JATIMTIMES - Pada pertengahan abad ke-16, pusat kekuasaan Islam di Jawa tengah mengalami guncangan besar. Pajang, kerajaan yang menjadi penerus kekuasaan Demak, berdiri di bawah kepemimpinan Sultan Hadiwijaya, juga dikenal sebagai Jaka Tingkir.
Namun, kekuasaan ini tidak bertahan lama. Setelah peristiwa kekalahannya dalam perang Prambanan, Sultan Hadiwijaya memutuskan untuk pergi ke tempat yang dianggap suci— makam Sunan Tembayat. Di sinilah, menurut catatan Babad Tanah Djawi dan Serat Kandha, takdir kerajaan Pajang tampak jelas: sultan tidak mampu membuka pintu makam keramat, sebuah simbol runtuhnya legitimasi spiritual dan politiknya.
Baca Juga : Kabar Duka Porprov Jatim 2025, Atlet Bela Diri Bangkalan Meninggal
Dalam fragmen ini, Babad Tanah Djawi menyiratkan simbolisme mendalam: seorang raja yang telah kehilangan restu ilahi, tak mampu menembus batas keramat yang biasa hanya dilintasi oleh mereka yang “diizinkan.” Dalam tafsir tradisional Jawa, ini merupakan isyarat metafisik bahwa kekuasaan telah berpindah tangan, dan bahwa takdir raja telah berakhir. Serat Kandha, dalam bentuk naratif yang lebih ringkas, menyampaikan bahwa jatuhnya sang raja dari gajah menjadi penanda fisikal atas keruntuhan batin dan politiknya.
Kekalahan Prambanan dan Pelarian ke Tembayat
Kekalahan Sultan Hadiwijaya dalam perang Prambanan membuka lembaran baru dalam sejarah Jawa. Setelah kekalahan itu, Sultan menuju ke Bayat untuk berdoa di kompleks makam Sunan Tembayat yang disakralkan. Namun, seperti yang digambarkan dalam Babad Tanah Djawi, pintu makam itu tertutup rapat dan tak bisa dibuka olehnya. Sebagai seorang raja, kegagalan membuka pintu makam bukan hanya kejadian fisik, tetapi lambang runtuhnya wahyu kekuasaan atau daulat. Sang juru kunci makam bahkan berkata bahwa Allah sudah tak merestui kekuasaannya lagi.
Malamnya, Sultan tidur di bale kencur yang dikelilingi air—simbol pembersihan batin atau pembersihan terakhir seorang raja. Namun semua ini tak mampu membalikkan nasib. Esoknya, ia jatuh dari gajah dan jatuh sakit. Dalam keadaan lemah, ia kembali ke Pajang, digotong di atas tandu, lambang pengangkatan jenazah kekuasaan yang sekarat.
Senapati dari Mataram, cucu Ki Ageng Henis, diam-diam mengikuti perjalanan Sultan dari kejauhan. Bersama empat puluh pengikut berkuda, Senapati mengekor secara simbolik, memberi kesan sebagai putra rohani, bukan pemberontak terang-terangan. Pangeran Benawa, putra Sultan, sempat ingin membinasakan Senapati, namun Sultan melarangnya. Ia bahkan berpesan bahwa Benawa harus menghormati dan bersahabat dengan Senapati.
Penting dicatat bahwa Senapati tidak langsung menghadap sang raja yang sekarat. Ia malah berkemah di Mayang—kampung iparnya—dan menurut versi lain, di Laweyan, dekat makam kakeknya Ki Ageng Henis. Ia bahkan memerintahkan abdinya membeli dan menumpuk kembang selasih di pintu barat alun-alun Pajang. Tindakan ini bisa ditafsirkan sebagai penanda duka cita atau bentuk simbolik “pembungkus kematian” untuk Pajang.
Perbedaan antara tempat perkemahan—Mayang dan Laweyan—mungkin dapat dipahami sebagai upaya pengepungan dari dua arah. Ini bukan sekadar tindakan militer, tetapi juga siasat psikologis. Dalam tradisi Jawa, pengepungan spiritual sama kuatnya dengan pengepungan fisikal.
Wafatnya Sultan dan Campur Tangan Jin Juru Taman
Kematian Sultan Hadiwijaya dilingkupi mitos dan legenda. Babad Tanah Djawi menyebut bahwa makhluk jin bernama “juru taman” mendatangi Senapati dan menawarkan bantuan untuk membunuh Sultan. Senapati tidak memerintahkan, namun juga tidak melarang. Juru taman pun pergi ke istana, duduk di dada sang Sultan yang sedang sakit, menyebabkan keadaannya memburuk dan akhirnya meninggal.
