JATIMTIMES - Awal abad ke-19, Kesultanan Yogyakarta dilanda ketegangan tajam. Bukan semata antara istana dan kompeni Belanda, melainkan juga antara ayah dan anak: Sultan Hamengkubuwana II dan Pangeran Adipati Anom (Raden Mas Suraja) yang kelak naik takhta sebagai Hamengkubuwana III.
Ketegangan ini diperparah oleh kehadiran tiga menantu Sultan yang disayangi: Raden Ronggo Prawirodirdjo III, Raden Tumenggung Sumodiningrat, dan Raden Patih Renggengkoro. Khususnya Raden Ronggo, menjadi pusat kecemburuan Adipati Anom dan simbol perebutan kasih sayang politik.
Baca Juga : Bungkam soal Tampar Keisha Alvaro, Instagram Dimas Anggara Diserbu Netizen, Kasus 2018 Disorot Lagi
Secara lahiriah, Raden Ronggo adalah bangsawan muda berdarah mancanagara yang karismatik dan visioner. Ia menikahi putri Sultan dan ditarik ke dalam lingkaran dalam kekuasaan. Namun, popularitas dan kedekatannya dengan Hamengkubuwana II membangkitkan amarah dalam diri Pangeran Adipati Anom. Keadaan ini mencerminkan bukan sekadar konflik pribadi, tapi cermin dari persaingan ideologis dan politik antara konservatisme keraton dan gelombang reformis dari kalangan muda.
Latar Sosial-Politik Menjelang 1810
Sejak akhir abad ke-18, kompeni Hindia-Belanda semakin menancapkan pengaruh di tanah Jawa. Perjanjian Giyanti (1755) yang memecah Mataram menjadi Yogyakarta dan Surakarta telah menggerus kedaulatan internal. Di masa Hamengkubuwana II, ketegangan antara kekuasaan raja dan pihak Residen Belanda (Overste) kian memuncak.
Sultan Hamengkubuwana II dikenal keras kepala dan menolak tunduk secara penuh kepada kompeni. Ketika Overste Iseldhik ditugaskan sebagai pejabat penghubung di Yogyakarta, terjadi sejumlah konflik kebijakan. Dalam satu peristiwa, Iseldhik menyetujui perintah Sultan yang kemudian dianggap tidak selaras dengan kehendak gubernur jenderal.
Teguran dari pusat pemerintahan kolonial di Batavia membuat hubungan Sultan dengan Iseldhik merenggang. Akhirnya, Iseldhik mengundurkan diri dengan rasa kecewa, menyerahkan kunci kekuasaan dan memperingatkan agar Pangeran Natakusuma dan Raden Tumenggung Notoyudo berhati-hati terhadap manuver istana.
Ketidakharmonisan antara Pangeran Adipati Anom dan ketiga iparnya bukan semata soal keluarga. Kecemburuan muncul karena perhatian dan kepercayaan Sultan lebih banyak dicurahkan kepada para menantunya, khususnya Raden Ronggo, dibandingkan kepada putra kandungnya sendiri. Raden Ronggo dianggap lebih layak untuk mendampingi Sultan dalam banyak urusan penting negara. Hal ini memicu dendam laten dalam diri Adipati Anom.
Raden Ronggo bahkan disebut-sebut dalam ramalan para ahli nujum sebagai tokoh yang kelak akan menjadi raja, sebuah prediksi yang menambah ketegangan di lingkungan dalam keraton. Menurut tafsir spiritual, tanah yang ditapaki Raden Ronggo, yakni Alas Pethik, memiliki aura kerajaan dan menjadi tempat 'bergetar'-nya takdir. Bagi para pembaca spiritual Jawa, ramalan ini bukan sekadar mistik, tetapi penanda realitas sosial-politik yang tengah berubah.
Patih Danurejo, Sosrodiningrat, dan Gunung Wilis
Ketegangan antara Adipati Anom dengan tiga iparnya mempertemukan sejumlah tokoh kunci. Ki Patih Danurejo—salah satu tokoh paling berpengaruh di pemerintahan Yogyakarta—berada di pihak Sultan dan menantu-menantunya. Namun hubungan politik ini bukan tanpa risiko. Raden Sosrodiningrat, mertua Adipati Anom, memohon dukungan kepada Pangeran Notokusumo, pamanda Adipati Anom, untuk meredam gejolak politik yang membahayakan posisi anak menantunya.
Dalam satu episode spiritual yang mencerminkan cara aristokrat Jawa memaknai politik sebagai jalan batin, Raden Sosrodiningrat dan Pangeran Notokusumo melakukan tirakat dan semedi di Gunung Wilis. Mereka memohon agar Adipati Anom kelak menjadi Sultan yang bijaksana dan menantunya tetap setia. "Apabila dua tokoh besar dalam istana tidak menyukai ananda Pangeran Adipati Anom, pastilah keadaan kesultanan Yogyakarta menjadi kucar-kacir," ujar Sosrodiningrat.
