JATIMTIMES - Dalam sejarah panjang Kesultanan Mataram Islam, sedikit tokoh yang menyandang paradoks sekuat sosok Susuhunan Pakubuwana II. Dia adalah penutup dari era Kraton Kartasura sekaligus pendiri Keraton Surakarta Hadiningrat.
Warisan dan silsilahnya tak hanya menaut pada para bangsawan Jawa Mataraman, tetapi menjalin pula dengan jejak-jejak suci para wali, hingga kepada Maulana Ibrahim Asmarakandi dan bahkan Syekh Jumadil Qubra. Dalam narasi panjang historiografi kerajaan Jawa, Pakubuwana II memegang posisi unik: sebagai pemegang wahyu kedaton terakhir dari Kartasura, dan pemindah legitimasi sakral ke tanah baru: Sala.
Baca Juga : 8 Desa Jadi Contoh Koperasi Merah Putih Tingkat Nasional, Satu dari Jember
Pakubuwana II, atau Gusti Raden Mas Prabasuyasa, adalah figur monumental dalam sejarah Dinasti Mataram Islam. Ia lahir di Keraton Kartasura pada hari Selasa Pahing, 23 Syawal 1634 Hijriah, bertepatan dengan 8 Desember 1711 Masehi. Dalam ranah politik dan spiritual Jawa, Pakubuwana II merupakan raja terakhir yang bertahta di Kartasura dan menjadi pendiri Keraton Surakarta Hadiningrat. Namun, jauh melampaui pencapaiannya sebagai penguasa, jejak nasab Pakubuwana II mengungkapkan keterhubungannya dengan salah satu trah ulama besar Nusantara: Sunan Kudus. Nasab ini bukan sekadar silsilah darah, melainkan jaringan keturunan yang mengikat kekuasaan raja dengan spiritualitas Islam awal di Jawa.
Silsilah ini bermula dari Syekh Jumadil Qubra, seorang tokoh penting dalam penyebaran Islam di dunia Melayu. Dari dua istri beliau, yakni Siti Patimah Kamarumi (putri Sultan Ngabdul Hamid dari negeri Rum) dan Siti Patimah Makhawi (putri Syekh Jakfar Sadik dari Makkah), lahirlah banyak keturunan ulama besar, termasuk Maulana Ibrahim Asmarakandi atau lebih dikenal sebagai Maulana Ngabdul Ngali Ibrahim.
Maulana Ibrahim Asmarakandi menetap di Campa setelah sebelumnya tinggal di Jeddah. Ia menikah dengan Dewi Candrawulan, putri Raja Kiyan dari Campa. Dari perkawinan ini lahirlah Sayid Ngali Rahmat, yang kemudian dikenal di tanah Jawa sebagai Sunan Ngampel Denta atau Sunan Ampel—seorang wali besar yang menetap di Surabaya dan menjadi penghubung penting antara Campa dan Majapahit melalui jaringan pernikahan dengan kalangan bangsawan lokal.
Sunan Ampel memiliki keturunan, salah satunya adalah Nyai Agêng Manyuran yang menikah dengan Sunan Ngudung—putra Kalifah Kusèn, cucu Arya Baribin dari Madura. Dari perkawinan ini lahirlah Sunan Kudus, seorang wali besar dan ulama agung yang menjadi pelanjut dakwah Islam di pesisir utara Jawa, tepatnya di kota Kudus.
Sunan Kudus menikah dengan putri dari sejumlah bangsawan terkemuka, termasuk dari Kalipodhang, Adipati Terung, dan Adipati Kendhuruan. Dari pernikahan-pernikahan ini lahir beberapa tokoh penting, di antaranya Panembahan Kudus, Pangeran Palembang, dan Adipati Sujaka. Panembahan Kudus—putranya dari pernikahan dengan putri Kalipodhang—kemudian menikah dengan keturunan trah Giri dan menurunkan Pangeran Demang, yang selanjutnya berputra Pangeran Rajungan.
Pangeran Rajungan memperkuat jaringan bangsawan melalui pernikahannya dengan trah Kyai Maja Agung III, dan dari keturunannya lahir Pangeran Sarêngat, yang diberi kedudukan penting oleh Sunan Amangkurat I dan menjadi penguasa di Kudus. Anak dari Pangeran Sarêngat inilah yang kelak dikenal sebagai Pangeran Kudus II, atau Raden Suradipura.Pangeran Kudus II memiliki dua putra: Mas Jawa dan Mas Jawi. Mas Jawi kelak dikenal sebagai Raden Adipati Sumadipura di Pati.
