JATIMTIMES - Dalam sejarah Mataram Islam abad ke-18, nama Ratu Amangkurat jarang disebut sebagai pemegang kekuasaan formal. Namun, pengaruhnya yang halus namun nyata, terutama selama masa genting Geger Pecinan (1740–1743), menjadikannya figur sentral dalam pusaran kekuasaan dan intrik istana Kartasura.
Sebagai ibu suri dari Sunan Pakubuwono II, ia berasal dari darah bangsawan dan merupakan keturunan langsung dari Sunan Kudus—seorang tokoh wali besar. Hal ini menjadikannya bukan sekadar sosok keibuan di lingkungan keraton, melainkan juga simbol legitimasi spiritual di tengah ketidakpastian politik yang melanda kerajaan.
Baca Juga : Film Horor Jalan Pulang Dimainkan Luna Maya Mulai Tayang 19 Juni 2025
Geger Pecinan adalah tragedi multidimensional yang menyatukan kekacauan politik, perang antar etnis, perebutan kekuasaan, dan kolaborasi pragmatis antara elite Jawa dan VOC. Di tengah pusaran konflik itu, Ratu Amangkurat memainkan peran penting sebagai penyeimbang antara konservatisme Patih Notokusumo dan keterbukaan diplomatik Sunan.
Krisis Legitimasi dan Terjunnya Tirtowiguno
Ketika Kartasura diguncang oleh pemberontakan besar-besaran, posisi Pakubuwono II sebagai penguasa tidak lagi berdiri kokoh. VOC mencurigai gerak-gerik Notokusumo yang dinilai bersimpati pada para pemberontak Tionghoa dan Jawa.
Dalam situasi yang sangat tidak menentu, Sunan—atas anjuran ibunda, Ratu Amangkurat—mengirim sekretaris kepercayaannya, Tirtowiguno, ke Semarang untuk bertemu dengan Hugo Verijsel, pemimpin VOC di wilayah pesisir utara Jawa.
Tirtowiguno adalah pilihan tepat. Ia bukan hanya paham watak Sunan, tetapi juga dikenal memiliki relasi diplomatis yang lebih diterima oleh VOC ketimbang Notokusumo. Ratu Amangkurat memainkan peranan krusial dalam penunjukan ini.
Ia menyadari bahwa kepercayaan terhadap Kartasura hanya bisa dipulihkan melalui komunikasi yang elegan dan cerdas dengan Kompeni. Patih Notokusumo dianggap terlalu radikal dan tidak disukai Belanda.
Pada 8 Maret 1742, Tirtowiguno tiba di Semarang. Namun, Verijsel belum memperoleh petunjuk dari Batavia. Meskipun demikian, ia mencatat keputusasaan yang terpancar dari pesan Sunan melalui Tirtowiguno.
Sang Raja menyampaikan bahwa tanpa bantuan VOC, posisinya sebagai penguasa akan runtuh. Maka, VOC disarankan segera mengirim garnisun ke Kartasura.
Tirtowiguno menekankan pentingnya kehadiran militer VOC walau dalam skala kecil. Ia mengusulkan agar Semarang mengirimkan detasemen terbatas sebagai simbol dukungan, dan sekaligus menjadi alat pengawasan langsung terhadap dinamika internal keraton.
Verijsel menyetujui usulan ini, dan menunjuk Kapten Andries Baron von Hohendorff untuk memimpin misi tersebut.
Von Hohendorff, perwira kawakan VOC, sudah mengenal seluk-beluk Kartasura. Ia didampingi oleh Letnan Muda Ferdinand Karel Hoogwits serta penerjemah Balthazar Toutlemonde.
Misi mereka bukan hanya simbolik, tetapi penuh intrik: mengumpulkan informasi dari dalam keraton, termasuk dari kalangan perempuan dan pelayan istana.
Ratu Amangkurat dan Diplomasi Keraton
Von Hohendorff berhasil menjalin komunikasi langsung dengan Sunan Pakubuwono II dan bahkan mendapat kepercayaan penuh untuk menghadap kapan pun. Tidak hanya itu, ia juga membangun hubungan khusus dengan Ratu Amangkurat.
