JATIMTIMES - Wali Kota Malang Wahyu Hidayat memastikan keberpihakannya terhadap keberlangsungan pelaku ekonomi di level mikro, termasuk di kalangan pedagang kaki lima (PKL). Hal tersebut salah satunya diwujudkan dengan mengesahkan ranperda pajak daerah dan retribusi daerah (PDRD).
Pada perubahan perda tersebut, salah satu poin krusial yang turut dilakukan penyesuaian adalah ambang batas omzet bagi pelaku usaha makan minum (mamin) untuk dikenakan pajak barang dan jasa tertentu (PBJT). Dari yang semula sebesar Rp 5 juta menjadi Rp 15 juta.
Baca Juga : Unisba Blitar Gandeng XLSmart dan TDA, Bina Gen Z Jadi Kreator Produktif
"Ini adalah bentuk perhatian dari pemerintah terkait dengan yang dulu Rp 5 juta, di perda kemarin. Lha ini pembahasan dan kita naikkan jadi Rp 15 juta untuk pengenaan terkait dengan pajak tersebut," jelas Wahyu, Selasa (17/6/2025).
Dengan hal tersebut, pengenaan pajak baru dapat dilakukan terhadap pelaku usaha mamin yang beromzet di atas Rp 15 juta per bulan. Tentu hal tersebut sedikit memberi nafas lega bagi para PKL, sebab pada perda sebelumnya, pengenaan pajak bagi pelaku usaha beromzet di atas Rp 5 juta.
"Walaupun kita berkurang target kita Rp 8 miliar dan ini memang kita harus menjaga terkait dengan fiskal yang ada. Ini bentuk perhatian Pemkot Malang bersama DPRD untuk keberlangsungan perekonomian yang ada di Kota Malang," tutur Wahyu.
Informasi didapat JatimTIMES, ambang batas omzet sebesar Rp 15 juta untuk pengenaan pajak yang akan diterapkan di Kota Malang dinilai yang paling longgar. Jika dikalkulasi dengan angka tersebut, maka pelaku usaha baru dapat dikenakan pajak jika beromzet kurang lebih Rp 500 ribu dalam satu hari.
Angka tersebut sama dengan yang ditetapkan di Kota Malang. Namun, beberapa daerah lain di Jawa Timur juga ada yang menerapkan ambang batas di bawah angka Rp 10 juta per bulan, seperti Kota Batu, bahkan Kabupaten Malang hanya sebesar Rp 3 juta per bulan.
Dengan angka ambang batas omzet Rp 10 juta seperti yang diterapkan di Kota Batu, maka pelaku usaha yang dapat dikenakan pajak setidaknya harus beromzet rata-rata Rp 300 ribu per harinya.
Sedangkan di Kabupaten Malang yang sebesar Rp 3 juta per bulan, maka pengenaan pajak sudah dapat dilakukan pada pelaku usaha mamin yang beromzet rata-rata Rp 100 ribu per hari. Jika dibandingkan, ambang batas pengenaan pajak di Kota Malang masih jauh lebih longgar.
Baca Juga : Kritisi DPRD Kota Malang Soal Pajak 10% Usaha Omzet Rp15 juta, Roy Shakti: Bantu Rakyat Makin MenderitaÂ
"Ini bukan semata mata Pemkot dan DPRD menetapkan, ini tidak. Ada regulasinya untuk penerapan yang sesuai di Kota Malang. Ini bentuk perhatian kita pada UMKM salah satunya," tegas Wahyu.
Di sisi lain, ambang batas yang sudah dinaikkan menjadi Rp 15 juta masih dikhawatirkan oleh sebagian pihak karena dinilai masih kurang berpihak pada pedagang kaki lima (PKL). Namun menurut Wahyu, angka Rp 15 juta dinilai telah paling sesuai.
"Saya kira Rp 15 juta ini relatif mereka yang sudah mempunyai ekonomi yang memadai," imbuhnya.
Selain itu, dirinya juga berkeyakinan bahwa disepakatinya kenaikan angka tersebut juga tidak dilakukan secara sembarangan. Termasuk di dalamnya, DPRD Kota Malang juga telah bekerja keras untuk menentukan angka tersebut.
"Saya yakin dari DPRD ada beberapa survei dari beberapa kalangan, melihat secara langsung dan sudah bertanya, konsultasi pada semua kalangan dan ini menurut saya sudah menjadi solusi yang paling tepat untuk penerapan terkait pajak daerah dan retribusi daerah," pungkas Wahyu.