Dari tokoh bangsawan pesisir yang dikenal sebagai Raden Adipati Sumadipura, lahirlah seorang putra bernama Raden Bagus Yata. Sosok ini kemudian naik menjadi Bupati Kudus dengan gelar Raden Adipati Tirtakusuma. Sebagai pemimpin daerah yang sarat nilai religius dan kultural, Tirtakusuma bukan hanya tokoh administratif, tetapi juga representasi dari kesinambungan trah bangsawan-santri di wilayah yang memiliki kedekatan historis dengan para wali, khususnya Sunan Kudus.
Dari keluarga inilah muncul seorang putri yang kelak menempati posisi istimewa dalam sejarah Keraton Mataram. Ia adalah Kanjeng Ratu Kencana, anak sulung dari Raden Adipati Tirtakusuma. Sebagai bangsawati berdarah Kudus, Kanjeng Ratu Kencana dibesarkan dalam lingkungan keluarga yang menjaga nilai-nilai keislaman dan tradisi aristokratik secara seimbang. Jalinan nasabnya terhubung dengan trah Sunan Kudus, menjadikan dirinya sebagai figur ideal untuk masuk dalam jaringan elite keraton Jawa.
Ketika Susuhunan Amangkurat IV mencari permaisuri utama, pilihannya jatuh kepada Kanjeng Ratu Kencana. Pernikahan ini memperkuat ikatan antara kekuasaan politik pusat dan jaringan aristokrasi religius di pesisir utara Jawa. Setelah kelahiran putranya yang kelak naik tahta, Kanjeng Ratu Kencana menyandang gelar Kanjeng Ratu Agêng, menandai peralihannya dari permaisuri menjadi ibu suri yang disegani.
Dari pernikahan antara Amangkurat IV dan Kanjeng Ratu Kencana, lahir tiga orang anak yang berperan penting dalam sejarah kerajaan. Putri pertama, Raden Ayu Pambayun, wafat saat masih bayi—sebuah peristiwa yang dikenang dalam tradisi keraton dengan istilah sedo timur, atau wafat di usia belia. Anak kedua, Gusti Raden Mas Prabasuyasa, kelak dinobatkan sebagai Susuhunan Pakubuwana II, penguasa yang memindahkan pusat kerajaan dari Kartasura ke Surakarta. Sementara itu, anak ketiga adalah Kanjeng Ratu Maduretna, yang juga berperan dalam memperkuat jejaring keluarga besar keraton melalui pernikahan strategis dengan kerabat dekat dari pihak ayahnya.
Jalinan darah antara trah Tirtakusuma Kudus dan dinasti Mataram ini bukan hanya menciptakan garis keturunan raja, tetapi juga menunjukkan bagaimana trah religius pesisir dapat masuk dan menyatu dengan inti kekuasaan politik di pedalaman Jawa. Perkawinan antarbangsawan semacam ini menjadi fondasi dalam pembentukan jaringan elite yang memadukan kekuasaan, spiritualitas, dan legitimasi budaya.
Putra kedua Raden Adipati Tirtakusuma adalah Raden Ayu Wirasari. Ia menurunkan Raden Wiratmeja, yang kemudian bergelar Raden Megatsari. Cabang ini memperkuat keterhubungan antara trah Kudus dengan kalangan birokrat kerajaan.
Putra ketiga, Raden Martanangga, adalah ayah dari Raden Arya Hendranata. Sosok ini dikenal dalam sejarah karena ikatan pernikahannya dengan dua putri Susuhunan Amangkurat IV. Pertama, ia menikahi Gusti Raden Ayu Rambe, putri dari Mas Ayu Rondonsari, namun kemudian bercerai. Gusti Raden Ayu Rambe kemudian menjadi istri Adipati Danureja I, Patih pertama Kesultanan Yogyakarta. Kedua, Raden Arya Hendranata menikah dengan Kanjeng Ratu Maduretna, putri Amangkurat IV dari permaisuri utama Kanjeng Ratu Kencana—artinya, ia menikahi sepupunya sendiri dari pihak ibu. Kekerabatan silang semacam ini umum terjadi dalam lingkungan istana sebagai upaya memperkuat legitimasi kekuasaan.
Raden Martakusuma, anak keempat dari Tirtakusuma, adalah ayah dari Raden Martapura, yang kemudian dikenal pula dengan nama Raden Paridan. Melalui jalur ini, muncul tokoh-tokoh penting birokrasi dan bangsawan istana.