Sosok ibu suri ini diketahui menganjurkan Sunan agar terus menjalin hubungan dengan VOC.
Pengaruh Ratu Amangkurat terbukti dalam keputusan-keputusan besar yang diambil Sunan, seperti pengangkatan Tirtowiguno, penghindaran konflik terbuka dengan Belanda, dan langkah-langkah diplomasi lainnya. Ratu Amangkurat tidak hanya ibu dari raja, melainkan pengendali kebijakan luar negeri Kartasura.
Ia memiliki hubungan dekat dengan Tirtowiguno, dan melihatnya sebagai perpanjangan tangan dirinya di luar istana. Kepercayaannya terhadap sekretaris ini jauh lebih besar ketimbang terhadap Notokusumo, yang sejak awal dipandang terlalu keras dan potensial menjadi ancaman terhadap stabilitas istana.
Rombongan VOC yang dipimpin Von Hohendorff tidak datang sendiri. Mereka membawa seorang kopral, enam serdadu, pelayan, dan juru masak. Dalam waktu singkat, mereka berhasil merebut simpati kalangan istana. Bahkan selir-selir dan pelayan perempuan mulai membuka diri kepada para mata-mata VOC.
Tugas mereka jelas: mengumpulkan segala informasi, dari pembicaraan pribadi Sunan hingga interaksi antara Raja dan ibunya. Mereka dibekali dana cukup besar, namun diwanti-wanti agar berhati-hati.
Von Hohendorff, atas masukan Ratu Amangkurat, mulai menolak berinteraksi dengan para menteri yang dianggap telah "kotor" karena keterlibatan mereka dengan pihak pemberontak. Keputusan ini memperjelas poros kekuasaan baru di Kartasura: Sunan Pakubuwono II, Ratu Amangkurat, dan VOC.
Konsolidasi Militer dan Kebangkitan Kartasura
Sementara itu, pasukan Kartasura mulai melakukan konsolidasi. Pringgalaya dan Mlayakusuma memimpin 2.500 serdadu menyerang pemberontak di Grobogan. Mereka dibantu oleh para tumenggung seperti Mangunnegoro, Wiroguno, dan Singoranu. Keberhasilan ini menjadi titik balik bagi Sunan Pakubuwono II yang semula hampir kehilangan segalanya.
Namun, kecurigaan terhadap Patih Notokusumo masih menguat. Ia dianggap memberi bantuan finansial kepada pemberontak. Ketika Notokusumo mundur dari Demak dan tiba di Semarang pada 29 Maret 1742, ia melakukan konsolidasi dengan bupati-bupati setempat, namun tak berhasil menghilangkan tuduhan keterlibatan.
Salah satu wilayah yang menjadi medan sengit pertempuran adalah Lasem. Di sini, sejarah mencatat kolaborasi erat antara rakyat Jawa dan Tionghoa dalam melawan dominasi VOC. Raden Panji Margana, putra dari Tejakusuma V, bergabung dengan para pejuang Tionghoa dan mengenakan seragam sama—baju Tionghoa dan celana konperang hitam—untuk menyamarkan identitas dan menyatukan barisan.
Ia dibantu oleh tokoh masyarakat Tionghoa seperti Tan Ke Wie, seorang pembuat batu bata dan guru silat ternama. Identitas kultural dicairkan demi tujuan bersama: melawan penjajahan dan dominasi Kompeni. Kekuatan dari Lasem ini membuktikan bahwa akar perlawanan rakyat terhadap VOC tidak pernah mati, bahkan menjadi bara yang sewaktu-waktu bisa menyala.
Akhir Geger Pecinan
Dalam historiografi Jawa abad ke-18, salah satu bab paling berdarah adalah pemberontakan besar yang dikenal sebagai Geger Pecinan (1740–1743). Peristiwa ini berawal dari pembantaian massal etnis Tionghoa oleh VOC di Batavia, yang kemudian meluas ke wilayah pesisir utara Jawa dan menular ke jantung kerajaan Mataram di Kartasura.
