JATIMTIMES - Di balik lebatnya hutan dan hamparan sawah hijau di Dusun Biting, Desa Kutorenon, Kecamatan Sukodono, Kabupaten Lumajang, berdiri reruntuhan sunyi yang menyimpan gema masa silam. Reruntuhan itu bukan sekadar timbunan bata kuno dan puing-puing tanah; ia merupakan saksi bisu dari kejayaan sebuah peradaban besar yang berakar dalam sejarah klasik Nusantara—yakni Kerajaan Lamajang Tigang Njuru, warisan langsung dari Dinasti Majapahit.
Dari Situs Biting inilah, penulis JatimTIMES mencoba menyingkap kembali jejak-jejak keluarga Sri Prabu Kertawijaya—Brawijaya V—yang telah lama terlupakan oleh masyarakat Lumajang itu sendiri.
Lamajang Tigang Juru — Dinasti Tua yang Terlupakan
Baca Juga : PLN UP3 Malang Tebar 900 Paket Daging Kurban, Wujudkan Kepedulian Sosial
Berdasarkan sumber-sumber naskah kuna seperti Negarakertagama, Pararaton, dan prasasti Mula-Malurung, diketahui bahwa Lamajang atau Lamajang Tigang Juru bukan sekadar wilayah administratif bawahan Majapahit, melainkan pusat kekuasaan yang pernah berdiri dengan otoritas tersendiri.
Nama “Tigang Njuru”—yang berarti “tiga arah”—menggambarkan orientasi kekuasaan Lamajang ke tiga wilayah utama: Lamajang di lereng barat Semeru, Madura di utara, dan Blambangan di timur. Kerajaan ini lahir dari pembagian kekuasaan antara Raden Wijaya dan Arya Wiraraja, tokoh sentral yang berasal dari Madura dan pernah menjabat Demung di istana Singasari. Menentang ekspansi Tantrayana ala Sri Kertanegara, Arya Wiraraja memilih membangun basis kekuatan sendiri yang lebih inklusif terhadap ajaran Islam dan struktur lokal di kawasan timur.
Setelah membantu Raden Wijaya mendirikan Majapahit, Arya Wiraraja diberi kuasa atas Lamajang. Ia membangun pusat pemerintahan di Biting dan menjadi raja pertama Lamajang Tigang Njuru. Menurut berbagai sumber, termasuk Kidung Panji Wijayakrama, Arya Wiraraja adalah seorang pemeluk Islam. Penolakannya terhadap praktik Tantrayana dan kedekatannya dengan jaringan dagang Islam memperkuat dugaan bahwa Islam telah masuk dalam struktur kekuasaan Lamajang sejak awal berdirinya kerajaan.
Setelah wafatnya, tampuk pemerintahan diwariskan kepada putranya, Sri Nararya Wangbang Menak Koncar, yang dimakamkan di kompleks situs Biting bersama ayahandanya. Menak Koncar juga dikenal dalam tradisi lisan masyarakat Lumajang sebagai penguasa yang memperkuat identitas Islam di wilayah ini.
Tahta selanjutnya dipegang oleh putranya, Arya Wangbang Pinatih I, yang dalam sejumlah sumber juga dikenal dengan nama Syaikh Manganti. Pada masa pemerintahannya, keterlibatan Lamajang dalam ekspedisi-ekspedisi militer Majapahit mulai tercatat secara nyata. Dinasti Pinatih ini kemudian menurunkan para bangsawan bergelar Pangeran Pinatih, salah satunya yang masyhur adalah tokoh sufi yang dikenal luas sebagai Syekh Manganti.
Syekh Manganti sendiri merupakan saudara kandung Nyai Ageng Pinatih, sosok pengasuh dan pembina spiritual Raden Paku—kelak dikenal sebagai Sunan Giri. Kedudukan strategis keluarga Pinatih dalam jaringan dakwah Islam di pesisir utara Jawa menunjukkan bahwa kekuasaan Lamajang berada dalam arus utama penyebaran Islam di Nusantara, dan tidak dapat dipisahkan dari perkembangan politik-keagamaan di kawasan tersebut.
Arya Wangbang Pinatih I kemudian digantikan oleh Arya Wangbang Pinatih II, dan setelahnya tahta berpindah ke Arya Menak Sumendi. Menak Sumendi memerintah di masa transisi penting ketika pusat kekuasaan Majapahit mengalami krisis suksesi setelah wafatnya Hayam Wuruk. Saat Wikramawarddhana naik takhta dan menghadapi konflik dengan Bhre Wirabhumi, Lamajang diintegrasikan ke dalam wilayah langsung Majapahit. Gelar raja pada penguasa Lamajang digantikan menjadi “adipati”, menandai berkurangnya otonomi wilayah ini.