Raden Adipati Tirtakusuma juga memiliki putri bernama Raden Ayu Anggakusuma. Ia adalah ibunda dari Raden Suwandi dan Raden Suryanagara, yang keduanya kelak memiliki peran dalam urusan pemerintahan dan militer lokal di pesisir utara Jawa.
Anak bungsu Tirtakusuma, Raden Wangsèngsari, adalah ibu dari Raden Wangsakusuma yang menetap di Pati, menegaskan keterkaitan dinasti Kudus dengan wilayah pantai utara Jawa Tengah bagian timur.
Sebagaimana telah diulas di awal artikel ini, melalui sosok Kanjeng Ratu Kencana, garis keturunan ini mengalir hingga kepada tokoh sentral: Gusti Raden Mas Prabasuyasa. Seusai wafatnya ayahanda beliau, Susuhunan Amangkurat IV, pada tahun 1726, Prabasuyasa yang saat itu masih berusia 15 tahun dinobatkan sebagai Raja Kartasura dengan gelar Susuhunan Pakubuwana II. Penobatan tersebut dilangsungkan pada hari Kamis Legi, 16 Besar tahun 1650 Jawa, yang bertepatan dengan 15 Agustus 1726 Masehi.
Dengan penobatan itu, darah Sunan Kudus melalui jalur Nyai Ageng Manyuran dan Panembahan Kudus secara resmi menyatu dalam struktur kekuasaan Mataram Islam. Jalur ini tidak hanya memberikan legitimasi politik, tetapi juga menegaskan kesinambungan spiritual dan intelektual dari Walisanga hingga istana Jawa. Pakubuwana II, melalui ibundanya Kanjeng Ratu Kencana, merupakan cicit dari Raden Adipati Tirtakusuma. Garis leluhur Tirtakusuma bersambung hingga ke Sunan Kudus melalui jalur Panembahan Kudus, Pangeran Demang—yang wafat dan dimakamkan di Kediri—dan Pangeran Rajungan.
Dalam krisis besar yang menimpa Keraton Kartasura pada masa pemberontakan Tionghoa dan Geger Pacinan, serta dalam pembangunan Keraton Surakarta sebagai simbol pemulihan dinasti, keturunan trah Kudus ini memainkan peran penting.
Dengan demikian, Pakubuwana II bukan sekadar tokoh politik—ia adalah persilangan sejarah antara kekuasaan raja dan warisan para wali, antara darah Mataram dan darah para pendakwah sufi. Nasabnya merupakan jaringan kompleks dari para pembaru, penasehat kerajaan, ulama, dan adipati yang membentuk wajah politik dan spiritual tanah Jawa di era transisi antara abad ke-17 dan 18.
Penobatan Prabasuyasa sebagai Susuhunan terjadi pada 15 Agustus 1726 M, ketika ia masih berusia 15 tahun. Namun pemerintahannya tidak berlangsung dalam damai. Dalam masa kekuasaannya selama lebih dari dua dekade, Kartasura diguncang berbagai krisis: pemberontakan, intrik istana, dan yang paling dahsyat—Geger Pecinan 1740–1743, pemberontakan berdarah yang dipicu ketegangan antara etnis Tionghoa, elit kraton, dan pengaruh VOC.
Geger Pecinan mengubah segalanya. Kartasura hancur, secara fisik maupun simbolik. Wahyu kedaton, yang dalam kepercayaan Jawa menjadi sumber legitimasi spiritual dan politik, dianggap hilang. Dalam kekalutan ini, Pakubuwana II memilih langkah simbolik dan politis luar biasa: memindahkan pusat kekuasaan dari Kartasura ke sebuah desa kecil bernama Sala. Pada Rabu Pahing, 14 Sura 1670 Jawa (17 Februari 1745 M), didirikanlah Kraton Surakarta Hadiningrat. Dengan peristiwa itu, Surakarta tidak hanya menjadi pusat baru kekuasaan Mataram, melainkan juga simbol pemulihan spiritual dan kontinuitas dinasti.
Pakubuwana II menjadi simbol transformasi, dari kekuasaan lama yang tercederai oleh konflik, menuju legitimasi baru yang dicari lewat simbolisme sakral dan penguatan trah. Dalam pembangunan Surakarta, digunakan tata letak kosmologis Jawa, membentuk poros sakral dari utara ke selatan—Tugu, Alun-Alun Lor, Kraton, Alun-Alun Kidul, hingga Bengawan Solo—meniru kosmologi Majapahit dan Demak.