Pemberontakan itu bukan hanya luapan amarah etnis Tionghoa, tetapi menjelma menjadi gerakan revolusioner Jawa-Tionghoa yang mencoba menggulingkan rezim Pakubuwono II, penguasa Mataram yang tunduk pada kekuasaan VOC.
Di tengah gemuruh itu, dua tokoh muda tampil menonjol: Raden Mas Garendi, cucu Amangkurat III yang menggugat takhta dengan gelar Amangkurat V, dan Raden Mas Said, kelak dikenal sebagai Pangeran Sambernyawa, komandan muda berdarah biru yang menjelma simbol pemberontakan Mataram yang tak kunjung padam.
Hubungan keduanya menjadi sorotan penting dalam sejarah fase akhir Geger Pecinan yang brutal, tragis, dan penuh intrik.
Raden Mas Garendi, putra bungsu Pangeran Teposono, adalah bangsawan muda yang hidupnya sejak kecil dirundung dendam politik. Kakeknya, Amangkurat III, pernah menjadi musuh VOC dan dibuang ke Srilanka, begitu pula nasib ayahnya yang dieksekusi Pakubuwono II karena dituduh makar. Diselamatkan oleh pamannya, Wiramenggala, Garendi tumbuh dalam pelarian dan perlawanan.
Puncaknya terjadi ketika pasukan gabungan Jawa-Tionghoa menyerbu Kartasura pada 30 Juni 1742. Kartasura jatuh. Pakubuwono II melarikan diri. Di tengah puing-puing istana, Garendi dinobatkan menjadi raja Mataram dengan gelar Susuhunan Amangkurat V.
Dalam waktu yang singkat, sejarah Mataram diguncang. Seorang raja boneka VOC dikudeta oleh cucu raja buangan.
Pada saat yang sama, Raden Mas Said yang baru berusia 14 tahun telah menunjukkan kegemilangan sebagai panglima perang. Putra Pangeran Arya Mangkunegara ini mewarisi dendam pribadi terhadap VOC dan istana Surakarta. Ayahnya, sebagaimana kakek Garendi, pernah dibuang ke Sri Lanka oleh Pakubuwono II.
Menariknya, baik Raden Mas Said maupun Pakubuwono II berasal dari garis keturunan yang sama—keduanya adalah cucu Amangkurat IV. Pangeran Arya Mangkunegara, ayah Raden Mas Said, merupakan putra Amangkurat IV dari selir bernama Mas Ayu Karoh. Sementara itu, Pakubuwono II adalah putra Amangkurat IV dari permaisuri resmi, Ratu Amangkurat atau yang dikenal pula sebagai Ratu Kencana.
Dengan demikian, Pakubuwono II dan Pangeran Arya Mangkunegara adalah saudara seayah namun berlainan ibu. Artinya, Raden Mas Said merupakan keponakan dari Pakubuwono II. Hubungan kekerabatan ini menempatkan konflik di antara keduanya bukan semata soal politik dan kekuasaan, melainkan juga cerminan ketegangan dalam tubuh dinasti Mataram itu sendiri.
Raden Mas Said tampil sebagai komandan perang dalam aliansi Jawa-Tionghoa di bawah Amangkurat V. Ia memimpin berbagai pertempuran besar, mulai dari Welahan, Tembayat, hingga Randhaluwang.
Dalam satu momen krusial pada 24 Agustus 1742, Said memimpin pasukan bersama Kapitan Sepanjang dan Tan Sin Ko (Singseh) menghadang pasukan VOC di Tanjung, Kudus. Di situ, Said tampil bukan hanya sebagai prajurit, tetapi sebagai tokoh sentral dalam struktur militer pemberontak.
Baca Juga : Hamengkubuwana V dan Para Bayangannya: Rezim Pengampu dalam Sejarah Yogyakarta (1830–1834)
Namun revolusi itu tidak bertahan lama. Pada 26 November 1742, koalisi kontra-pemberontak yang terdiri dari Pakubuwono II, Cakraningrat IV dari Madura, dan tentara VOC dari arah Ungaran dan Salatiga menggempur Kartasura dari dua arah. Serangan itu berhasil memukul mundur pasukan Amangkurat V.
