JATIMTIMES - Dalam denyut sunyi sejarah Jawa abad ke-16, ketika gempuran Islamisasi kultural mencapai puncaknya dan kekuasaan politik Kesultanan Demak mengukuhkan pengaruhnya di seluruh penjuru tanah Jawa, berdirilah sebuah jaringan spiritual yang tak kalah besar dibandingkan hiruk-pikuk kekuasaan politik saat itu.
Di balik kelindan peristiwa besar seperti pengangkatan Sultan Trenggana, wafatnya Sunan Giri Kedaton, dan bergulirnya Dinasti Demak yang kian pragmatis, muncul sekelompok tokoh sufi-syekh dan ki ageng yang tidak mengejar mahkota, melainkan memilih jalan sunyi: jalan spiritualitas, pertapaan, dan pembinaan masyarakat dari akar.
Baca Juga : Ziarah Makam Bung Karno: Wali Kota Blitar dan Kepala BPIP Satukan Langkah untuk Pancasila
Tokoh sentral dalam jaringan ini adalah Ki Ageng Pengging, yang dalam berbagai naskah babad dan serat juga disebut sebagai Kyai Ageng Pengging atau Raden Kebo Kenanga, putra Prabu Andayaningrat—seorang bangsawan yang menolak tunduk pada sistem politik Kesultanan Demak. Bersama para sahabatnya yang berjumlah sekitar empat puluh orang, mereka bukan sekadar murid-murid spiritual, melainkan juga penguasa wilayah lokal yang mandiri secara politik maupun ruhani.
Mereka membentuk semacam thariqah kolektif: sebuah jaringan para wali, ki ageng, dan pemuka spiritual yang tersebar dari Banyuwangi hingga Karanggayam, dari Tembalang hingga Getasaji, serta dari Waturante hingga Tambakbaya, dengan pusat ruhaniahnya berada di Pengging.
Para sahabat ini membentuk komunitas spiritual yang menolak struktur sentralistik kerajaan. Mereka lebih memilih hidup sebagai pembimbing masyarakat, guru tarekat, dan pemimpin adat, dengan basis otoritas yang berasal dari penguasaan ilmu-ilmu keagamaan dan spiritual, bukan kekuasaan politik.
Sebagian besar sahabat Ki Ageng Pengging merupakan para bangsawan, ulama lokal, atau bekas punggawa istana yang memilih menjauh dari hiruk-pikuk kekuasaan dan mengasingkan diri di tengah masyarakat. Mereka dikenang dalam tradisi lisan dan naskah-naskah lokal sebagai sosok-sosok bergelar Ki Gede, Ki Ageng, atau Kyai Ageng—gelar kehormatan yang mencerminkan kedudukan mereka sebagai pemimpin spiritual, tokoh masyarakat, atau ahli ilmu yang disegani karena keluasan wawasan dan kesalehan hidupnya.
Di antara mereka terdapat Ki Gede Banyuwangi, penjaga spiritual di ujung timur Pulau Jawa; Ki Gede Puma, Ki Gede Waturante, dan Ki Gede Kenalas, yang menjadi pemuka masyarakat di wilayah Mataraman; serta Ki Gede Tembalang dan Ki Gede Tambakbaya, yang setia memelihara warisan Islam mistik di pesisir utara. Selain itu, nama-nama seperti Ki Gede Karanggayam, Ki Gede Majasta, dan Ki Gede Pringapus juga tercatat sebagai tokoh berpengaruh, yang kelak mewariskan jejak pemikiran dan pengaruh spiritual hingga kepada generasi Ki Ageng Sela dan Jaka Tingkir.
Satu fase penting dalam kehidupan Ki Ageng Pengging dan para sahabatnya adalah ketika mereka melakukan perjalanan ziarah ke Lemahbang, tempat tinggal Syekh Siti Jenar — tokoh sufi kontroversial yang dalam berbagai babad dianggap menyimpang namun dalam tradisi penghayat dipandang sebagai wali kamil yang mencapai fana’ dan baqa’ sejati.
Bersama keempat puluh sahabatnya, Ki Ageng Pengging tinggal bermukim di Lemahbang, berdialog dan bertukar ilmu dengan Syekh Jatimurti (Siti Jenar). Selama berminggu-minggu mereka berdiskusi tentang hakikat dan syari’at, tentang kawula lan Gusti, tentang perbedaan antara ada dan tiada, antara dzahir dan batin, tentang hakikat hidup dan akhir hidup, tentang ilmu kasunyatan dan kematian spiritual.