Baca Juga : Al Ghazali dan Alyssa Daguise Langsungkan Akad Nikah Hari Ini, Berikut Link Live-nya
Namun, kebesaran itu tak menutupi peliknya masa tuanya. Pada 1749, dengan pengaruh VOC yang makin dominan, dan dalam kondisi kesehatan menurun, Pakubuwana II melakukan langkah dramatis: menyerahkan kedaulatan kepada Belanda melalui perjanjian politik. Tindakan ini menjadi peristiwa paling kontroversial dalam historiografi Mataram, menandai transformasi kraton menjadi semacam negara protektorat.
Pakubuwana II wafat pada Minggu Kliwon, 11 Sura 1675 Jawa atau 21 Desember 1749. Karena kondisi yang belum stabil, ia dimakamkan sementara di Astana Laweyan. Baru pada masa Pakubuwana III, jenazahnya dipindahkan ke Astana Imogiri, ke kawasan Kedaton Pakubuwanan, meneguhkan kembalinya legitimasi spiritual ke garis utama para raja Mataram.
Dari pernikahannya dengan RAy Sukiya (kelak bergelar Kanjeng Ratu Mas), Pakubuwana II memiliki lebih dari dua puluh putra-putri, di antaranya BRMG Suryadi (kelak Pakubuwana III), GRAj Patimah, GRM Budiman, GPH Puruboyo, dan GPH Balitar. Anak-anak ini melanjutkan kesinambungan dinasti Surakarta, meskipun dalam bayang-bayang intervensi kolonial dan fragmentasi politik internal.
Narasi genealogisnya pun membentang panjang: dari garis Syech Jumadil Qubra di Arab, melalui Maulana Ibrahim Asmara di Campa yang menikahi Dewi Sasanawati (putri Raja Campa), kemudian melahirkan Sunan Ngampel Denta, yang garis keturunannya melalui Sunan Kudus bertemu kembali dalam sosok Pakubuwana II melalui Kanjeng Ratu Kencana. Silang trah ini bukan semata-mata kronik nama dan gelar, tetapi struktur legitimasi spiritual dan politik, khas budaya aristokratis Islam Jawa.
Dalam kaca mata historiografi modern, Pakubuwana II sering dilihat sebagai figur transisi: seorang raja yang dituduh lemah terhadap tekanan VOC, namun juga pemimpin yang berani mengambil tindakan besar dengan memindahkan keraton, mengukuhkan kembali pusat kekuasaan, dan merintis kota baru. Ia bukan raja penakluk, melainkan raja pemulih. Bukan sosok militeristik, melainkan arsitek spiritual-politik, yang mengikat masa lalu dengan masa depan dalam simbol Surakarta Hadiningrat.
Sebagai Raja Mataram terakhir yang bertahta penuh sebelum intervensi kolonial Belanda menjadi dominan, Pakubuwana II mengakhiri satu babak panjang kerajaan Jawa yang merdeka. Ia tak hanya menutup era Kartasura, tetapi membuka lembar baru bagi identitas kultural dan politik Jawa melalui Keraton Surakarta, yang hingga kini tetap menjadi sentral budaya Jawa, baik secara simbolik maupun institusional.
Maka dari itu, Pakubuwana II bukan hanya nama dalam silsilah raja. Ia adalah titik persilangan antara darah wali, darah raja, dan darah rakyat yang bergolak. Ia adalah arsitek sunyi dari bangunan sejarah Jawa modern, sosok yang menandai akhir sebuah zaman dan permulaan zaman baru.
Pakubuwana II dan Lahirnya Nagari Surakarta Hadiningrat: Sebuah Titik Balik Dinasti Mataram
Setiap tanggal 17 Februari, Kota Surakarta memperingati hari jadinya. Namun, tak jarang masyarakat melupakan tokoh utama di balik kelahiran kota ini: Susuhunan Pakubuwana II, seorang raja yang dalam gejolak politik dan krisis kekuasaan mampu membangun kembali martabat kerajaan Jawa. Ia tidak sekadar menjadi penerus tahta Mataram di Kartasura, melainkan juga pendiri Nagari Surakarta Hadiningrat, cikal bakal Kota Surakarta yang kita kenal hari ini.
Latar belakang perpindahan pusat kerajaan ini tak bisa dilepaskan dari runtuhnya Keraton Kartasura akibat pemberontakan besar pada paruh awal abad ke-18. Kartasura, yang sebelumnya menjadi simbol pusat pemerintahan Mataram pasca perpecahan dinasti di Plered, mengalami krisis spiritual dan politis. Serbuan pemberontak membuat keraton rusak parah, tidak hanya secara fisik tetapi juga secara simbolis. Bagi masyarakat Jawa kala itu, kehancuran fisik keraton juga mencerminkan hilangnya "wahyu kedaton", yaitu aura dan legitimasi spiritual seorang raja.
