JATIMTIMES - Dalam lembaran sejarah Nusantara, terdapat tokoh-tokoh yang peranannya begitu signifikan namun kerap terlupakan. Salah satunya adalah Arya Wangbang Pinatih, seorang raja Muslim dari Lumajang yang jejaknya menembus batas geografis hingga ke Bali.
Kisahnya tidak hanya mencerminkan dinamika politik dan sosial pada masa transisi dari Kerajaan Singhasari ke Majapahit, tetapi juga menunjukkan peran penting Islam dalam pembentukan identitas budaya dan politik di Jawa Timur dan Bali.
Baca Juga : Kapan Batas Akhir Potong Kuku dan Rambut Bagi Yang Berkurban? Ini Penjelasannya
Latar Belakang Sejarah: Sri Kertanegara vs Arya Wiraraja
Pada akhir abad ke-13, Kerajaan Singasari mengalami gejolak politik yang berujung pada runtuhnya kekuasaan Sri Kertanegara akibat serangan mendadak dari Jayakatwang. Dalam situasi tersebut, Nararya Sanggramawijaya, menantu Sri Kertanegara, melarikan diri ke Madura dan mendapatkan perlindungan dari Arya Wiraraja, seorang tokoh penting yang sebelumnya menjabat sebagai Bupati Madura.
Dukungan Arya Wiraraja tidak hanya bersifat politis tetapi juga strategis, dengan membantu Sanggramawijaya membangun kekuatan baru di hutan Tarik yang kemudian dikenal sebagai Majapahit.
Arya Wiraraja memiliki dua putra yang berperan penting dalam pembentukan Majapahit: Arya Adikara Ranggalawe dan Arya Menak Koncar. Ranggalawe dikenal sebagai pemimpin yang berani dan berjasa dalam berbagai ekspedisi militer, termasuk melawan pasukan Tartar.
Namun, ketidakpuasannya terhadap pengangkatan Nambi sebagai Patih Mangkubumi oleh Sri Kertarajasa Jayawarddhana memicu pemberontakan yang berakhir dengan kematiannya di Tambak Beras. Sebagai seorang Muslim, Ranggalawe dimakamkan di Tuban, dan makamnya hingga kini dihormati sebagai situs ziarah.
Setelah kematian Ranggalawe, Arya Wiraraja menagih janji atas wilayah timur kerajaan, yaitu Lamajang Tigang Juru, yang meliputi Kerajaan Lamajang, Bayu, dan Wirabhumi. Permintaan ini dikabulkan, dan wilayah tersebut diberikan kepada Arya Wiraraja dan keturunannya. Setelah Arya Wiraraja wafat, tahta Lumajang diteruskan oleh putra keduanya, Arya Menak Koncar, yang menggunakan gelar Sri Nararya Wangbang Menak Koncar.
Jejak Arya Wangbang Pinatih: Islam, Perniagaan, dan Birokrasi Maritim di Timur Jawa dan Bali
Putra Arya Menak Koncar, Arya Wangbang Pinatih, meneruskan kepemimpinan di Lumajang. Pada masa pemerintahan Mahapatih Gajah Mada, yang terkenal dengan Sumpah Palapa-nya untuk menyatukan Nusantara, Arya Wangbang Pinatih turut serta dalam ekspedisi penaklukan ke Bali. Ekspedisi ini menandai awal mula kehadiran keturunan Arya Wangbang Pinatih yang tinggal dan menetap di Bali.
Dalam perjalanan sejarah kerajaan-kerajaan di Jawa Timur, nama Arya Wangbang Pinatih menempati posisi penting sebagai raja keempat Kerajaan Lumajang yang berakar dari dinasti Arya Wiraraja. Arya Wangbang Pinatih dikenal sebagai seorang Muslim dan penguasa yang memperkuat pengaruh Islam di Lumajang. Setelah wafat, posisinya digantikan oleh Arya Wangbang Pinatih II, yang kemudian meneruskan dinasti Muslim ini dalam situasi politik yang semakin kompleks.
Kisah dinasti Pinatih tidak hanya mencakup wilayah Lumajang, tetapi juga merentang jauh ke Gresik dan Bali. Salah satu tokoh yang erat dikaitkan dengan keturunan dinasti ini adalah Nyai Ageng Pinatih, saudagar perempuan kaya raya dan ulama wanita yang terkenal di Gresik.
Dalam berbagai tradisi lokal, Nyai Ageng Pinatih disebut sebagai keturunan Arya Pinatih dari Lumajang, menjalin hubungan darah dan spiritual dengan raja Muslim Lumajang tersebut. Bahkan, adik laki-laki dari raja Lumajang keempat ini, dikenal sebagai Syaikh Manganti atau Pangeran Arya Pinatih, menjadi tokoh penting dalam penyebaran Islam di daerah pesisir utara Jawa.