Garendi terpaksa meninggalkan istana. Ia dan pengikutnya bergerak ke selatan, berupaya mempertahankan sisa-sisa kekuasaan. Salah satu benteng terakhirnya adalah Randhaluwang di tepi Kali Opak, dekat Prambanan. Namun, pada 3 Juni 1743, serangan besar VOC berhasil memukul pasukan pemberontak di sana.
Pasukan Jawa-Tionghoa tercerai-berai. Raden Mas Said, yang memimpin bersama Kapitan Sepanjang, terdesak hingga harus melarikan diri ke arah timur: Nguteran, Madiun, lalu Keduwang di kaki Gunung Lawu. Perpisahan terjadi. Said dan Garendi berpisah. Revolusi mulai kehilangan koordinasi dan arah.
Sementara itu, Garendi yang masih menyandang gelar Amangkurat V mencoba melakukan manuver terakhir dengan mengirimkan 1.200 prajurit untuk menyerang Semarang. Namun kekuatan mereka sudah jauh melemah. Pada Desember 1743, Garendi dilaporkan tertangkap di Surabaya, dalam kondisi terpisah dari rombongan pasukannya. VOC membawanya ke Semarang, kemudian Batavia, dan akhirnya membuangnya ke Ceylon (Sri Lanka), sama seperti kakeknya.
Nasib Garendi setelah itu menjadi teka-teki. Tidak ada catatan resmi tentang tanggal atau tempat kematiannya. Ia lenyap dari panggung sejarah, namanya dihapus dari daftar raja-raja resmi Mataram. Namun bagi mereka yang membaca sejarah secara teliti, Garendi bukan pemberontak, melainkan simbol perlawanan terhadap tirani dan kolonialisme.
Historiografi kolonial dan istana Surakarta-Yogyakarta nyaris tidak memberikan tempat bagi Raden Mas Garendi. Ia dianggap usurper (perebut takhta) yang gagal. Namun data sejarah dari laporan Belanda, surat-surat perang, dan kesaksian lisan mencatat peran besarnya.
Begitu pula dengan peran Raden Mas Said di Geger Pecinan. Dalam narasi-narasi resmi Keraton, Said seolah hanya muncul saat Perang Suksesi Jawa III (1752–1755), padahal ia sudah tampil sejak awal usia mudanya dalam perjuangan berdarah melawan VOC. Bahwa seorang anak muda 14 tahun mampu menjadi panglima perang dalam koalisi multietnis—Jawa, Tionghoa, bahkan Makassar—merupakan fakta yang menantang historiografi Jawa yang feodalis.
Akhir dari Geger Pecinan menandai hancurnya koalisi revolusioner Jawa-Tionghoa. VOC kembali menguasai pusat kekuasaan, Pakubuwono II direstorasi ke takhta oleh Belanda, dan banyak pemimpin pemberontakan dibunuh atau dibuang. Kapitan Sepanjang dieksekusi, Singseh ditangkap, Garendi diasingkan.
Namun satu tokoh selamat: Raden Mas Said. Dari reruntuhan Kartasura, ia membangun basis gerilya di timur. Ia menolak menyerah. Dengan membawa semangat dari Geger Pecinan, Said menjelma Sambernyawa—penyambar nyawa—yang selama lebih dari satu dekade membuat VOC tak pernah bisa tidur nyenyak.
Sejarah mungkin mencoret nama Amangkurat V dari daftar resmi raja-raja Mataram, tapi peristiwa Geger Pecinan tetap menjadi saksi bahwa dalam sejarah Jawa, pernah ada anak-anak muda pemberani yang menantang kekuasaan kolonial dan istana demi satu hal: martabat.
Warisan Sunyi Sang Ibu Suri
Peran Ratu Amangkurat dalam pusaran sejarah Geger Pecinan tidak dapat direduksi sekadar sebagai ibu dari raja. Ia adalah pengendali narasi, pemegang kendali diplomatik, dan penjaga kontinuitas Mataram Islam dalam masa genting.