Serat Kandha menampilkan versi yang lebih rasional: Sultan wafat karena sakit. Bahkan, dalam versi ini, Sultan mengamanatkan agar Senapati diundang dalam pemakaman dan nasihatnya diikuti. Ketika Senapati datang, ia mencium kaki jenazah sang Raja—sebuah sikap simbolik yang kuat tentang transisi kekuasaan.
Apakah juru taman itu nyata? Dalam pendapat penulis, kemungkinan bahwa juru taman ini adalah tokoh historis. Bahkan mungkin seorang asing albino yang sempat menjadi panakawan dalam keraton. Pigeaud menyebutnya sebagai dewa gunung, atau simbol leluhur tua yang menjadi pembimbing generasi baru—mungkin representasi dari Ki Juru Martani.
Namun, bisa jadi juru taman hanyalah simbol dari intrik kekuasaan—seorang pembunuh yang ditugaskan oleh Senapati, sebagaimana terjadi dalam tradisi politik kekuasaan Jawa yang sering kali dibungkus mitologi untuk menyembunyikan kekejaman politik.
Kematian Sultan Hadiwijaya menjadi titik balik sejarah. Tak hanya berakhirnya kekuasaan seorang raja, tapi juga penanda hancurnya sistem legitimasi Pajang. Kerajaan ini tidak lagi memiliki pusat kekuatan. Pangeran Benawa, meski mewarisi takhta, kehilangan pijakan politik. Ia hanya menjadi perantara kekuasaan yang tak memiliki daya dukung sosial maupun spiritual.
Senapati, dengan kelicikan dan ketajaman politiknya, membangun kekuatan dari Mataram—sebuah kawasan pinggiran yang kemudian menjelma menjadi pusat kekuasaan baru. Ia tidak merebut Pajang secara frontal. Ia menunggu, membiarkan legitimasi Pajang mati secara alami, lalu mengambil alih dengan simbol-simbol: kembang selasih, kedekatan dengan tanah keramat Laweyan, dan jaringan spiritual para wali.
Penulis menyarankan agar historiografi Jawa dibaca tidak sekadar sebagai catatan fakta, tetapi juga sebagai medan politik memori. Babad Tanah Djawi dan Serat Kandha bukan hanya menyimpan kisah sejarah, tetapi juga membentuk narasi kekuasaan.
Penghilangan juru taman dalam Serat Kandha mungkin mencerminkan usaha legitimasi Mataram, agar pendirinya tidak dikaitkan dengan pembunuhan. Versi Babad justru menunjukkan kompleksitas kekuasaan: Senapati sebagai pemimpin pragmatis, tidak suci, tetapi penuh perhitungan dan kendali simbolik.
Dalam studi tentang pembentukan negara Jawa baru, peristiwa ini menjadi kasus klasik tentang bagaimana kekuasaan tidak sekadar berpindah melalui perang, tetapi melalui legitimasi spiritual, narasi mitologis, dan simbolisme kultural yang mendalam.
Wafatnya Sultan Hadiwijaya pada akhir dekade 1580-an bukan sekadar kematian seorang raja. Ia menandai akhir Pajang dan kelahiran kekuatan baru: Mataram Islam. Senapati, dengan segala strategi spiritual dan politiknya, menjelma menjadi pemimpin yang tidak hanya menguasai wilayah, tetapi juga narasi sejarah.
Baca Juga : Apakah Ada Long Weekend di Bulan Juli 2025? Ini Penjelasannya Berdasarkan SKB 3 Menteri
Ia bukan sekadar panglima perang, tetapi juga arsitek ideologis dari tatanan kekuasaan baru yang kelak melahirkan raja-raja besar seperti Sultan Agung. Maka, keruntuhan Pajang harus dipahami bukan sebagai akhir, tetapi sebagai proses transisi sejarah yang melahirkan sistem kerajaan Jawa yang lebih mapan, dengan pusat spiritual dan simbolik yang kuat: Mataram.
Dalam sejarah Jawa, kekuasaan tidak hanya direbut dengan senjata, tetapi dengan siasat, simbol, dan restu gaib. Senapati telah memahami ini jauh sebelum ia mendirikan Mataram. Dan dari kehancuran Pajang, ia menulis bab baru dalam sejarah kekuasaan Nusantara.
Jaka Tingkir: Wahyu Keprabon di Atas Reruntuhan Majapahit
Dalam denyut sejarah Jawa, nama Jaka Tingkir atau Sultan Hadiwijaya memegang peran penting sebagai penghubung keruntuhan Majapahit, kejayaan Demak, dan cikal bakal Mataram. Di balik sosoknya bersemayam dendam sejarah, restu spiritual para Wali, dan kebijaksanaan lokal yang merangkai perlawanan rakyat Jawa pedalaman.