Nyai Ageng Pinatih kemudian dikenal sebagai ibu angkat dari Raden Paku (Sunan Giri). Ia membesarkan calon wali besar tersebut di Gresik, sebelum mengirimnya berguru kepada Sunan Ampel di Surabaya. Posisi strategis Nyai Ageng Pinatih sebagai saudagar dan juga syahbandar Gresik menunjukkan betapa keturunan Arya Wangbang Pinatih tidak hanya terlibat dalam politik kerajaan, tetapi juga memainkan peran sentral dalam jalur perdagangan dan dakwah Islam di Jawa.
Setelah masa kepemimpinan Arya Wangbang Pinatih, tahta Lumajang jatuh kepada Arya Menak Sumendi, yang merupakan raja kelima sekaligus menjadi pemimpin transisi dari raja merdeka menjadi Adipati Lumajang. Ini terjadi ketika Sri Prabu Wikramawarddhana, menantu dari Hayam Wuruk, naik tahta sebagai raja Majapahit dengan gelar Sri Maharaja Wikramawarddhana Bhatara Hyang Wisesa.
Sri Wikramawarddhana berasal dari Paguhan di Lumajang, dan cucu dari Bhatara Kertawarddhana, yang menikahi Rani Paguhan, seorang perempuan Muslim. Keterkaitan darah antara Wikramawarddhana dengan elite Muslim Lumajang memperlihatkan betapa integrasi Islam ke dalam tubuh Majapahit bukanlah proses yang sepenuhnya asing, tetapi bagian dari hubungan genealogis dan politik yang terjalin lama.
Baca Juga : Blackpink Bakal Konser di Jakarta Pada 1-2 November 2025, Ini Prediksi Harga Tiketnya
Naiknya Wikramawarddhana sebagai Maharaja Majapahit menandai sejumlah perubahan besar dalam struktur politik dan sosial kerajaan. Salah satu perubahan utama adalah meletusnya Perang Paregreg yang berlangsung pada 1404 hingga 1406, yakni konflik internal antara Wikramawarddhana dan Bhre Wirabhumi, penguasa Blambangan sekaligus saudara iparnya.
Bhre Wirabhumi merupakan putra Hayam Wuruk dari seorang selir dan suami dari Bhre Lasem, adik kandung Wikramawarddhana. Perang ini memperlihatkan rapuhnya struktur kekuasaan Majapahit yang terjebak dalam jalinan kekerabatan dan perebutan legitimasi.
Perubahan berikutnya tercermin dari penetapan Prasasti Patapan pada tahun 1406. Dalam prasasti tersebut, Sri Wikramawarddhana memberikan hak tanah perdikan kepada seorang janggan atau pandhita desa di wilayah Patapan. Istilah janggan, yang awalnya digunakan untuk menyebut pemuka agama Kapitayan, dalam perkembangan selanjutnya juga disematkan kepada para ulama Muslim. Hal ini menunjukkan pengakuan formal dari istana Majapahit terhadap keberadaan dan peran spiritual Islam dalam masyarakat.
Selain itu, masa pemerintahan Wikramawarddhana juga ditandai oleh integrasi wilayah Lamajang Tigang Juru ke dalam sistem kekuasaan Majapahit. Wilayah Lamajang, Wirabhumi, dan Bayu yang sebelumnya memiliki status semiotonom, secara politik digabungkan ke dalam Majapahit.
Konsekuensi dari penggabungan ini adalah perubahan status para penguasanya dari raja merdeka menjadi adipati, yakni raja bawahan. Dalam konteks ini, Arya Menak Sumendi, yang sebelumnya merupakan raja kelima Lumajang, kemudian disebut sebagai Adipati Lumajang.
Perubahan ini tidak hanya bersifat administratif, tetapi juga menandai pergeseran besar dalam konsep kekuasaan dan otonomi lokal di bawah hegemoni Majapahit. Keluarga besar Pinatih, yang sebelumnya menguasai wilayah secara mandiri, kini masuk dalam struktur birokrasi pusat, meskipun tetap mempertahankan pengaruhnya dalam bidang spiritual dan perdagangan.
Historiografi Arya Wangbang Pinatih dan keturunannya menggambarkan bagaimana Islam, kekuasaan lokal, dan kebijakan sentralisasi Majapahit saling berkelindan dalam membentuk sejarah Nusantara. Tokoh seperti Nyai Ageng Pinatih dan Syaikh Manganti menjadi bukti bahwa keluarga kerajaan lokal Muslim dari Lumajang turut menyumbangkan warisan penting dalam dakwah Islam, perniagaan, dan birokrasi maritim di wilayah timur Jawa hingga pesisir utara.
Kisah Arya Wangbang Pinatih dan keturunannya, termasuk Nyai Ageng Pinatih, menunjukkan bagaimana peran tokoh-tokoh Muslim dalam sejarah Jawa Timur dan Bali sangat penting, meskipun sering kali terabaikan dalam narasi sejarah mainstream. Mereka tidak hanya berperan dalam aspek politik dan militer, tetapi juga dalam penyebaran agama dan pembangunan ekonomi.
Jejak mereka masih dapat ditelusuri hingga kini, baik melalui situs-situs sejarah maupun tradisi masyarakat setempat yang terus menghormati dan mengenang jasa-jasa mereka.