Dalam situasi genting itu, Susuhunan Pakubuwana II mencari tanah baru untuk mendirikan kembali pusat pemerintahan yang sah dan "bersih" dari kekotoran politik masa lalu. Setelah mengutus para abdi dalem ke berbagai penjuru, akhirnya ditemukan sebuah wilayah strategis di tepi Bengawan Solo, sekitar 10 kilometer sebelah timur Kartasura. Wilayah itu dikenal sebagai desa Sala, sebuah perkampungan yang sederhana namun memiliki letak geografis yang aman dan mendukung jalur komunikasi antardaerah.
Pakubuwana II kemudian membeli sebidang tanah dari sesepuh desa tersebut, Kyai Sala, dengan harga 10.000 ringgit. Transaksi ini bukan hanya bentuk penghargaan terhadap masyarakat lokal, tetapi juga legitimasi simbolik bahwa tanah tersebut diperoleh secara sah untuk menjadi pusat kerajaan baru. Di atas tanah itulah kemudian dibangun sebuah keraton baru.
Setelah bangunan inti kraton selesai, dilaksanakan kirab agung—perjalanan besar raja bersama seluruh keluarga kerajaan, para abdi dalem, kerabat, serta rakyat yang setia. Segala hal yang dianggap berharga di Keraton Kartasura diboyong ke Sala: pusaka-pusaka leluhur, perangkat gamelan, kereta kuda, binatang peliharaan keraton, hingga simbol-simbol kedaulatan. Kirab ini bukan sekadar perpindahan fisik, melainkan juga simbolisasi lahirnya pusat kekuasaan baru Dinasti Mataram.
Pada 17 Sura tahun Je 1670 Jawa, yang bertepatan dengan 20 Februari 1745 Masehi, Susuhunan Pakubuwana II mengeluarkan sabda raja di tratag rambat keraton yang baru:
“Heh kawulaningsun, kabeh padha ana miyarsakna pangandikaningsun. Wiwit dina iki, desa Sala ingsun pundhut jenenge, ingsun tetepake dadi negaraningsun, ingsun paringi jeneng Negara Surakarta Hadiningrat. Sira padha angertekna sakawulaningsun satalatah ing Nusa Jawa kabeh.”
Artinya, Pakubuwana II menyatakan bahwa mulai hari itu, nama Desa Sala diambil untuk dijadikan nama negara barunya: Surakarta Hadiningrat. Ia menugaskan seluruh rakyatnya untuk menyebarkan sabda ini ke seluruh wilayah Jawa, mengukuhkan legitimasi kekuasaan baru tersebut.
Dengan sabda itulah, secara resmi Keraton Kasunanan Surakarta Hadiningrat lahir, sekaligus menjadi fondasi berdirinya Kota Surakarta. Tanggal 17 Februari kemudian ditetapkan sebagai Hari Jadi Kota Surakarta, sebuah penanda penting bahwa kota ini bukan sekadar lahir dari pembangunan administratif, tetapi dari momen historis kerajaan yang sarat makna simbolik dan politik.
Pasca perpindahan itu, Keraton Kartasura ditinggalkan dalam kondisi hancur. Bangunan-bangunannya rusak berat, ditinggalkan alam dan waktu. Wilayah yang dulunya menjadi pusat kekuasaan kini berubah menjadi hutan liar yang dihuni berbagai binatang buas. Lokasi itu terlantar hingga bertahun-tahun kemudian.
Pada masa pemerintahan Sri Susuhunan Pakubuwana IV (1788–1820), tepatnya tahun 1811, keraton yang lama mulai mendapat perhatian kembali. Pakubuwana IV memerintahkan agar petilasan Keraton Kartasura dibersihkan, dan hewan-hewan liar yang telah menguasai kawasan itu dipindahkan ke wilayah lain di sebelah selatan. Tempat baru ini kemudian dikenal sebagai Kandang Menjangan, yang kini menjadi lokasi Markas Grup 2 Kopassus.
Sejarah Pakubuwana II tidak hanya berhenti pada kisah pemindahan keraton. Ia menegaskan bahwa dalam menghadapi kehancuran dan pemberontakan, seorang raja tidak boleh hanya bertahan, tetapi harus bangkit membangun kembali simbol-simbol peradaban. Maka, lahirnya Surakarta adalah cerminan dari semangat "mikul dhuwur mendhem jero"—menjunjung tinggi nilai lama yang mulia, sekaligus menyikapi luka masa lalu dengan kebijaksanaan.