Ia lahir dengan nama Mas Karebet, pada 18 Jumadilakhir tahun Dal mongso Kawolu, putra Ki Ageng Kebo Kenanga, penguasa Kraton Pengging, cucu Ratu Ratna Pembayun — Putri sulung Prabu Brawijaya V Majapahit dengan permaisuri Dewi Dwarawati dari Champa. Jalur darah ini menegaskan Mas Karebet bukan sekadar keturunan bangsawan, tetapi penyambung pulung wahyu keprabon Majapahit yang tercerai. Seperti tercatat dalam Babad Tanah Jawa:
“muncar kadya andaru | manjing marang Dyan Jaka Tingkir…”
Sebuah simbol bahwa Wahyu Ratu berpindah ke Mas Karebet, menitis di tubuh bocah yatim piatu yang kelak menurunkan raja-raja Jawa.
Tragedi mewarnai masa kecilnya. Ketika Mas Karebet baru berusia dua tahun, Demak di bawah Sultan Trenggana menyerbu Pengging. Ayahnya tewas tertusuk keris Sunan Kudus, ibunya Rara Alit meninggal empat puluh hari kemudian. Nyai Ageng Tingkir, sosok perempuan tangguh, mengangkatnya sebagai anak. Maka lahirlah nama Jaka Tingkir, yang kelak dikenal hingga lor kidul Jawa.
Jejak spiritual Jaka Tingkir bukan isapan jempol. Ia digambarkan senang menyepi, bertapa di lereng gunung, menimba ilmu batin dari Ki Ageng Selo—penangkap petir penanda kearifan rakyat. Ia juga nyantri pada Sunan Kalijaga, wali yang lihai menjembatani Islam dan budaya Jawa, serta berguru pada Ki Ageng Butuh, Ki Ageng Ngerang, Ki Adirasa, hingga Ki Buyut Banyubiru. Tradisi laku tirakat ini menegaskan, dalam benak Jaka Tingkir, takhta bukan hanya rebutan kekuasaan, tetapi pengejawantahan wahyu dan pulung.
Takdir membawanya ke Demak. Dari seorang prajurit tamtama, ia naik pangkat menjadi Lurah Wira Tamtama, lalu dipercaya Sultan Trenggana menjadi pengawal pribadi. Meski sempat diusir akibat intrik istana, Jaka Tingkir kembali membuktikan kepiawaiannya memadukan kecakapan militer dengan diplomasi spiritual. Aliansi darah makin menguat saat ia menikahi Ratu Mas Cempaka, putri Sultan Trenggana dari garwa Sunan Kalijaga. Jalur kekerabatan ini menjadi perisai legitimasi di tengah carut-marut politik pasca wafatnya Sultan Trenggana pada 1546.
Kondisi Demak kian rapuh—pecah konflik elit ulama, sengketa suksesi, dan perlawanan bangsawan pesisir. Di sinilah Raden Jaka Tingkir, yang kemudian bergelar Adipati Pajang, menegakkan poros baru di pedalaman. Pada 1458 Jawa (sekitar 1549 Masehi), dengan restu Panembahan Giri Prapen—pemangku spiritual di Giri Kedaton—dan disaksikan Sunan Kalijaga, ia dinobatkan sebagai Sultan Hadiwijaya Hing Pajang. Candra sengkala 1503 Dahana Muluk Barat Nempuh Wani menandai lahirnya Pajang: kerajaan agraris pertama setelah Demak, membuka jalan bagi bangkitnya Mataram kelak.
Jaringan kuasa Sultan Hadiwijaya tidak berdiri di ruang hampa. Ia mewarisi strategi retorik Demak yang memadukan kekuatan militer, restu spiritual, dan genealogis Majapahit. Pajang berperan sebagai penyangga perlawanan rakyat pedalaman Jawa melawan ancaman Portugis, Kompeni, maupun sisa-sisa pengaruh pesisir. Tak heran jika dendam Majapahit menjelma bukan sebagai nostalgia kekaisaran Hindu-Buddha semata, melainkan roh resistensi dalam wujud Islam sinkretik.
Dalam silsilahnya, Sultan Hadiwijaya menurunkan jalur raja-raja besar Jawa. Putranya, Pangeran Benawa, sempat memerintah setahun sebelum mewariskan trah ke Kanjeng Ratu Mas Hadi, prameswari Panembahan Hanyakrawati, raja kedua Kesultanan Mataram. Dari rahim inilah lahir Sultan Agung Prabu Hanyakrakusuma, simbol supremasi Mataram Islam.
Makna historis Jaka Tingkir terletak pada kemampuan meramu dendam sejarah, restu para wali, dan strategi rakyat agraris menjadi simpul kebangkitan Jawa. Pasca wafatnya, Sultan Hadiwijaya dimakamkan di Pasareyan Butuh, Sragen, bersama Pangeran Benawa. Tetapi namanya hidup di hati rakyat sebagai penanda: bahwa dalam narasi Jawa, takhta hanyalah sarana merawat wahyu, bukan sekadar warisan pedang.