JATIMTIMES - Rentetan pemutusan hubungan kerja (PHK) terjadi di Provinsi Jawa Timur (Jatim). Sejak Januari hingga memasuki Mei 2025 ini, tercatat sudah sekitar 8.000 pekerja di Jatim kehilangan pekerjaan.
Kabid Hubungan Industrial dan Jamsostek Dinas Ketenagakerjaan dan Transmigrasi (Disnakertrans) Jatim Hasan Mangalle menyebut angka tersebut didapat dari dinas yang membidangi ketenagakerjaan di tiap-tiap kabupaten/kota. "Iya betul itu data dari kabupaten/kota," ungkap Hasan, Selasa (27/5/2025).
Baca Juga : 5 Hotel Terdekat dari Stasiun Bandung: Pilihan Nyaman dan Strategis untuk Menginap
Dari jumlah tersebut, dia tidak bisa menjelaskan lebih lanjut mengenai adanya sengketa hubungan industrial terkait pembayaran pesangon. Menurut Hasan, hal tersebut mestinya telah diselesaikan di dinas teknis tingkat kabupaten/kota.
"Kalau umpamanya yang terkait pesangon itu kita enggak tahu. Kan kami hanya dapat data dari kabupaten/kota bahwa yang ter-PHK itu sekian," jelas Hasan.
"Saya ulangi lagi, PHK itu gara-gara apa? Gara-gara dipindah perusahaannya, gara-gara kontraknya habis, gara-gara pensiun, gara-gara meninggal. Itu kan begitu. Semuanya itu diselesaikan di kabupaten/kota masing-masing. Nah, kami hanya diberi data bahwa PHK. Mereka tidak memberi informasi terkait pesangonnya, penghargaan sudah diberikan atau belum. Itu enggak ada data-data di sini," sambungnya.
Lebih lanjut, dari sekitar 8.000 pekerja yang ter-PHK, Hasan belum mendapatkan informasi mengenai jumlah pekerja yang sudah kembali bekerja. Kendati demikian, Hasan mempersilakan para pekerja untuk mengikuti program-program yang disediakan Disnakertrans Jatim.
"Kalau umpamanya mereka itu kena PHK, masih mau bekerja lagi, tindak lanjutnya dari kami itu disarankan mereka masuk di pelatihan di BLK-BLK itu sesuai dengan kompetensinya, sesuai keahliannnya masing-masing," paparnya.
Sementara itu, berdasarkan data internal yang dihimpun Federasi Serikat Pekerja Metal Indonesia (FSPMI), juga tercatat sekitar 8.000 pekerja di Jatim telah terkena PHK. Ketua Dewan Pimpinan Wilayah (DPW) FSPMI Jatim Jazuli menyebut, PHK terjadi karena sejumlah kondisi.
"Sampai Mei 2025 ini, menurut data yang kami punya ada 8.000 pekerja di Jatim jadi korban PHK. Itu disebabkan karena pabriknya tutup, juga dikarenakan tidak ada perpanjangan kontrak. Termasuk anak magang-magang itu yang di-PHK," papar Jazuli.
Data tersebut dihimpun dari para buruh di berbagai daerah, baik anggota maupun non-anggota FSPMI. Yang lebih mengkhawatirkan, jumlah pekerja yang terkena PHK berpotensi terus bertambah.
Baca Juga : Tampil di Osaka World Expo 2025 Jepang, Kota Batu Pukau Dunia Lewat Budaya dan Potensi Pariwisata
"Ini kasus PHK yang kemungkinan akan bertambah kelihatannya di industri kertas. Pabrik Pakerin, itu satu contoh ya, sudah ada 2.000 karyawan. Artinya nanti kita bisa menembus lebih dari 10.000," urainya.
Dia menyebut, sejumlah sektor banyak melakukan PHK karena adanya kebijakan tarif impor Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump. Misalnya, para pekerja di bidang ekspor perikanan, juga mulai banyak yang dirumahkan.
"Di Banyuwangi dan Pasuruan. Kan banyak itu. Di situ ada udang, ikan tuna, semuanya itu kan banyak yang diekspor ke Amarika dan negara lain. Jadi ini sangat berdampak karena ada kebijakan Trump tadi. Termasuk tekstil, industri kayu, meubel juga terdampak," tandasnya.
Dengan kondisi ini, dia berharap pemerintah segera merampungkan negosiasi dengan Donald Trump. Dengan begitu, dampak terhadap para pekerja akan bisa lebih diantisipasi. Selain itu, ia juga menyoroti adanya perusahaan yang memanfaatkan situasi.
"Jadi, pura-pura pailit. Nah, apakah ini pura-pura pailit atau sudah mempailitkan diri. Itu kan tipis sih ya. Banyak anggota kita yang bekerja tiba-tiba pailit perusahaannya, itu banyak. Harapannya pemerintah itu bisa mengatasi persoalan ini. Ya mirip lah dengan Sritex, antara utang sama asetnya itu tidak sebanding. Akhirnya para pekerja jadi korban PHK," katanya.