Dalam dokumen babad disebutkan bahwa Ki Ageng Pengging menjadi murid kesayangan Syekh Siti Jenar. Segala ilmu dari sang wali diturunkan kepadanya, hingga disebut bahwa Ki Ageng Pengging telah menjadi “Siti Jenar kedua”: “sekarang setidak-tidaknya Ki Ageng Pengging tak ubahnya Syekh Siti Jenar saja, dan terkasihi.”
Setelah ziarah spiritual yang intensif, rombongan empat puluh sahabat itu berpamitan. Sebagian kembali ke tempat tinggalnya masing-masing. Namun tujuh belas orang sahabat tetap mengikuti Ki Ageng Pengging hingga ke wilayah Tingkir, di mana mereka disambut oleh Kyai Ageng Adipurwa, pengasuh dari Jaka Tingkir yang kelak menjadi Sultan Pajang.
Nama-nama sahabat yang turut mendampingi perjalanan ke Tingkir merupakan tokoh-tokoh penting dalam jaringan spiritual dan sosial yang luas. Mereka dikenal dalam berbagai tradisi lisan dan manuskrip sebagai Kyai Ageng Banyuwilis, Kyai Ageng Getasaji, Kyai Ageng Balak, Kyai Ageng Majasta, Kyai Ageng Tambakbaya, Kyai Ageng Tembalang, Kyai Ageng Baki, Kyai Ageng Babadan, Kyai Ageng Karanggayam, Kyai Ageng Wanantara, Kyai Ageng Argoloka, Kyai Ageng Kayupuring, Kyai Ageng Nganggas, Kyai Ageng Wanalapa, dan sejumlah nama lainnya yang tersebar di berbagai wilayah Mataraman dan pesisiran.
Mereka bukan sekadar pengiring, melainkan para pemimpin spiritual dan tokoh lokal yang memiliki peran penting dalam membangun fondasi keagamaan dan kebudayaan di wilayah
Dua hari dua malam mereka menginap di Tingkir, berdiskusi mendalam dan merawat ikatan ruhaniyah. Selepas itu, sebagian kembali ke Pengging bersama Ki Ageng Pengging, dan lainnya menyebar ke berbagai wilayah untuk melanjutkan misi spiritual mereka.
Yang paling menonjol dari jaringan ini bukan sekadar jumlahnya, melainkan nilai-nilai yang mereka pegang. Mereka adalah anak-anak raja, putra bangsawan, namun menolak ambil bagian dalam sistem kekuasaan Demak. Mereka menyayangkan bagaimana Demak mengabaikan posisi strategis Pengging-Pajang, yang dulunya adalah kerajaan, tapi tak pernah dijadikan kadipaten atau diberikan perwakilan politik.
Bagi Ki Ageng Pengging dan sahabat-sahabatnya, peradaban Jawa harus dibangun melalui wirid, bukan perang; melalui kawah candradimuka spiritual, bukan perebutan kekuasaan. Kesalehan sosial menjadi wujud nyata dari keberagamaan mereka. Masyarakat Pengging pun mengikuti teladan itu — tiga ribu orang Pengging menjadi pengikut Ki Ageng, dengan empat ratus di antaranya senantiasa berada di dekat beliau, mengikuti setiap langkah kehidupan, dari ibadah, bertani, hingga semedi.
Jika Demak dan Giri menjadi pusat legitimasi kekuasaan Islam politik di Jawa, maka jaringan sahabat Ki Ageng Pengging membentuk Islam budaya dan spiritualitas yang tersebar, hidup dalam desa, ladang, gunung, dan pondok-pondok kecil. Mereka menjadi oposisi diam terhadap sentralisme Demak. Tidak dalam bentuk pemberontakan bersenjata, tetapi dalam bentuk ajaran dan laku hidup.
Jejak mereka menjadi benih bagi kemunculan tradisi pesantren, tarekat lokal, dan struktur religius yang tetap eksis di luar kendali politik kerajaan. Bahkan hingga abad ke-17 dan ke-18, nama-nama Kyai Ageng dari jaringan ini muncul kembali dalam babad dan genealogi para tokoh besar: dari Ki Ageng Selo, Jaka Tingkir, hingga Sunan Kalijaga.