Sementara konflik internal membara, pihak kompeni di bawah komisaris jenderal dari Semarang mengambil langkah politik. Ia menginstruksikan agar dibuat tugu perbatasan antara Surakarta dan Yogyakarta, menandai wilayah kuasa dua kerajaan. Patih kedua kerajaan diminta datang ke Semarang, tetapi sambutan terhadap Patih Danurejo dingin.
Ketegangan itu memuncak ketika komisaris jenderal menegaskan bahwa siapa pun raja yang menolak pendirian loji (benteng) kompeni di batas wilayah, akan dianggap musuh dalam selimut.
Loji perbatasan ini dibangun di wilayah Klaten dan dijaga pasukan kompeni. Langkah ini secara simbolis dan politis merupakan pemecahan wilayah secara fisik dan ideologis. Kompeni tidak hanya memainkan peran wasit, tapi juga mengarahkan narasi penguasa lokal.
Sultan Hamengkubuwana II memiliki watak yang keras, tak mau tunduk kepada kompeni, namun juga emosional dalam menilai peran anaknya sendiri. Ia lebih menyayangi menantu-menantunya, memandang mereka sebagai pewaris loyalitas, bukan sekadar keturunan darah. Ia kerap berburu di Indrakila dan Bukit Banyakan, meninggalkan urusan istana untuk meresapi alam sebagai bagian dari jalan kebatinan seorang raja.
Namun kesenangan ini menjadi beban bagi para bupati yang diperintahkan menyediakan hewan buruan di musim hujan. Perintah ini memunculkan gerutuan dan keluh kesah para mantri, menunjukkan bahwa hubungan Sultan dan elit birokrasi lokal juga tak selalu harmonis.
Makna Historis: Jejak Menuju Perang Jawa
Ketegangan keluarga, intrik politik istana, dan intervensi Kompeni menjadikan Raden Ronggo sebagai figur sentral. Ia menjadi simbol perubahan, tapi juga korban konflik struktural. Adipati Anom memberi denda kepada ipar-iparnya sebagai bentuk hukuman, bukan karena kesalahan nyata, tetapi karena tekanan psikologis dan kecemburuan. Sementara Sultan tetap melindungi mereka, situasi ini menciptakan ketegangan seperti “api dalam sekam.”
Puncak konflik adalah keengganan Sultan mengakui Adipati Anom sebagai penerus yang sah secara penuh. Ketika Sultan mempertimbangkan tokoh lain, bahkan Raden Ronggo, untuk menggantikannya, istana menjadi medan pertarungan diam-diam.
Intrik yang melibatkan Sultan Hamengkubuwana II, Pangeran Adipati Anom, Raden Ronggo Prawirodirdjo III, dan kompeni Belanda merupakan salah satu akar psikologis dan politik dari meletusnya Perang Jawa (1825–1830). Dalam kerangka sejarah yang lebih luas, rangkaian peristiwa ini membentuk karakter Pangeran Diponegoro—putra Adipati Anom—yang tumbuh dalam atmosfer ketegangan, ketidakadilan, dan konflik kekuasaan di dalam istana. Ia menyaksikan langsung bagaimana ayahnya dilemahkan oleh politik keraton dan intervensi kompeni, bagaimana para ipar ayahnya ditekan, dan bagaimana kedaulatan raja dirongrong secara perlahan.
Menariknya, Pangeran Diponegoro menjadikan Raden Ronggo Prawirodirdjo III sebagai figur idola. Ia memperistri putri Ronggo, Raden Ayu Maduretno, dan turut mendidik putra Ronggo, Sentot Alibasyah Prawirodirdjo, yang kelak menjadi panglima utama dalam Perang Jawa.
Baca Juga : Pakubuwono X, Bromartani, dan Nasionalisme Lewat Lembar Surat Kabar
Ramalan Alas Pethik tentang Ronggo menjadi raja adalah simbol harapan rakyat akan tatanan baru yang merakyat dan spiritual. Namun realitas sejarah menyaksikan Ronggo ditumbangkan, dan Diponegoro—yang kelak menjadi menantu Ronggo—mewarisi dendam sejarah tersebut.
Dengan demikian, cerita cemburu dalam istana bukan sekadar drama keluarga, tetapi menjadi titik temu antara spiritualitas, politik, dan perjuangan kelas bangsawan melawan dominasi kolonial. Inilah jejak-jejak awal dari apa yang kelak meletus sebagai perang terbesar melawan kolonialisme di Jawa.
Pangeran Diponegoro: Ikatan Damai antara Hamengkubuwana III dan Ronggo Prawirodirdjo III
Di tengah krisis internal Kraton Yogyakarta pasca wafatnya Sultan Hamengkubuwana I, dua tokoh utama muncul dalam pusaran kekuasaan dan spiritualitas tanah Jawa: Adipati Anom (kelak bergelar Hamengkubuwana III) dan Raden Ronggo Prawirodirdjo III. Pertemuan damai di antara keduanya—meski hanya berlangsung singkat dan bersifat formal—meninggalkan jejak mendalam dalam membentuk alam bawah sadar politik dan spiritual Pangeran Diponegoro, putra Adipati Anom.
