free web hit counter
Scroll untuk baca artikel
Serba Serbi

Ketika Raja Jadi Redaktur Koran: Pakubuwono X dan Perubahan Arah Perjuangan

Penulis : Aunur Rofiq - Editor : Dede Nana

13
×

Rencana Rilis PlayStation 6 Berpotensi Terungkap, Berkat Microsoft

Share this article
Stik Playstation
Lukisan realis bergaya cat minyak yang menggambarkan Sri Susuhunan Pakubuwono X dari Surakarta, tengah membaca surat kabar beraksara Jawa "Bromartani" pada awal abad ke-20. (Foto: JatimTIMES)

JATIMTIMES - Di tengah arus modernisme yang mulai membanjiri Hindia Belanda pada penghujung abad ke-19, sebuah babak baru dalam sejarah perjuangan nasional Indonesia perlahan namun pasti mengukir dirinya di atas lembaran-lembaran kertas cetak. 

Dalam ruang simbolik yang dijaga ketat oleh struktur kolonial, muncul figur langka yang memainkan peran ganda: seorang raja yang menjadi juru bicara bangsanya dalam diam, dan dalam diam itu pula, menyebarkan bara nasionalisme. 

Baca Juga : Siswa MTsN 2 Kota Malang Cetak Prestasi, Sukses Luncurkan Buku Berjudul Ayah, Izinkan Aku ke Kota

Dialah Sri Susuhunan Pakubuwono X, penguasa Kasunanan Surakarta yang dengan lihai memanfaatkan media cetak sebagai instrumen politik kultural.

Kelahiran Pakubuwono X pada Kamis Legi, 21 Rajab Tahun Alip 1795 atau 29 November 1866, merupakan titik awal dari takdir panjang yang akan membawanya menjadi raja Surakarta. Sejak usia tiga tahun, tepatnya pada 4 Oktober 1869, ia telah diangkat menjadi putra mahkota dengan gelar KGPAA Anom Amangkunegara Sudibya Rajaputra Narendra Mataram. 

Penobatannya sebagai raja berlangsung pada Kamis Wage, 12 Ramadhan Tahun Je 1822 atau 30 Maret 1893, dan secara resmi memakai gelar Sunan Pakubuwono X pada Kamis, 3 Januari 1901. Masa pemerintahannya berlangsung hingga wafatnya pada 2 Februari 1939.

Selama masa panjang pemerintahannya, Pakubuwono X tidak hanya menjadi simbol adat dan penguasa spiritual Mataram Islam di Surakarta, tetapi juga bertindak sebagai aktor aktif dalam lanskap media dan pergerakan nasional.

 Melalui jalur pers, ia secara simbolik menyalurkan aspirasi kebangsaan rakyat Jawa yang kala itu tengah berada dalam tekanan sistem kolonial yang ketat.

Era awal abad ke-20 menjadi titik balik sejarah nasionalisme Indonesia. Seperti yang dipaparkan Muhidin M. Dahlan dalam Seabad Pers Kebangsaan, para tokoh pergerakan mulai berpaling dari medan tempur fisik menuju perjuangan lewat media cetak. 

Pers menjadi kanal utama dalam penyebaran ide-ide kebangsaan. Dan dalam peta pergerakan itu, hampir semua figur sentral adalah tokoh pers. Mereka bukan hanya penulis, tetapi juga pemimpin redaksi, seperti H.O.S. Tjokroaminoto dengan Oetoesan Hindia, Ki Hajar Dewantara bersama De Express, Mohammad Hatta dan Sutan Sjahrir di Indonesia Merdeka, hingga Amir Sjarifuddin yang memimpin Banteng dan Daulat Rakyat.

Dalam konteks ini, peran Pakubuwono X menjadi istimewa. Ia bukan hanya memberi dukungan moral pada gerakan pers, tetapi juga membangun infrastruktur narasi kebangsaan melalui surat kabar lokal seperti Darmakandha. 

Surat kabar ini tidak hanya memuat kegiatan istana dan kraton, tetapi juga menampilkan wacana sosial-politik yang menjadi cerminan perubahan zaman. Pengangkatan pejabat, struktur administratif baru, hingga undangan pernikahan antara bangsawan, semuanya dipublikasikan dalam koran sebagai bagian dari upaya membentuk komunikasi dua arah antara kraton dan masyarakat.

Yang menarik, dalam beberapa kasus, kegiatan simbolik kerajaan—seperti penobatan Pakubuwono X, pelaporan aktivitas sosial kraton, dan interaksi antar-keraton seperti surat undangan dari Sultan Yogyakarta—disiarkan secara luas. 

