free web hit counter
Scroll untuk baca artikel
Serba Serbi

Akhir Tragis Ekspedisi Amangkurat I: Kisah Tumenggung Wiraguna di Blambangan

Penulis : Aunur Rofiq - Editor : Dede Nana

13
×

Rencana Rilis PlayStation 6 Berpotensi Terungkap, Berkat Microsoft

Share this article
Stik Playstation
Lukisan realis Sunan Amangkurat I, Raja ketiga Kesultanan Mataram yang memerintah pada tahun 1646–1677. (Foto: JatimTIMES)

JATIMTIMES - Pada pertengahan abad ke-17, saat Dinasti Mataram Islam tengah berusaha mengonsolidasikan kekuasaannya di bawah kepemimpinan Sultan Agung dan penerus-penerusnya, muncul sebuah kampanye militer yang kelak dikenang bukan karena kemenangan gemilangnya, melainkan karena akhir tragis yang menyertainya. 

Salah satu tokoh kunci dalam ekspedisi militer ke Blambangan—daerah paling timur Pulau Jawa yang secara politis lebih dekat dengan Bali ketimbang Mataram—adalah Tumenggung Wiraguna. Dalam kisah-kisah babad, terutama Babad B.P. X dan Serat Kandha, serta catatan historiografis Meinsma, ekspedisi ini tak hanya menjadi catatan tentang bentrokan kekuasaan, tetapi juga tragedi pribadi seorang prajurit tinggi yang mengakhiri hidupnya dalam pengkhianatan dan kesepian.

Baca Juga : Al Ghazali-Alyssa Daguise Sah Jadi Suami Istri, Ini Momen Akad Nikahnya

Latar Belakang Ekspedisi

Ekspedisi ke Blambangan bermula dari laporan yang diterima Sunan Amangkurat I bahwa Adipati Blambangan, Tawang Alun, telah menjalin komplotan dengan kekuatan Bali. Menurut Serat Kandha, dalam suatu audiensi kerajaan, Sunan mengungkapkan kekhawatiran atas kabar bahwa Blambangan telah ditundukkan oleh Bali. Tawang Alun, yang semula adalah vasal Mataram, dikabarkan melarikan diri ke Bali.

Dalam konteks itu, Sunan Amangkurat I menunjuk pamannya, Pangeran Purbaya, untuk memimpin ekspedisi. Namun sang pangeran menolak dengan halus, menyebabkan kebimbangan dalam penentuan pimpinan pasukan. Akhirnya, Tumenggung Wiraguna ditunjuk sebagai panglima utama, didampingi oleh Tumenggung Danupaya, serta diperkuat oleh armada laut di bawah Tumenggung Mataram.

Ekspedisi ini digambarkan sangat meriah dalam babad. Meriam-meriam Mataram dibawa serta. Pasukan bergerak menuju timur dan tiba di perbatasan Pasuruan. Di medan pertempuran, pihak Bali dan Blambangan telah mempersiapkan pertahanan kuat. Dalam Serat Kandha disebutkan bahwa mereka dipimpin oleh lurah Jabana, Panji Danupaya (juga disebut Wanengpati), serta tokoh-tokoh seperti Tawang Alun dan Wiranegara.

Awalnya pasukan Mataram terdesak dan harus mundur. Namun melalui siasat Tumenggung Wiraguna, mereka berhasil membalikkan keadaan. Dalam pertempuran ini, banyak tokoh gugur: Ki Rangga tewas melawan Bang Wetan, Panji Pati juga tewas. Citrayuda dari Ponorogo gugur dalam duel sengit dengan Jabana. Akhirnya, pihak Blambangan dan Bali terpukul mundur.

Tawang Alun dan Wiranegara memutuskan menyeberang ke Bali setelah kekalahan itu. Dalam proses ini, lebih dari 1.500 cacah (rakyat Blambangan) ditawan oleh pasukan Mataram. Peristiwa ini menunjukkan bahwa perang ini bukan semata persoalan militer, tetapi juga memiliki dimensi sosial-politik yang besar.

Keputusan Fatal Penyeberangan ke Bali dan Tragedi yang Mengikuti

Tumenggung Wiraguna menerima kabar kematian Pangeran Aria Alit saat berada di medan perang. Ia sangat terguncang, dan menyatakan bahwa lebih baik ia mati di medan laga ketimbang pulang membawa duka. Maka ia memutuskan untuk melanjutkan ekspedisi hingga ke Bali.

Panji Arungan dari Bali mempertahankan pantai. Pertempuran sengit terjadi di laut ketika armada Tumenggung Mataram tiba. Panji Arungan gugur, kepalanya dipenggal dan kapalnya jatuh ke tangan pasukan Mataram. Dalam catatan Babad B.P., Tumenggung Wiraguna tak turut serta dalam pertempuran laut ini.

Namun setelah kemenangan itu, Tumenggung Wiraguna jatuh sakit, begitu pula Tumenggung Danupaya. Dalam keadaan lemah, mereka memutuskan kembali ke Jawa. Wiraguna berpesan bahwa jika ia wafat, jangan bawa jenazahnya ke Mataram. Akan tetapi, ketika ia meninggal di Kediri setelah meminum obat, abdi-abdinya membawa jenazahnya ke Mataram dengan rasa berat hati.

