JATIMTIMES - Dalam gelombang besar ekspansi Mataram ke wilayah timur Pulau Jawa pada akhir abad ke-16, tercatat sebuah peristiwa yang hampir luput dari perhatian para penulis kronik Jawa, namun justru mendapatkan sorotan menarik dari sudut pandang para pelaut dan penjelajah Belanda. Peristiwa tersebut adalah serangan Mataram terhadap kota pelabuhan Tuban pada tahun 1598–1599, sebuah upaya militer yang tampaknya gagal, namun mencerminkan ketegangan laten antara kekuasaan pedalaman dan kekuatan lama di pesisir utara.
Kota Tuban, dalam catatan pelayaran Belanda "Begin ende Voortgangh", digambarkan sebagai kota pelabuhan yang sangat maju, bertembok kokoh, dan diperintah oleh seorang raja yang mereka sebut sebagai "raja paling berkuasa di seluruh Jawa". Tuban bukanlah kota biasa. Ia adalah perwujudan kebudayaan Majapahit yang belum sepenuhnya musnah. Bangunannya mencerminkan gaya Majapahit akhir: balai-balai terbuka di atas tanah tinggi, bangunan dengan dinding batu bata dan lantai berubin, serta tata letak yang kompleks dan berlapis-lapis. Kota ini menjadi semacam kapsul waktu yang menyimpan corak aristokrasi pesisir lama yang bertahan terhadap arus Islamisasi dan sentralisasi kekuasaan dari pedalaman.
Baca Juga : Prajurit Jawa Modern: Sekolah Serdadu Mangkunegara IV dan Warisan Carl Winter
Dalam atmosfer semacam inilah, hadir figur yang disebut oleh para pelaut Belanda sebagai "raja gemuk". Sosok ini tidak hanya mengesankan karena tubuhnya yang besar dan keanggunan pakaiannya yang berbahan beledu hitam, lengkap dengan keris berhulu emas bergambar muka iblis, tetapi juga karena daya karismatik dan kapasitas militernya. Dalam waktu 24 jam, ia dikatakan mampu mengerahkan ribuan pasukan berkuda dan infanteri, menunjukkan bahwa Tuban masih menjadi kekuatan yang disegani, meskipun bukan bagian dari lingkaran kekuasaan Mataram.
Namun, latar belakang ketegangan antara Mataram dan Tuban tidak bisa dilepaskan dari konteks yang lebih luas pasca wafatnya Senapati Kediri tahun 1594. Dalam rentang tujuh tahun setelahnya, sumber-sumber babad resmi seperti Babad Tanah Jawi dan Serat Kandha bungkam, kecuali mencatat pemberontakan Pati tahun 1600. Tapi babad-babad sangkala justru menyiratkan adanya gejolak bawah tanah di Jawa Timur, termasuk konflik antara partai kuning dan partai hitam di kalangan bupati, yang konon disetujui oleh Sunan Giri. Pasuruan kala itu juga menyerang Blambangan, wilayah Hindu terakhir di ujung timur pulau.
Dari keruwetan itu, serangan Mataram ke Tuban pada 1598–1599 patut diduga sebagai bagian dari proyek dominasi Panembahan Senapati terhadap wilayah pesisir. Namun Mataram tidak mudah menaklukkan kota dengan benteng kayu yang disusun rapi dan pasukan berkuda yang terorganisasi. Justru dalam masa itu, pelaut Belanda sempat singgah dan meninggalkan catatan berharga mengenai struktur sosial dan arsitektural kota Tuban. Mereka menggambarkan kehidupan istana sang raja sebagai perpaduan kemewahan, tata tertib militer, dan hedonisme klasik.
Raja Gemuk Tuban memiliki tandu yang diletakkan di atas gajah, dan ia menyambut para tamu asing secara langsung di pantai, sebelum mengantar mereka ke istana yang luas. Ada tiga belas ekor gajah berjajar di serambi. Kandang ayam jago, burung betet, bebek, dan bahkan anjing-anjing ditempatkan dalam kompleks yang teratur. Lebih jauh lagi, sang raja memiliki empat istri sah dan sekitar tiga ratus selir, mencerminkan kelimpahan dan hedonisme aristokrasi pesisir. Di kamar "Merpati", yang merupakan ruang tidur pribadinya, tampak bahwa gaya hidup elite Tuban tidak jauh berbeda dari kebesaran masa Majapahit.