Bahkan, Residen Belanda, W. van Vogel, mengiklankan secara resmi pengangkatan gelar Sunan untuk Pakubuwono X dalam De Nederlandsche Vlag (DNV) pada 21 Desember 1900. Ini menunjukkan bagaimana kraton mengakses dan memanfaatkan kanal media kolonial sebagai ruang diplomasi budaya dan politik.

Dalam situasi politik kolonial yang kompleks, strategi Pakubuwono X tampak halus, namun sarat makna simbolik. Ia tidak serta-merta melawan kekuasaan kolonial secara frontal, melainkan membentuk "jalan ketiga"—suatu bentuk perjuangan kultural berbasis simbol dan narasi. 

Bahasa Indonesia menjadi instrumen penting dalam proyek ini. Di tengah kondisi masyarakat yang mayoritas belum terdidik secara formal, bahasa media menjadi jembatan antara elite terdidik dan rakyat kebanyakan. Dengan cara ini, nasionalisme tidak hanya menjadi wacana elit, tapi mulai membumi di kalangan masyarakat luas.

Perhatian Pakubuwono X terhadap kaum tani juga terlihat dari berbagai pemberitaan di Darmakandha, yang mencatat pertanyaan-pertanyaan raja kepada Patih mengenai nasib petani. Tidak jarang pula surat kabar itu memuat ketentuan-ketentuan khusus yang berlaku di lingkungan kraton dan luar kraton. 

Misalnya, peraturan mengenai abdi dalem, serta pembatasan yang diberlakukan bagi kalangan bangsawan dalam rangka menyesuaikan diri dengan arus modernisasi. Salah satu contoh ialah aturan mengenai pemotongan rambut panjang bagi kalangan ningrat, yang sempat menuai protes namun tetap diberlakukan demi "politik simbolik".

Langkah-langkah Pakubuwono X tersebut mencerminkan pemahaman mendalam atas dinamika sosial-politik kolonial. Ia menyadari bahwa sebagai raja, ia bukan hanya pewaris takhta Mataram Islam, tetapi juga pemangku harapan rakyat Jawa dalam menghadapi dominasi kolonial. 

Oleh karena itu, berbagai kebijakannya dirancang dengan memadukan keluhuran adat, siasat simbolik, serta pemanfaatan media sebagai alat penyadaran kolektif.

Kuntowijoyo dalam artikelnya "Lari dari Kenyataan: Raja, Priyayi, dan Wong Cilik Biasa di Kasunanan Surakarta, 1900–1915", menegaskan bahwa Pakubuwono X telah menempuh jalan moderat dalam menghadapi Belanda.

 Meskipun hidup di tengah tekanan kolonial, ia tetap menjaga legitimasi kraton sebagai simbol kekuasaan tradisional sekaligus menjadikannya sebagai benteng kultural bagi identitas Jawa. Dalam posisi serba sulit itu, Pakubuwono X memilih menjadi mediator yang menjembatani masa lalu dan masa depan, tradisi dan modernitas, kekuasaan kolonial dan kebangkitan nasional.

Persoalan kebangsaan Indonesia memang berbeda dari India, Rusia, ataupun Inggris. Indonesia membangun kebangsaannya dari bahasa dan lembaran surat kabar. Jalan cetak ini yang menjadi pembeda khas, dan di situlah Pakubuwono X turut ambil bagian. 

Ia membiarkan dirinya disorot oleh media, bukan sebagai simbol absolut yang eksklusif, tetapi sebagai tokoh publik yang hadir dalam wacana bersama. Ia adalah raja yang juga redaktur simbolik dari wacana kebangsaan.

Hingga akhir hayatnya, Pakubuwono X tetap menjaga hubungan yang dinamis dengan media dan masyarakat. Ia tidak pernah mengisolasi kraton dari dunia luar. Bahkan ketika tekanan modernisasi semakin besar, ia tetap membuka diri terhadap perubahan, asalkan tidak merusak nilai-nilai kejawaan yang dijaganya. 

Dalam hal ini, Pakubuwono X dapat dipandang sebagai pelopor konservatisme progresif—sebuah pendekatan yang menghargai tradisi, namun tidak anti-modernitas.

Warisan Pakubuwono X tidak dapat dilihat semata-mata dari bangunan fisik atau kebijakan administratif. Warisan terbesarnya justru terletak pada bagaimana ia memaknai peran raja sebagai pemangku budaya, pelindung rakyat, sekaligus penjaga bara nasionalisme dalam bentuk paling halus: melalui kata-kata, simbol, dan surat kabar. 