Dengan latar belakang darah wali dan koneksi spiritualitas keulamaan, ia memancarkan wibawa yang mengarahkan Sunan untuk memilih jalur diplomasi dibanding konfrontasi langsung. Dalam sejarah yang dicatat oleh pena-pena maskulin dan kekuasaan yang dikawal oleh tombak dan meriam, Ratu Amangkurat menghadirkan kekuatan yang lembut namun menentukan.
Sejarah mencatat namanya dengan sunyi. Namun, dalam pusaran Kartasura yang dikepung dari segala arah, dialah jangkar stabilitas yang menyelamatkan Mataram dari kehancuran total. Dan dalam kegelapan malam pemberontakan, suara ibunda yang penuh doa dan pertimbangan bijak menjadi kompas bagi Sunan untuk kembali pada pijakan kewarasan dan kelangsungan dinasti.
Ratu Amangkurat: Ibu Pakubuwana II dan Warisan Trah Sunan Kudus
Dalam mozaik sejarah Mataram Islam abad ke-18, sosok Ratu Amangkurat—ibunda Susuhunan Pakubuwana II—sering kali tenggelam dalam bayang-bayang dominasi politik laki-laki. Namun, bila disingkap lebih dalam, sang ratu bukanlah sekadar figur pelengkap di balik tahta. Ia merupakan figur utama dalam kesinambungan trah suci yang mengakar langsung kepada para wali pendiri Islam Nusantara, khususnya Sunan Kudus. Jalur nasab Ratu Amangkurat adalah bukti bagaimana kerajaan Mataram Kartasura mencoba mengokohkan legitimasi spiritual dan politik melalui darah wali dan ningrat pesisiran.
Akar dari garis leluhur ini bermula dari tokoh besar spiritual abad ke-14, yakni Syekh Jumadil Kubra, seorang sufi agung yang dikisahkan bermigrasi dari Timur Tengah dan menyebarkan Islam ke wilayah Asia Tenggara. Dari dua pernikahannya—dengan Siti Patimah Kamarumi, putri Sultan Abdul Hamid di negeri Rum, dan Siti Patimah Makhawi, putri dari Syekh Jakfar Shadiq di Makkah—lahirlah banyak ulama dan wali besar yang menyebar hingga ke Malaka dan tanah Jawa.
Salah satu keturunannya yang menonjol adalah Maulana Ibrahim Asmarakandi, atau Maulana Abu Ngali Ibrahim, tokoh besar yang menjadi imam di Campa dan menurunkan sejumlah tokoh penting dalam Islamisasi Jawa, termasuk Sunan Ampel. Dari pernikahannya dengan Dewi Sasanawati, putri Raja Kiyan dari Campa, ia menurunkan Sayid Ngali Rahmat, yang kelak dikenal sebagai Sunan Ampel, salah satu Wali Songo.
Dari garis keturunan Sunan Ampel, kelahiran wali-wali besar terus berlanjut. Salah satu cucu perempuan beliau, Nyai Agêng Manyuran, menikah dengan Sunan Ngudung. Pasangan ini melahirkan Sunan Kudus, nama besar dalam Islam pesisiran utara Jawa.
Sunan Kudus, sebagai tokoh sentral dalam jaringan Walisanga, tidak hanya membangun basis keagamaan yang kuat, tetapi juga menautkan pengaruhnya melalui ikatan pernikahan dengan putri-putri dari beberapa bangsawan penting: Kalipodhang, Adipati Terung, dan Adipati Kendhuruan. Dari hubungan-hubungan ini lahirlah tokoh-tokoh strategis seperti Panembahan Kudus, Pangeran Palembang, dan Adipati Sujaka.
Panembahan Kudus, putra dari salah satu pernikahan tersebut, menikahi keturunan Sunan Giri. Dari pernikahan ini lahirlah Pangeran Demang, yang kemudian menurunkan Pangeran Rajungan. Rajungan memperkuat jaringan keluarga melalui perkawinan dengan putri dari trah Kyai Maja Agung III. Dari jalur ini lahirlah Pangeran Sarêngat—tokoh penting yang dipercaya Sunan Amangkurat I untuk memimpin wilayah Kudus. Kedudukan ini bukan semata administratif, tetapi simbol pengakuan terhadap integritas keulamaan dan kesetiaan politiknya.
