free web hit counter
Scroll untuk baca artikel
Kesehatan

Generasi Gawai di Ambang Kelelahan: Akademisi Soroti Krisis Kebugaran Anak

Penulis : Anggara Sudiongko - Editor : Yunan Helmy

13
×

Rencana Rilis PlayStation 6 Berpotensi Terungkap, Berkat Microsoft

Share this article
Stik Playstation
Ilustrasi anak obesitas.(Anggara/MalangTimes)

JATIMTIMES - Alarm merah berbunyi nyaring di tengah kemajuan teknologi yang membuai. Anak-anak usia sekolah dasar (SD) maupun remaja kini dihadapkan pada ancaman serius: krisis kebugaran yang nyata, sebuah fenomena yang perlahan namun pasti mengikis vitalitas generasi penerus. 

Angka-angka statistik tak dapat membohongi. Survei Kesehatan Indonesia (SKI) 2023 mencatat, 19,7 persen anak usia 5-12 tahun di Indonesia kini masuk kategori overweight dan obesitas.

Baca Juga : Lamajang Tigang Juru dan Situs Biting: Jejak Kerajaan Islam Tertua di Kaki Gunung Semeru

Bukan hanya itu. Analisis UNICEF pada tahun yang sama bahkan menunjukkan sekitar 14,8 persen remaja berusia 13-18 tahun juga menghadapi masalah obesitas.

Data dari worldobesitydotorg pun mengonfirmasi, tingkat obesitas anak di Indonesia mencapai 10,78 persen dalam rentang 1990 hingga 2022. Potret suram ini bukan lagi sekadar keluhan, melainkan gejala klinis dari gaya hidup pasif yang mengkhawatirkan.

1

Frendy Aru Fantiro MPd., dosen pendidikan jasmani dari pendidikan guru sekolah dasar (PGSD) salah satu kampus swasta di Malang menyoroti fenomena ini dengan cemas. Menurut dia, percepatan teknologi yang luar biasa dan pola asuh yang kurang tepat telah mendorong anak-anak pada pusaran gaya hidup sedentary, terlalu banyak duduk dan minim gerak.

Ini adalah fondasi rapuh yang membahayakan tidak hanya fisik, tetapi juga mental mereka. Generasi "Alpha" ini, sebutan untuk anak-anak yang lahir di era milenium ketiga, menghadapi tantangan berat karena lingkungan seolah enggan mendukung pembiasaan aktivitas fisik sejak usia dini.

Frendy mengamati, anak-anak masa kini lebih terpikat pada layar gawai mereka ketimbang asyik bermain di luar. Akibatnya, kurangnya aktivitas fisik ini berpotensi memicu serangkaian efek jangka panjang yang serius. "Mulai dari obesitas, gangguan postur tubuh, mudah sakit, hingga rentan terhadap stres dan kecemasan," tegas Frendy, (9/6/2025).

Ia menambahkan, jika dibandingkan dengan generasi sebelumnya, kini lebih banyak anak SD yang menderita obesitas, membutuhkan kacamata, dan cepat merasa lelah. Ini bukan lagi sekadar pengamatan, melainkan sebuah konfirmasi akan adanya krisis kebugaran anak yang tak bisa diabaikan. Bahkan, masalah gizi seperti anemia yang dialami 15,5 persen remaja dan pemuda usia 15-24 tahun, turut diperparah oleh pola makan tidak sehat dan rendahnya aktivitas fisik.

Untuk itulah, pendidikan jasmani di sekolah, menurut Frendy, ibarat sebuah pilar yang berdiri sendiri jika tidak ditopang oleh kebiasaan aktif sehari-hari di rumah. Ia merekomendasikan durasi aktivitas fisik minimal 30 menit setiap hari untuk anak prasekolah, dan 60 menit bagi anak usia sekolah dasar. Aktivitas ini tidak harus selalu berupa olahraga formal; bisa jadi sesederhana berjalan kaki, bermain bebas, atau bahkan membantu pekerjaan rumah tangga yang melibatkan gerakan fisik.

Ia menyarankan, aktivitas bersama seperti bersepeda atau berjalan kaki ke taman di akhir pekan bisa menjadi titik tolak perubahan gaya hidup seluruh anggota keluarga. Sayangnya, banyak orang tua belum menjadi teladan yang cukup. "Anak tidak akan bergerak kalau orang tuanya sendiri pasif. Orang tua harus memberi contoh, bukan hanya menyuruh," kritiknya.

Baca Juga : Cek Kriteria Peserta yang Lulus Seleksi Kompetensi PPPK 2024 Tahap 2

Lebih lanjut, Frendy juga mengkritisi sistem pendidikan yang saat ini menuntut anak-anak untuk terus belajar hingga sore hari, ditambah lagi dengan tumpukan les dan pekerjaan rumah. Beban kognitif yang masif ini, jika tidak diimbangi dengan gerak fisik yang memadai, justru akan berdampak negatif pada kesehatan mental anak.

Sebaliknya, ketika tubuh bugar, pikiran menjadi lebih fokus, suasana hati lebih ceria, dan daya ingat pun meningkat. Oleh karena itu, olahraga harus ditempatkan sebagai sebuah kebutuhan primer, bukan sekadar kegiatan ekstrakurikuler yang bersifat opsional.

Frendy menekankan bahwa dampak positif aktivitas fisik melampaui sebatas kebugaran jasmani; ia juga memberikan kontribusi signifikan terhadap pencapaian akademik anak. Penelitian telah membuktikan bahwa anak-anak yang rutin bergerak cenderung memiliki nilai akademik yang lebih baik, terutama pada mata pelajaran yang menuntut konsentrasi tinggi seperti matematika dan membaca.

"Jangan jadikan olahraga sebagai hukuman atau kewajiban berat. Ajak anak bermain, bergerak sambil mendengarkan musik, atau buat jadwal fisik yang ringan namun konsisten." tuturnya.

Terakhir, Frendy menyampaikan, agar orang tua dan pihak sekolah dapat berkolaborasi erat untuk menciptakan lingkungan yang mendorong anak-anak agar aktif bergerak. Sebab hal ini adalah investasi jangka panjang demi masa depan yang lebih sehat, bahagia, dan produktif. Ia mengingatkan sebuah adagium penting: "Orang sehat belum tentu bugar. Tapi orang bugar pasti sehat," pungkasnya.