Ia adalah representasi dari apa yang oleh sejarawan Benedict Anderson disebut sebagai "komunitas terbayang", di mana bangsa dibayangkan melalui praktik membaca yang melampaui batas-batas geografis dan sosial.

Baca Juga : Jadwal Putaran 4 Kualifikasi Piala Dunia 2026: Timnas Indonesia Siap Bertanding

Maka, ketika kita hari ini membaca kembali kisah Pakubuwono X, kita sesungguhnya sedang membuka lembaran lain dari sejarah kebangsaan Indonesia. Sejarah yang tidak lahir di medan perang, tapi di meja redaksi. Sejarah yang tidak bergema lewat tembakan senjata, melainkan lewat suara huruf-huruf yang dicetak dengan tinta nasionalisme. Dan dalam sejarah itu, Pakubuwono X berdiri sebagai penulis simbolik yang dengan diamnya telah menulis masa depan bangsanya.

Pakubuwono X, Bromartani, dan Nasionalisme

Media cetak memainkan peran penting dalam sejarah Indonesia sebagai sarana penyebaran ide nasionalisme. Salah satu contoh awalnya adalah surat kabar Bromartani, yang pertama kali terbit pada 29 Maret 1855 di Surakarta oleh Carel Frederik Winter dan putranya, Gustaaf Winter. Surat kabar ini menggunakan bahasa dan aksara Jawa krama inggil, serta menyajikan berita lokal, internasional, pengetahuan alam, pengumuman pemerintah, pertanian, cerita, dan jadwal transportasi.

Didukung oleh Pakubuwono VII, Bromartani menjadi rujukan penting di kalangan pelajar Institut Bahasa Jawa. Meski sempat berhenti terbit pada 1856, surat kabar ini kembali terbit beberapa kali, termasuk pada 1865 dan 1871, hingga bertahan sampai 1932. Dinamika tersebut mencerminkan dukungan aktif keraton terhadap pers lokal.

Pakubuwono X (1893–1939), raja yang dikenal progresif, meneruskan dukungan terhadap Bromartani dan media berbahasa Jawa lainnya sebagai bagian dari strategi modernisasi dan pelestarian budaya. Di masa pemerintahannya, Surakarta mengalami kemajuan sosial-budaya, termasuk pengembangan seni dan fasilitas umum.

Surat kabar Djawi Hiswara (1909–1919), yang didirikan Raden Martodharsono dan awalnya berafiliasi dengan Boedi Oetomo, juga berperan menyebarkan ide nasionalisme. Namun, pada 1918 surat kabar ini menerbitkan artikel satir yang menghina Nabi Muhammad, memicu kemarahan umat Islam dan melahirkan gerakan Tentara Kandjeng Nabi Muhammad (TKNM) di bawah Tjokroaminoto. Peristiwa ini menyoroti pentingnya tanggung jawab pers dalam membentuk opini publik.

Secara historiografis, dukungan Pakubuwono X terhadap media lokal mencerminkan peran keraton dalam menjaga identitas budaya Jawa sekaligus mendorong modernisasi. Bromartani menjadi bukti bahwa media cetak mampu berperan sebagai alat perjuangan budaya dan politik melawan dominasi kolonial.

Asal Usul dan Riwayat Singkat Pakubuwono X: Raja Jawa yang Visioner di Masa Penjajahan

Pakubuwono X merupakan sosok raja besar dari tanah Jawa yang menorehkan jejak panjang dalam historiografi Kesunanan Surakarta Hadiningrat. Lahir pada 29 November 1866 dengan nama kecil Raden Mas Sayidin Malikul Kusno, ia adalah putra dari Pakubuwono IX dan permaisuri KRAy Kustiyah. Sejak usia dini, tepatnya tiga tahun, Raden Kusno telah diangkat sebagai putra mahkota dengan gelar Kanjeng Gusti Pangeran Adipati Anom Hamangkunegara Sudibya Rajaputra Narendra ing Mataram.

Kenaikan takhtanya dimulai pada 16 Maret 1893, ketika ayahandanya wafat. Dua minggu kemudian, tepatnya 30 Maret 1893, ia resmi dinobatkan sebagai Susuhunan Surakarta ke-10, dengan gelar Sampeyan Dalem Ingkang Sinuhun Kanjeng Susuhunan Pakubuwana Senapati ing Ngalaga Abdurrahman Sayyidin Panatagama Khalifatullah Ingkang Jumeneng Kaping X.