Para bangsawan Tuban sangat menyukai kuda dan permainan watangan. Mereka tampil elegan, tapi tidak dikenal rajin dalam berdagang secara langsung. Kapal-kapal mereka menjelajahi Nusantara bahkan sampai Filipina, tapi kegiatan perdagangan sehari-hari dijalankan oleh para abdi. Para bangsawan itu lebih menyerupai kaum aristokrat Banten: angkuh, berseni, namun setengah pedagang.
Gagalnya serangan Mataram atas Tuban kemungkinan besar disebabkan oleh kombinasi faktor militer dan kultural. Di satu sisi, kekuatan militer Tuban belum sepenuhnya lapuk. Di sisi lain, Mataram yang dipimpin Senapati kala itu masih membangun jaringan kekuasaannya dari pedalaman ke pesisir. Belum semua wilayah mengakui hegemoni Mataram secara penuh. Sumber-sumber asing seperti Begin ende Voortgangh menunjukkan bahwa dunia luar masih melihat Tuban sebagai pusat kekuatan yang otoritatif dan mandiri.
Tapi kegemilangan itu hanyalah penangguhan sementara. Dalam beberapa dekade berikutnya, Mataram di bawah Sultan Agung secara sistematis menaklukkan pesisir utara Jawa, dari Surabaya hingga Gresik. Tuban, pada akhirnya, tidak luput dari cengkeraman itu. Namun pada akhir abad ke-16, Tuban masih berdiri sebagai benteng terakhir warisan Majapahit di bawah bayang-bayang raja gemuk yang penuh wibawa.
Historiografi atas episode ini menunjukkan keterbatasan sumber babad Jawa, yang lebih memilih merekam peristiwa agung di pusat kekuasaan daripada kegagalan dan perlawanan di daerah. Beruntunglah bahwa catatan Eropa yang bersifat deskriptif dan etnografis mampu melengkapi mosaik sejarah kita, menghidupkan kembali suasana kota pelabuhan yang bergelut antara dunia lama dan tekanan dari dinasti baru.
"Raja Gemuk dan Kota Bertembok" bukanlah dongeng tentang kemunduran, melainkan catatan tentang daya tahan sebuah kota pesisir yang menolak tenggelam tanpa jejak. Di tengah riuhnya gelombang Islamisasi dan ekspansi militer dari pedalaman, Tuban berdiri dengan kepala tegak, mempertahankan kebesaran masa lampau, meski akhirnya harus menerima nasib sebagai bagian dari sejarah besar Mataram. Namun untuk sejenak, dalam tandu di atas gajah dan istana penuh ukiran batu bata, sang raja gemuk membuktikan bahwa pesisir belum sepenuhnya tunduk pada takdir.
Tuban, pada akhir abad ke-16, adalah panggung terakhir kejayaan aristokrasi Majapahit di pantai utara Jawa. Dan di pusat panggung itu, duduklah sang raja—gemuk, berkeris emas, bersila di atas gajah—menyambut sejarah yang perlahan menggulung dari timur ke barat, dari pedalaman ke pesisir, dari Senapati ke Sultan Agung.
Panembahan Senapati: Raja Jawa Pertama Mataram dan Cita-cita Cakravartin
Di tanah Mentaok, yang kelak dikenal sebagai Kotagede, fondasi dinasti Islam terbesar di pedalaman Jawa ditancapkan oleh seorang tokoh bernama Sutawijaya. Putra Ki Gede Pemanahan ini, setelah melepaskan diri dari kekuasaan Pajang pasca-wafatnya ayahnya pada 1575, memproklamasikan kedaulatan Mataram tahun 1582. Dengan gelar agung "Panembahan Senopati ing Alaga Sayidin Panatagama," ia bukan hanya pemimpin politik dan militer, namun juga menjadi otoritas spiritual tertinggi di kerajaan yang berlandaskan Islam, namun tetap kuat akar budaya Jawanya.
Panembahan Senapati tidak mendirikan Mataram dari ruang kosong. Ia adalah buah dari aliansi politik dan militer antara Mataram dan Pajang yang bertumbuh sejak keterlibatannya dalam pembunuhan Arya Penangsang bersama Jaka Tingkir (Sultan Hadiwijaya). Sebagai imbalan, ia memperoleh tanah Mentaok. Dari sinilah, Mataram berkembang menjadi kerajaan agraris yang disegani. Di bawah kekuasaannya, wilayah-wilayah seperti Kedu, Bagelen, Demak, Jepara, dan bahkan sebagian wilayah Blora dan Ponorogo jatuh ke dalam kendali Mataram.