Jejak empat puluh sahabat Ki Ageng Pengging adalah peta spiritualitas Tanah Jawa yang tidak termaktub dalam arsip VOC atau catatan elit keraton. Mereka hadir dalam mitos lokal, dalam tata laku desa, dalam tata krama para kiai dan petani Jawa. Mereka adalah penyangga akar dari apa yang disebut masyarakat santri, yang memandang hidup bukan sebagai medan kuasa, tetapi jalan panjang menuju pencerahan.
Dengan demikian, kisah empat puluh sahabat ini bukan sekadar fragmen sejarah, tetapi representasi dari paradigma Jawa Islam yang lebih inklusif, membumi, dan transenden.
Ki Ageng Pengging dan Asuhan Ratu Dwarawati: Jejak Sejarah, Spiritualitas, dan Transformasi Kekuasaan di Jawa
Baca Juga : Mukjizat Air dan Makanan, Ketika Rasulullah SAW Menjawab Kehausan dan Kelaparan Para Sahabat
Dalam lembar sejarah panjang Jawa pada masa transisi dari era Majapahit menuju dominasi Kesultanan Islam Demak, tersembunyi kisah kompleks yang melibatkan tokoh-tokoh bangsawan muda asal Kadipaten Pengging. Dua nama yang menonjol adalah Raden Kebo Kenanga dan Raden Kebo Kanigara, putra Prabu Andayaningrat, penguasa terakhir Pengging, sekaligus cucu Prabu Brawijaya V, penguasa terakhir Majapahit. Di balik gelar dan darah kerajaan, kisah mereka menyingkap proses transformasi kekuasaan sekaligus pergulatan spiritual yang berujung pada lahirnya tradisi baru di Jawa.
Pengging, yang secara geografis kini terletak di Kabupaten Boyolali, Jawa Tengah, awalnya merupakan kerajaan kecil yang diperintah oleh Prabu Andayaningrat. Ia memiliki dua putra, Raden Kebo Kenanga dan Raden Kebo Kanigara, yang secara turun-temurun mewarisi legitimasi kekuasaan. Namun wafatnya Prabu Andayaningrat membawa perubahan signifikan: Pengging diturunkan statusnya menjadi kadipaten, wilayahnya terbagi menjadi dua, yaitu Pengging Tua dan Pengging Muda, masing-masing diurus oleh keturunan dan sentana yang dipercayai.
Setelah ibu mereka, Retno Pembayun, wafat meninggalkan kedua putra dalam kondisi yatim piatu, perhatian Prabu Brawijaya V, kakek mereka sekaligus raja Majapahit, menjadi penentu nasib mereka. Prabu Brawijaya, atau Sri Prabu Kertawijaya, mengangkat keduanya sebagai anak sendiri dan membawanya ke pusat kerajaan Majapahit.
Di tengah Majapahit yang tengah mengalami perubahan, Raden Kebo Kenanga dan Kebo Kanigara diasuh oleh Prabu Brawijaya dan permaisurinya, Ratu Dwarawati, sosok penting yang menyambungkan masa Hindu-Buddha dan awal pengaruh Islam di Jawa. Ratu Dwarawati, putri dari Champa, dikenal sebagai wanita salehah dan muslimah taat, yang membawa pengaruh budaya dan keagamaan baru ke dalam lingkaran istana.
Ratu Dwarawati adalah gambaran awal inklusivitas Majapahit terhadap komunitas Muslim, terutama lewat pernikahan politik yang membuka ruang bagi pluralitas keagamaan. Dalam dinasti ini lahir generasi baru bangsawan Majapahit yang menjadi aktor utama dalam penyebaran Islam di Nusantara, termasuk tokoh-tokoh seperti Arya Damar, Bhattara Katong, dan Raden Patah.
Ratu Dwarawati, setelah wafatnya Prabu Brawijaya, tetap tinggal di Majapahit untuk mengasuh keturunan kerajaan dan sentana, mendidik mereka dalam ajaran Islam. Di bawah asuhannya tumbuh tokoh-tokoh besar seperti Sunan Ampel (Raden Rahmat), serta cucunya Sunan Bonang. Raden Kebo Kenanga dan Kebo Kanigara tumbuh dalam lingkungan spiritual dan religius yang sama, mengembangkan hubungan erat secara darah maupun spiritual.
