free web hit counter
Scroll untuk baca artikel
Peristiwa

Spanduk Kritik untuk Wapres Gibran: Aksi Mahasiswa Blitar Dihalau Paspampres

Penulis : Aunur Rofiq - Editor : Nurlayla Ratri

13
×

Rencana Rilis PlayStation 6 Berpotensi Terungkap, Berkat Microsoft

Share this article
Stik Playstation
Anggota Paspampres menghalau mahasiswa PMII Blitar yang mencoba membentangkan spanduk kritik menjelang kedatangan Wapres Gibran, Rabu (18/6/2025).

JATIMTIMES — Suasana di sekitar Jalan Kalimantan, Kota Blitar, pada Rabu siang, 18 Juni 2025, semula berjalan tertib menjelang kedatangan Wakil Presiden Republik Indonesia, Gibran Rakabuming Raka. Namun ketegangan sejenak menyelimuti lokasi saat tiga mahasiswa dari Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) Blitar berusaha membentangkan spanduk berisi kritik politik tepat di jalur pengamanan ketat. Mereka segera dihalau oleh anggota Pasukan Pengamanan Presiden (Paspampres) yang berjaga.

Spanduk yang hendak dibentangkan mahasiswa itu memuat kritik langsung terhadap sejumlah janji kampanye Wapres Gibran saat Pemilu 2024 lalu. Kalimat-kalimat seperti “Omon-omon 19 juta lapangan kerja?”, “Dinasti tiada henti”, hingga “Semangat terus bikin bualan Mas Wapres Gibran” terpampang dalam potongan kain yang sempat terlipat setengah sebelum diamankan aparat.

Baca Juga : 37 Mahasiswa UIN SATU Tulungagung Terima Beasiswa Penuh dari Alumni Akpol

Wakapolres Blitar Kota, Kompol Subiyantana, saat dikonfirmasi membenarkan insiden tersebut. Ia menegaskan bahwa tindakan aparat tidak tergolong sebagai penangkapan. Tiga mahasiswa itu hanya dihalau dan diamankan sementara oleh Paspampres karena dinilai berpotensi mengganggu pengamanan tamu VVIP.

"Benar, sekitar pukul 12.30 WIB, ada tiga mahasiswa yang diamankan karena hendak mendekat ke barisan pengamanan dengan membawa spanduk. Ini sesuai prosedur pengamanan VVIP. Area memang harus steril," kata Subiyantana kepada wartawan.

Menurutnya, setelah dilakukan klarifikasi dan tidak ditemukan unsur pidana, ketiga mahasiswa itu dipulangkan dan tidak diproses hukum lebih lanjut. Ia memastikan situasi pengamanan kedatangan Wapres berjalan dalam kondisi aman, terkendali, dan sesuai standar operasional pengamanan tokoh negara.

Namun demikian, dari sudut pandang mahasiswa, insiden itu mencerminkan ketimpangan antara wacana demokrasi dan praktik di lapangan. Ketua PC PMII Blitar, Muhammad Thoha Ma’ruf, menegaskan bahwa aksi yang dilakukan kadernya merupakan bentuk penyampaian aspirasi yang konstitusional.

“Spanduk yang kami bawa adalah bentuk kritik, bukan tindakan anarkis. Ini bagian dari komitmen moral kami untuk mengawal pemerintahan agar tetap berada di jalur yang benar,” ujarnya.

Thoha menyebut kritik yang mereka sampaikan antara lain menyoroti janji kampanye Wapres Gibran soal penciptaan 19 juta lapangan kerja, serta praktik politik dinasti yang dinilai makin mengakar dalam sistem pemerintahan.

Menurutnya, keberadaan Gibran sebagai putra Presiden Jokowi yang kini menjabat sebagai Wapres, tak bisa dilepaskan dari praktik politik keluarga yang cenderung mengabaikan meritokrasi dan membuka peluang terjadinya penyalahgunaan kekuasaan.

Baca Juga : Basket Putra Kota Malang Tumbangkan Kota Blitar 77-37 di Porprov Jatim IX 2025

“Dinasti politik berisiko pada konsentrasi kekuasaan dan potensi korupsi. Dalam negara demokrasi, itu sangat membahayakan bila tidak ada kontrol,” jelas Thoha.

Ia juga menambahkan bahwa aksi tersebut tidak bertujuan merusak citra Wapres, melainkan untuk mengingatkan publik bahwa mahasiswa tetap berada di garis kritis, menjaga agar janji politik tidak sebatas jargon kampanye.

Reaksi cepat aparat terhadap aksi mahasiswa ini mencerminkan ketegangan antara protokol keamanan VVIP dan kebebasan berekspresi warga negara. Di satu sisi, pengamanan terhadap pejabat tinggi negara tentu menjadi prioritas, namun di sisi lain, penyampaian pendapat di ruang publik juga merupakan hak yang dijamin undang-undang.

Kunjungan Gibran ke Blitar pada hari itu, salah satunya untuk menghadiri gelaran budaya Blitar Djadoel di Alun-Alun Kota Blitar. Namun di luar panggung perayaan, gema protes mahasiswa menjadi pengingat bahwa romantisme kekuasaan tetap harus dikritisi—meski hanya lewat selembar spanduk.

Dalam iklim politik pasca-Pilpres, ruang demokrasi diuji bukan hanya dari hasil pemilu, tapi dari bagaimana suara-suara minor direspons oleh negara. Dan Blitar, hari itu, kembali menjadi saksi—bahwa kritik tidak mati, meski sempat dibungkam sesaat.