Pangeran Sarêngat memiliki putra bernama Raden Suradipura, yang dikenal sebagai Pangeran Kudus II. Ia memiliki dua putra: Mas Jawa dan Mas Jawi. Mas Jawi kelak menjabat sebagai Adipati di Pati dengan gelar Raden Adipati Sumadipura. Dari garis Sumadipura inilah lahir Raden Bagus Yata, yang menjadi Bupati Kudus dan menyandang gelar Raden Adipati Tirtakusuma.
Sebagai seorang bupati yang berasal dari garis bangsawan sekaligus religius, Tirtakusuma menjadi simbol pertemuan dua tradisi besar: aristokrasi santri dan birokrasi kerajaan. Posisinya memperkuat kesinambungan spiritual dari Sunan Kudus ke dalam ranah administratif pesisir Jawa. Salah satu putri Tirtakusuma, yakni Kanjeng Ratu Kencana, menjadi penghubung kunci antara trah Kudus dan Keraton Mataram. Setelah melahirkan putra mahkota yang bernama Raden Mas Prabasuyasa, namanya berubah menjadi Ratu Ageng. Ketika suaminya naik takhta dan menjadi Amangkurat IV, ia pun menyandang gelar baru sebagai Ratu Amangkurat.
Kanjeng Ratu Kencana, yang dibesarkan dalam tradisi religius dan aristokratik, menjadi pilihan utama Susuhunan Amangkurat IV untuk mendampinginya sebagai permaisuri. Pernikahan ini menandai penyatuan dua poros kekuasaan: spiritual-religius pesisir dan politik-kerajaan pedalaman. Dari pernikahan ini lahirlah tiga anak, salah satunya adalah Gusti Raden Mas Prabasuyasa, yang kelak menjadi Susuhunan Pakubuwana II.
Pakubuwana II, penguasa yang memindahkan pusat kerajaan dari Kartasura ke Surakarta, merupakan cucu dari Raden Adipati Tirtakusuma. Penobatannya berlangsung pada Kamis Legi, 16 Besar 1650 Jawa (15 Agustus 1726 M), dalam usia 15 tahun, menjadikannya pewaris muda dari dinasti Mataram dengan warisan spiritual yang panjang dari garis Sunan Kudus. Dengan demikian, darah para wali secara sah mengalir dalam tubuh kerajaan, mengokohkan legitimasi spiritual dalam kekuasaan politik.
Keturunan Tirtakusuma bukan hanya terfokus pada Kanjeng Ratu Kencana. Putra kedua, Raden Ayu Wirasari, menurunkan Raden Wiratmeja alias Raden Megatsari—tokoh birokrat yang memperkuat jaringan administratif kerajaan. Anak ketiga, Raden Martanangga, adalah ayah dari Raden Arya Hendranata yang memiliki relasi pernikahan kompleks dengan putri-putri Amangkurat IV. Setelah bercerai dengan Gusti Raden Ayu Rambe—putri dari Mas Ayu Rondonsari—yang kemudian menikah dengan Adipati Danureja I, Hendranata menikahi sepupunya sendiri, Kanjeng Ratu Maduretna, anak Amangkurat IV dari Kanjeng Ratu Kencana.
Keluarga besar Tirtakusuma juga melahirkan tokoh lain seperti Raden Martakusuma, ayah dari Raden Martapura alias Raden Paridan, yang menjadi bagian dari elit birokrasi istana. Putri lainnya, Raden Ayu Anggakusuma, adalah ibu dari Raden Suwandi dan Raden Suryanagara—keduanya berkiprah di bidang militer dan pemerintahan lokal. Anak bungsu, Raden Wangsèngsari, adalah ibu dari Raden Wangsakusuma di Pati, menegaskan jangkauan luas trah Kudus di kawasan pantura timur Jawa.