Ketika kabar kematian itu sampai di Mataram, Sunan Amangkurat I diliputi amarah. Ia murka karena Tawang Alun gagal ditangkap atau dibunuh. Maka ia memerintahkan Kepala Bayangkara, Kiai Ngabehi Wira Patra, untuk mencegat rombongan pembawa jenazah dan memakamkannya di tempat mereka bertemu. Tak hanya itu, Wira Patra juga diperintah untuk membantai seluruh keluarga Tumenggung Wiraguna—dua belas jiwa—sebagai bentuk hukuman sekaligus simbol kemarahan sang raja.

Mendengar kabar tersebut, Tumenggung Danupaya yang sakit meminum racun dan meninggal. Jenazahnya dimakamkan di tempat. Tumenggung Asmaradana, yang menggantikan pimpinan pasukan, kemudian dibunuh pula setelah mengirimkan laporan ke istana dan tertahan lama di Taji tanpa mendapat audiensi. Ia bahkan harus menyaksikan para tawanan yang dibawanya mengemis untuk makan.

Kematian Asmaradana menutup kisah ekspedisi Blambangan ini. Sebuah akhir pahit bagi ekspedisi yang semula ditujukan untuk menegakkan wibawa Mataram namun justru menjadi simbol kegagalan moral kekuasaan.

Perspektif Historiografis dan Kritik Terhadap Kekuasaan

Dari segi historiografi, kisah Tumenggung Wiraguna menunjukkan bagaimana kekuasaan absolut dapat berujung pada kekejaman yang tidak proporsional. Tindakan Sunan membunuh keluarga loyalisnya sendiri menandakan ketakutan politik yang akut, ketidakmampuan menerima kegagalan strategis, dan kehendak membungkam narasi lain selain milik penguasa.

Dalam narasi Babad B.P. maupun Serat Kandha, ekspedisi ini mendapatkan porsi penceritaan yang panjang, dibandingkan sumber-sumber Belanda atau laporan Meinsma yang cenderung ringkas. Ini menunjukkan bahwa dalam tradisi Jawa, ekspedisi Blambangan merupakan simbol dari ketegangan laten antara pusat dan pinggiran, antara kekuasaan simbolik dan perlawanan daerah.

Penulis melihat kisah ini sebagai bentuk "teater kekuasaan" yang tragis. Kekuasaan yang memakan anaknya sendiri, dalam bentuk Tumenggung Wiraguna dan keluarganya, memperlihatkan bahwa loyalitas dalam sistem kerajaan bukan jaminan keselamatan.

Ekspedisi Blambangan tidak hanya menyisakan kisah keberanian dan pengkhianatan, tetapi juga membuka tabir gelap hubungan antara kekuasaan pusat dan elite lokal. Tumenggung Wiraguna, yang dalam banyak cerita tampil sebagai tokoh setia dan strategis, berakhir sebagai korban ambisi politik dan ketakutan istana.

Dalam perspektif sejarah yang lebih luas, peristiwa ini menjadi catatan penting mengenai dinamika kekuasaan di Jawa abad ke-17. Ia mengingatkan kita bahwa di balik kemenangan dan ekspansi kerajaan, selalu ada kisah luka, pengkhianatan, dan duka yang ditanggung oleh para pelaku sejarahnya.

Ekspedisi ini menandai salah satu episode penting dalam proses integrasi politik dan militer di Nusantara, namun pada saat yang sama, ia mengingatkan bahwa kekuatan militer yang besar bukan jaminan bagi stabilitas apabila tidak dibarengi dengan keadilan dan kebijaksanaan.

Baca Juga : Kisah Mukjizat Makanan di Perang Khandaq: Secuil Roti dan Daging Cukupi Banyak Perut Pasukan

Tumenggung Wiraguna, dalam akhir hidupnya, tidak hanya menjadi tokoh militer yang terbuang, tetapi juga simbol tragedi atas nama kekuasaan.

Sunan Amangkurat I: Raja Pembaru, Raja Tragis

Dalam panorama sejarah Mataram Islam abad ke-17, nama Amangkurat I menempati ruang yang kompleks—penuh kejayaan, konflik internal, dan pergolakan sosial-politik yang mengguncang fondasi kerajaan Jawa. Lahir dengan nama Gusti Raden Mas Sayidin pada 24 Juni 1619 di Kotagede, ia adalah putra mahkota Sultan Agung Hanyakrakusuma dari permaisuri Ratu Mas Batang, cicit dari Ki Ageng Juru Mertani—patih pertama Mataram yang dikenal sebagai arsitek spiritual dan politik kerajaan pada masa awal. 

Masa kecil Raden Sayidin dilalui dalam nuansa pendidikan elite dan spiritual. Ia diasuh oleh Ratu Mas Hadi, istri Panembahan Hadi Hanyakrawati dan mendapat perhatian penuh dari Sultan Agung. 