Baca Juga : Perang dan Problematika Nilai Kemanusiaan
Senapati memadukan kekuatan militer dan spiritual dalam satu wadah kekuasaan. Ia memelihara hubungan erat dengan para wali Kadilangu, dan menjadikan Islam sebagai dasar sistem pemerintahan. Tapi tidak serta-merta melepas tradisi lokal: Islam Kejawen dan praktik sufisme lokal tetap hidup. Dalam Serat Kandha, kekuasaannya disebut memperoleh legitimasi spiritual dari Ratu Kidul, membentuk sumbu mistik antara kekuasaan raja dan kekuatan gaib maritim.
Namun warisan Senapati bukan hanya tanah dan kekuasaan, melainkan benih konflik dinasti yang berakar dalam perkawinannya dengan enam perempuan dari trah politik penting: Demak, Pati, Kajoran, bahkan keturunan Giri. Dari para istri ini lahir tokoh-tokoh yang kelak bertikai memperebutkan takhta Mataram.
Wafatnya Panembahan Senapati di Kajenar tahun 1601 membuka babak baru. Mas Jolang, putranya dari Ratu Mas Mustika Jawi (Pati), naik takhta sebagai Panembahan Hanyakrawati. Gelarnya mencerminkan ambisi: "Adi Prabu Hanyakrawati Senapati ing Ngalaga" adalah warisan Singhasari-Kertanegara yang mengklaim posisi cakravartin—penguasa semesta. Ia tidak hanya ingin menjadi raja Mataram, tapi raja seluruh Jawa.
Namun, seperti dikisahkan dalam Babad Nitik Sultan Agung, takhta Mataram telah diramalkan bukan untuknya. Dalam sayembara rahasia di istana, Senapati menantang anak-anaknya untuk menggulingkan singgasana. Tak ada yang mampu, hingga Retno Dumilah, istrinya dari Madiun, yang sedang mengandung, menggulingkan kursi tersebut. Sang bayi yang dikandungnya, kelak bernama Raden Mas Rangsang—Sultan Agung.
Berdasarkan berbagai versi babad, Raden Mas Rangsang (kelak bergelar Sultan Agung Hanyakrakusuma) memang umumnya disebut sebagai putra Panembahan Hanyakrawati (Mas Jolang) dari permaisurinya Ratu Mas Hadi, bukan putra langsung Panembahan Senapati.
Namun, Babad Nitik Sultan Agung dan sejumlah versi lisan dari tradisi keraton mencatat varian naratif yang berbeda, yakni bahwa Raden Mas Rangsang adalah putra Panembahan Senapati dengan Ratu Retno Dumilah, dan karena itu Mas Jolang (Hanyakrawati) disebut sebagai kakak tirinya.
Ketakutan Hanyakrawati akan ramalan ini menjadi akar paranoia politik. Ia memerintahkan Pangeran Purbaya, kakaknya, untuk membunuh Mas Rangsang. Namun Purbaya menyelamatkan adiknya. Ketika akhirnya Rangsang kembali sebagai Harya Manggala, Hanyakrawati mencoba membunuhnya sendiri. Dalam duel di Panggung Krapyak, Hanyakrawati justru tewas, konon bukan karena tandukan banteng, melainkan tikaman keris oleh Purbaya, yang memalsukan kejadian demi menjaga kehormatan istana.
Wafatnya Hanyakrawati menandai klimaks dari intrik internal Mataram. Putranya, Mas Martapura, hanya naik takhta satu hari, lalu menyerahkan kuasa kepada Rangsang. Maka naiklah Sultan Agung ke takhta, dengan misi menyatukan Jawa dan membalas kehinaan masa lalu. Ia menyerang Batavia dua kali dan menghapus jejak Belanda dari pesisir Jawa. Ironi sejarah: jika Hanyakrawati menjalin hubungan dengan VOC melalui Juan Pedro Italiano, Sultan Agung menutupnya dengan perang.
Panembahan Senapati bukan hanya pendiri dinasti, melainkan simbol kekuasaan spiritual-politis Jawa. Dari tangannya lahir Mataram yang menjadi pusat politik, budaya, dan perlawanan. Tapi dari darahnya pula mengalir dendam dan konflik keluarga yang akan menentukan arah sejarah Jawa untuk seabad ke depan. Dari Kajenar hingga Krapyak, dari singgasana yang digulingkan hingga tikaman di alas pemburuan, dinasti Mataram dibangun oleh darah, sumpah, dan sabda ratu yang tak bisa dibolak-balik.