Selama 46 tahun memerintah (1893–1939), Pakubuwono X menjelma sebagai raja yang tidak hanya menjunjung tinggi adat dan budaya, tetapi juga merangkul kemajuan dan modernitas. Di bawah kepemimpinannya, Surakarta mengalami era keemasan dalam bidang budaya dan pembangunan fisik.

Pakubuwono X dikenal sebagai pribadi yang cerdas, spiritualis, dan humanis. Julukan dari para abdi dalem, yaitu “Sampeyan Dalem Ingkang Minulya saha Wicaksana”, mengafirmasi sikap bijaksana dan kepeduliannya terhadap rakyat dan budaya. Ia menguasai ilmu pemerintahan, sejarah, wayang, tosan aji, seni karawitan, bahkan ilmu ghaib. Kegemarannya memainkan rebab, serta pengetahuannya dalam seni tari dan pedalangan, menjadikan Keraton Surakarta sebagai pusat kreativitas budaya yang tak tertandingi pada zamannya.

Di masa pemerintahannya, karawitan, tari-tarian, pedalangan, dan bentuk seni lainnya berkembang pesat. Banyak gending dan tari klasik keraton yang diciptakan atau disempurnakan di masanya. Tradisi gamelan, khususnya saat hari-hari besar kerajaan, dijadikan sarana pelestarian budaya sekaligus ritual adat yang tetap hidup hingga sekarang.

Di tengah tantangan kolonialisme, Pakubuwono X justru menorehkan prestasi besar di bidang pembangunan. Ia melakukan renovasi besar-besaran di lingkungan Keraton dan wilayah Surakarta, dengan menggabungkan arsitektur tradisional Jawa dan gaya Eropa. Hal ini dapat dilihat pada bangunan-bangunan seperti Argapura, yang atapnya menyerupai loji gaya Belanda, serta kehadiran patung-patung Eropa di lingkungan Sasana Sewaka dan Sasana Hadrawina.

Paduan ini menghasilkan estetika baru yang menjadikan keraton tampak lebih anggun dan megah, sebuah simbol kekuatan budaya dan keterbukaan terhadap modernitas.

Salah satu pencapaian paling mencolok pada masa Pakubuwono X adalah hadirnya listrik di Surakarta. Kota ini menjadi daerah pertama di Hindia Belanda yang terang benderang oleh penerangan listrik, jauh sebelum banyak wilayah lain tersentuh modernitas serupa. Penerangan ini dimungkinkan oleh kolaborasi antara Keraton, Kadipaten Mangkunegaran, dan para saudagar kaya yang membentuk perusahaan Solosche Electriciry Maatschappij (SEM).

Pada 19 April 1902, listrik dinyalakan untuk pertama kalinya di Surakarta, menjadikan kota ini hidup hingga malam hari dan memungkinkan berkembangnya hiburan malam seperti pertunjukan wayang di Taman Sriwedari secara semarak.

Selain itu, Pakubuwono X juga sangat terbuka terhadap pers dan informasi. Keraton menjadi pelanggan berbagai surat kabar, baik berbahasa Jawa, Melayu, maupun Belanda, seperti Neratja, Bromartani, Dharma Khanda, Sinpo, Soerabajaasch Handelsblad, De Niuwe Vorstelanden, Sedia Utama, hingga De Java Bode. Ini menunjukkan kepedulian sang raja terhadap wacana global dan intelektualisme.

Pakubuwono X adalah raja dengan daya adaptasi tinggi, yang tak hanya mempertahankan adat tetapi juga menjawab tantangan zaman dengan inovasi. Di satu sisi ia tetap memuliakan tradisi Jawa, sementara di sisi lain ia tak ragu mengadopsi unsur luar demi kemajuan keratonnya.

Pemerintahannya menjadi landasan penting dalam historiografi Jawa modern, memperlihatkan bagaimana seorang raja dapat menjembatani nilai-nilai tradisional dengan kemajuan zaman. Pakubuwono X wafat pada 22 Februari 1939, dan dimakamkan di Astana Imogiri, Yogyakarta.

Namun jejak langkahnya tetap hidup dalam bangunan, seni, dan kehidupan budaya Surakarta. Ia bukan hanya penguasa terlama dalam sejarah Surakarta, tapi juga simbol resiliensi budaya Jawa di bawah tekanan kolonialisme.

Melalui dedikasi dan visi besarnya, Pakubuwono X dikenang sebagai salah satu raja paling istimewa dalam sejarah Jawa. Seorang susuhunan yang tak hanya menjadi bayang-bayang masa lalu, melainkan cahaya penerang masa depan.