Sang pangeran menempuh pendidikan lintas tradisi: dari pesantren anak-anak di Nglandoh Kayen Pati (1623), belajar agama di Besuki Pasuruan (1625), mendalami kejawen di Kediri (1627), hingga ke Padepokan Pekuncen Tegal bersama Syekh Syamsuddin Baros atau Ki Lembah Manah (1628). 

Ia juga berguru di Kadilangu (1629), Grobogan (1630), Tamasek Singapura (1632), Istanbul Turki (1634), dan Paris (1636) atas beasiswa Raja Louis IV. Sepulang dari Prancis, ia menunaikan ibadah haji ke Mekkah (1638), memperkaya wawasannya sebagai pemimpin kosmopolitan yang kelak mewarisi tahta besar.

Penobatannya sebagai raja Mataram terjadi pada tahun 1646 dengan gelar lengkap: Sampeyan Dalem Ingkang Sinuhun Kangjeng Susuhunan Prabhu Amangkurat Senapati ing Ngalaga Abdurrahman Sayyidin Panatagama Khalifatullah Ingkang Jumeneng Kaping I. 

Setahun kemudian, ia memindahkan ibu kota dari Karta ke Plered, menolak tinggal di bekas keraton ayahandanya. Plered didesain sebagai kota benteng yang strategis, dilindungi Kali Opak dan Kali Gajah, lengkap dengan benteng tiga depa, parit luar, masjid agung, taman, dan danau buatan Segara Yasa.

Amangkurat I mewarisi semangat pembangunan Sultan Agung. Ia membentuk fondasi ekonomi agraris dan maritim: membangun pabrik trasi di Lasem (1639), pabrik brem di Madiun, industri logam di Kudus (1661), mengembangkan agrobisnis di lereng Semeru (1666), dan kopi di Ungaran (1659) serta Bangkalan (1670). Ia juga menginisiasi pengembangan garam di Pamekasan (1668), logam di Sidoarjo (1673), bendungan Serayu (1656), dan industri gula merah di Kebumen (1672).

Di sektor maritim, ia membangun sekolah pelayaran di Tegal (1640), pelabuhan Tanjung Perak (1648), Tanjung Kodok (1654), dan Tanjung Emas Kendal (1658). Dalam ranah sosial, ia mendirikan yayasan pendidikan di Brosot (1643), yayasan yatim piatu di Banyumas, rumah sakit di Salatiga (1674), dan rumah sosial di Banjarnegara (1676). Cita-citanya menjadikan Mataram sebagai nagari bahari dan agraris tampak jelas dalam proyek-proyek besar ini.

Namun, di balik visi besar itu, istana Plered menyimpan cerita kelam. Intrik internal dan kekerasan melanda. Pangeran Alit, adik raja, dibunuh karena melawan tahta. Raden Rahmat, putra mahkota, membunuh selir ayahandanya, Rara Hoyi, atas perintah raja. Mertua Amangkurat I, Pangeran Pekik, pun dieksekusi atas tuduhan makar. Kisah Ratu Malang yang dituduh membunuh para selir menambah kepedihan di balik kemegahan kraton.

Puncak tragedi terjadi tahun 1677, ketika Raden Rahmat yang digeser dari posisi putra mahkota, bersekutu dengan Panembahan Rama dan Trunajaya dari Madura. Pada 28 Juni, pasukan Trunajaya menyerbu dan merebut Plered. Sunan Amangkurat I melarikan diri ke barat, sempat bermalam di makam ayahnya di Imogiri, lalu ke Panjer Roma di Rowo Ambal, wilayah Adipati Ki Gedhe Panjer III.

Dalam kondisi lemah, ia diberi air kelapa tua oleh Ki Gedhe Panjer III, yang konon menyelamatkan nyawanya. Sebagai balas jasa, Ki Gedhe Panjer diangkat sebagai Tumenggung Kalapa Aking I dan menikah dengan Dewi Mulat, putri raja. Setelah melanjutkan perjalanan ke barat dan menyatu kembali dengan Raden Rahmat, sang raja jatuh sakit lagi di Ajibarang dan wafat di Winduaji pada 13 Juli 1677.

Ia dimakamkan di Pesarean, Adiwerna, Kabupaten Tegal, di samping gurunya Ki Ageng Lembah Manah. Tempat itu dikenal harum dan sakral, hingga dijuluki Tegalwangi atau Tegalarum. Pada tahun 1678, sebagai bentuk penghormatan, putranya—Raden Mas Rahmat—yang telah naik takhta dengan gelar Amangkurat II, menganugerahkan gelar kehormatan kepada ayahandanya sebagai Susuhunan Prabhu Amangkurat Agung.

Sosok Amangkurat I adalah paradoks sejarah: seorang raja berwawasan luas yang membangun negeri dengan tangan kiri, namun tak segan menumpahkan darah dengan tangan kanan. Ia bukan hanya simbol transisi kekuasaan Mataram, tetapi juga cermin betapa rumitnya menjadi pemimpin di tengah badai zaman.