Raden Ronggo Prawirodirdjo III adalah sosok bupati Madiun ke-16 (1799–1810), keturunan Sultan Abdul Kahir dari Bima melalui garis Raden Ronggo Prawirodirdjo I, dan menantu Sultan Hamengkubuwana II. Dengan menikahi GKR Maduretno, putri Sultan Sepuh, ia menempati posisi strategis dalam peta kekuasaan Yogyakarta. Namun kedekatannya dengan istana tidak menjadikannya patuh. Ia dikenal keras, mandiri, dan anti-Kompani. Saat monopoli jati Belanda menindas rakyat hutan, Ronggo melawan. Ketika kerusuhan meletup di perbatasan Jogja-Solo, ia memerintahkan pembakaran desa.
Pada 1808–1810, kekejaman Herman Willem Daendels menyulut bara perlawanan Ronggo. Ia mendeklarasikan diri sebagai Ratu Adil, menghimpun dukungan dari umat Islam dan komunitas Tionghoa. Namun pada 17 Desember 1810, ia gugur dalam pertempuran di Kertosono, tubuhnya dimandikan di Bengawan Solo dan dibawa ke Yogyakarta. Perjuangan singkat, tapi membekas.
Bagi Adipati Anom, ayah Diponegoro, relasinya dengan Raden Ronggo Prawirodirdjo III tidak pernah harmonis. Ia adalah putra Sultan Sepuh yang justru tak mendapat dukungan dari menantu ayahandanya sendiri. Hubungan itu tampak membeku—setidaknya sampai Diponegoro secara tak terduga menikahi putri Ronggo.
Peristiwa ini menjadi titik balik yang mengubah arah sejarah. Setelah pernikahan pertamanya gagal, Diponegoro diperintahkan untuk melamar Ratu Bendoro, janda dari Sumodiningrat. Namun, lamaran itu ditolak secara halus. Dalam perjalanan kembali, Diponegoro justru terpikat pada Raden Ayu Maduretno, putri ketiga Raden Ronggo Prawirodirdjo III dan GKR Maduretno. Ketertarikan itu segera dilaporkan oleh para abdi dalem kepada Sultan. Upacara pertunangan pun segera disusun, dan dalam waktu singkat Diponegoro menikahi Maduretno—cucu Raden Ronggo Prawirodirdjo II sekaligus cucu Sultan Hamengkubuwana II.
Upacara digelar di keraton, dilanjutkan pesta semalam suntuk di Tegalrejo. Dalam Babad Diponegoro, sang pangeran menyejajarkan perkawinannya dengan penyatuan Wisnu dan Dewi Sri, dengan ayahandanya sebagai Batara Guru. Ia menulis dirinya sebagai Arjuna yang menerima wahyu di Parangkusumo. Bukan sekadar mitos: ini adalah artikulasi politik, pewahyuan dan perlawanan.
Perkawinan ini melahirkan sesuatu yang lebih dari sekadar ikatan rumah tangga. Maduretno menjadi satu-satunya istri yang disebut penuh cinta dalam babad sang pangeran. Ia tetap mendampingi Diponegoro hingga wafatnya di medan perang pada November 1827. Ia juga menjadi penghubung spiritual dan genealogis antara garis darah Mataram dan keluarga Ronggo Prawirodirjan, leluhur pengasuh Diponegoro: Ratu Ageng Tegalreja.
Dari pernikahan ini pula lahir simpul simbolis: Diponegoro mewarisi dua kutub kekuatan. Dari ayahnya: wahyu politik dan garis keraton. Dari mertua dan leluhur ibunya: keberanian menolak kolonialisme. Bahkan Sentot Alibasyah, putra Raden Ronggo Prawirodirdjo III dari istri lain, kelak diasuh oleh Diponegoro dan dijadikan panglima perangnya.
Pertemuan damai antara Adipati Anom dan Raden Ronggo III tak pernah tercatat berlangsung hangat. Tapi pernikahan anak-anak mereka menjadi upaya pemulihan, rekonsiliasi darah yang terlambat. Ronggo telah gugur, tetapi ideologinya hidup dalam putrinya dan menantunya. Dalam hal ini, dendam sejarah tidak diwariskan sebagai luka, tetapi sebagai api kesadaran.
Perang Jawa (1825–1830) bukan hanya konflik takhta, tetapi perang spiritual antara wahyu sejati dan kuasa palsu. Dalam konteks itu, sosok Raden Ronggo menjadi semacam proto-Diponegoro: pelawan pertama yang berani menantang Kompeni dengan semangat keadilan dan identitas. Bahwa Diponegoro menikahi anaknya, bukan kebetulan sejarah, tetapi pertanda bahwa api Ronggo belum padam—ia sekadar berpindah ke tangan sang pangeran ziarah.
Dari titik inilah, sejarah Jawa bergerak menuju babak pertarungan terakhir antara Islam-Jawa, kolonialisme, dan takhta. Dan semua itu bermula dari pertemuan damai yang diam-diam menyatukan dua musuh lama dalam satu garis perjuangan.