Lingkungan ini menjadi cikal bakal pusat-pusat pendidikan Islam di Ampel Gading dan Benang, yang kelak menjadi basis dakwah Islam di Jawa. Ratu Dwarawati memegang peranan sentral sebagai pengayom spiritual dan pemersatu generasi baru di tengah guncangan politik dan budaya yang melanda Nusantara.
Raden Kebo Kenanga, yang kelak dikenal sebagai Ki Ageng Pengging, memilih jalan berbeda di tengah ambruknya Majapahit dan naiknya Kesultanan Demak. Alih-alih melanjutkan perebutan kekuasaan, ia memilih hidup sebagai petani dan santri, memupuk kehidupan spiritual yang berakar pada ajaran Islam dan tasawuf.
Bersama saudaranya Kebo Kanigara yang menjadi pertapa, Ki Ageng Pengging menolak tunduk pada Demak, meski kerajaan Islam itu sedang mengonsolidasikan kekuasaannya di Jawa. Mereka kembali ke Pengging dan hidup sebagai rakyat biasa, membangun pesantren, langgar, dan masjid, menjadi figur spiritual yang mendalam di tengah rakyat jelata.
Ki Ageng Pengging berguru pada Syekh Siti Jenar, seorang tokoh sufi kontroversial yang mengajarkan konsep manunggaling kawula gusti (kesatuan hamba dan Tuhan), sebuah ajaran yang kemudian menjadi perdebatan besar dalam ortodoksi Islam Jawa. Bersama jaringan ulama dan intelektual lain seperti Ki Gede Tingkir dan Ki Gede Banyubiru, mereka meneguhkan dasar tasawuf yang berlawanan dengan kekuasaan politik Islam formal Demak.
Kharisma dan pengaruh Ki Ageng Pengging menimbulkan keresahan di kalangan penguasa Demak, terutama Sultan Trenggana yang tengah memperkuat kekuasaan Islam ortodoks. Sunan Kudus, ulama fiqih yang ketat, diutus untuk menyelidiki dan menindak Ki Ageng Pengging atas tuduhan menyebarkan ajaran sesat.
Debat terbuka antara Ki Ageng Pengging dan Sunan Kudus menjadi babak terakhir dalam hidupnya. Meskipun membela diri dengan menyatakan sikap spiritual dan tanpa ambisi duniawi, Ki Ageng Pengging dianggap ancaman serius. Ia dieksekusi, dengan kisah tragis yang populer menyebutkan ia meminta Sunan Kudus sendiri untuk mengakhiri hidupnya dengan keris, wafat dalam keadaan tenang dan penuh ketenangan spiritual.
Nama Ki Ageng Pengging tidak hilang bersama ajalnya. Putranya, Raden Jaka Tingkir, kemudian mendirikan Kesultanan Pajang, yang menjadi penghubung dan pendahulu bagi Kesultanan Mataram Islam. Ironisnya, dua kerajaan besar di Jawa Islam lahir dari rahim seorang tokoh yang pernah dianggap sesat dan pengancam oleh kekuasaan Demak.
Wafatnya Ratu Dwarawati dan kisah hidup Ki Ageng Pengging menandai dua sisi perubahan besar di Jawa: dari kerajaan Hindu-Buddha menuju kekuasaan Islam, serta dari kekuasaan politik menuju transformasi spiritual. Peran perempuan dalam Ratu Dwarawati sebagai ibu asuh dan pengajar agama menegaskan pentingnya figur perempuan dalam menjaga kesinambungan dan transisi kebudayaan di Jawa.
Sejarah Ki Ageng Pengging dan asuhan Ratu Dwarawati mengungkap bahwa transisi kekuasaan di Jawa bukan sekadar pergantian dinasti atau agama, melainkan juga transformasi sosial, budaya, dan spiritual yang kompleks. Tokoh-tokoh ini bukan hanya pewaris darah bangsawan, melainkan juga pelopor jalan spiritual yang kemudian menjadi fondasi penting bagi Islamisasi Jawa.
Narasi mereka menyimpan pesan bahwa kekuasaan yang sejati tidak selalu berwujud politik, tapi juga dalam kesalehan, keteguhan spiritual, dan kemampuan untuk menyesuaikan diri dengan arus zaman tanpa kehilangan akar budaya.