Jalur genealogis ini menunjukkan bahwa struktur kekuasaan di Jawa bukan sekadar dominasi politik pusat terhadap daerah, melainkan hasil dari jalinan strategis antara elite spiritual pesisir dan bangsawan keraton. Keberadaan Pakubuwana II sebagai pewaris tahta dengan darah Sunan Kudus menandai titik penting dalam historiografi Jawa Islam: kesinambungan antara kekuasaan duniawi dan legitimasi spiritual.
Dalam konteks ini, peran Kanjeng Ratu Kencana—atau Ratu Amangkurat—tidak semata sebagai permaisuri dan ibu suri, melainkan sebagai simbol integrasi dua poros besar: Kudus dan Kartasura, tarekat dan tahta, wali dan raja. Garis darahnya menjadi pilar naratif dalam pembentukan kekuasaan yang sah secara budaya dan religius di tengah dinamika politik Jawa abad ke-18.
Sebagai keturunan langsung dari Sunan Kudus melalui garis trah Raden Adipati Tirtakusuma, Ratu Amangkurat membawa legitimasi spiritual yang besar ke dalam istana Kartasura. Di tengah ketegangan politik dan kerusakan spiritual akibat Perang Geger Pecinan (1740–1743), keberadaan Ratu Amangkurat sebagai ibunda Pakubuwana II menjadi jangkar simbolik untuk meredam keresahan elite istana. Ia bukan hanya ibu suri dalam arti simbolik, tetapi pemegang tali nasab suci yang menyambungkan kekuasaan Mataram Kartasura dengan para wali dan spiritualitas Islam pesisiran.
Ratu Amangkurat, dalam narasi sejarah resmi, memang tidak selalu disebut secara gamblang. Namun posisinya sebagai ibu Pakubuwana II yang berdarah Kudus merupakan kunci penting dalam memahami arah politik kultural Mataram pada abad ke-18. Melalui jalur darahnya, anak-anak Pakubuwana II tidak hanya mewarisi tahta politik, tetapi juga tahta spiritual wali-wali besar Jawa. Salah satunya adalah Kanjeng Ratu Maduretna, putri Ratu Amangkurat yang juga menikah dengan tokoh-tokoh penting di Yogyakarta.
Setelah Pakubuwana II wafat pada 21 Desember 1749, dan jenazahnya kemudian dipindahkan dari Astana Laweyan ke Imogiri di masa Pakubuwono III, maka simbolisme leluhur wali—termasuk dari pihak ibundanya—ikut dikukuhkan sebagai warisan abadi trah Surakarta Hadiningrat. Tidak mengherankan jika kemudian Keraton Surakarta menyematkan berbagai gelar dan penghormatan spiritual terhadap keturunan perempuan dari garis ibunda, karena di sanalah aliran darah wali dan kekuasaan bertemu.
Dalam konteks historiografi, kehadiran Ratu Amangkurat sebagai figur ibu suri dari trah Sunan Kudus adalah bukti bahwa kekuasaan politik di Jawa tidak pernah bisa dilepaskan dari dimensi spiritual dan legitimasi kultural. Kartasura dan kemudian Surakarta berdiri bukan hanya dengan kekuatan militer dan intrik diplomatik, melainkan juga melalui pertalian darah dengan tokoh-tokoh suci yang memberi makna, arah, dan legitimasi terhadap takhta Mataram Islam.
Ratu Amangkurat adalah simbol perempuan Jawa yang membawa warisan wali ke dalam jantung kekuasaan kerajaan. Ia bukan sekadar istri raja, tetapi penghubung antara dua dunia: dunia politik yang gemuruh dan dunia spiritual yang tenang namun kokoh. Darah Sunan Kudus yang mengalir dalam dirinya menjadi warisan yang kemudian mengukuhkan keberadaan Pakubuwana II sebagai raja terakhir Kartasura sekaligus pendiri Surakarta. Dalam alur panjang sejarah Jawa, nama Ratu Amangkurat patut ditempatkan dalam daftar perempuan agung yang mengukir arah sejarah bukan dengan pedang, tetapi dengan silsilah, kebijaksanaan, dan warisan ruhani.