusantara—mewarnai kerajaan-kerajaan baru yang lahir sesudahnya dengan nilai-nilai yang bersumber dari mihrab Giri.