Namun, pengaruh Lamajang tidak berakhir. Arya Tepasana, putra atau penerus Menak Sumendi, melanjutkan dinasti Lamajang dalam bentuk baru. Ia memiliki enam anak yang memainkan peran kunci dalam jejaring Islam Jawa. Putrinya, Nyimas Ayu Tepasari, menikah dengan Sunan Gunung Jati dari Cirebon dan menurunkan Sultan-sultan Cirebon. Putri bungsunya, Nyimas Ayu Waruju, menikah dengan Raden Mahmud dari Ampel dan menurunkan tokoh-tokoh penting seperti Nyai Wilis, Adipati Terung, Adipati Blitar, dan Adipati Sengguruh.
Jaringan pernikahan ini menunjukkan bahwa meskipun secara administratif kekuasaan Lamajang telah menjadi bagian dari Majapahit, secara budaya dan religius, para penguasanya tetap menjadi aktor penting dalam penyebaran Islam dan pembentukan aristokrasi Muslim Nusantara. Tradisi Islam di Lamajang menyebar melalui garis keturunan perempuan dan relasi strategis antardaerah.
Seiring berjalannya waktu, narasi tentang para penguasa Lamajang Tenggara ini mulai tergeser oleh dominasi sejarah Jawa sentris yang lebih menyoroti Majapahit dan Mataram. Padahal, para raja dan adipati Lamajang telah memainkan peran yang tidak kecil dalam membentuk lanskap politik dan religius di Jawa Timur dan sekitarnya.
Situs Biting yang menjadi pusat kerajaan kini menjadi situs arkeologi yang belum sepenuhnya digali potensinya. Sayangnya, pembangunan modern, seperti proyek Perumnas pada 1995, telah merusak sebagian wilayah situs. Hal ini menunjukkan bahwa pelestarian warisan sejarah masih menjadi tantangan serius, terutama jika menyangkut situs-situs yang tidak termasuk dalam arus utama historiografi nasional.
Melalui rekonstruksi sejarah para penguasa Lamajang Tigang Njuru, kita menemukan satu mata rantai penting dalam sejarah Islam dan kekuasaan lokal di Jawa. Dari Arya Wiraraja hingga Arya Tepasana, dari perlawanan terhadap Tantrayana hingga konsolidasi Islam dalam struktur keluarga bangsawan, Lamajang adalah cerita tentang peralihan zaman, diplomasi, dan kekuatan lokal yang tak bisa diabaikan.
Penemuan dan Penelitian Awal — Dari J. Magemen hingga Muhlenfeld
Meski keberadaan makam para tokoh Lamajang telah lama diketahui masyarakat sekitar dan diziarahi secara turun-temurun, namun dunia akademik baru mencatatnya pada pertengahan abad ke-19. Pada tahun 1861, seorang orientalis bernama J. Magemen menjadi tokoh pertama yang mencatat secara ilmiah situs Biting. Namun, Magemen bukan penemu situs itu—ia hanyalah peneliti pertama dari kalangan Eropa.
Penelitian lanjutan dilakukan oleh A. Muhlenfeld pada tahun 1920 yang mulai menggali dan mendokumentasikan temuan-temuan artefaktual dari situs tersebut. Meski hasil penelitiannya tidak pernah dipublikasikan secara besar-besaran, kontribusinya menjadi penting dalam mengawali pemetaan awal struktur kota kuno yang kini disebut sebagai Kraton Biting.
Barulah pada tahun 1982 hingga 1991, Kantor Pendidikan dan Kebudayaan Kabupaten Lumajang bekerja sama dengan Balai Arkeologi Yogyakarta melakukan proses penggalian arkeologis yang serius dan sistematis. Hasil dari sebelas tahap penggalian memperlihatkan bahwa kawasan Biting menyimpan struktur benteng bata setinggi 6 hingga 10 meter dengan panjang mencapai 10 kilometer dan lebar 4 hingga 6 meter. Suatu ukuran yang luar biasa untuk ukuran kota benteng era klasik Jawa.
Area situs ini membentang seluas kurang lebih 135 hektare, yang terbagi ke dalam enam blok utama. Wilayah terluas dikenal sebagai Blok Keraton, menjadi pusat utama dari keseluruhan situs. Di sekitarnya terdapat Blok Biting, Blok Randu, Blok Salak, Blok Duren, dan Blok Jeding, masing-masing memiliki peranan dan karakteristik yang berbeda dalam struktur tata ruang peninggalan masa lampau tersebut.
Temuan fragmen gerabah, keramik asing dari Tiongkok abad ke-14, dan sisa arsitektur bata membuktikan keberadaan kota kerajaan aktif yang eksis dari abad ke-14 hingga ke-20. Keberadaan artefak-artefak ini menguatkan identifikasi kawasan ini sebagai pusat pemerintahan masa Arya Wiraraja hingga keturunannya.
Keterhubungan Genealogis — Dari Sri Kertawijaya hingga Raja-Raja Muslim
Situs Biting dan kawasan Lamajang Tigang Juru memiliki signifikansi sejarah yang kuat karena keterkaitannya dengan garis keturunan para penguasa Majapahit, khususnya Sri Prabu Kertawijaya, Raja ke-7 Majapahit (bergelar Wijaya Parakramawarddhana, memerintah 1447–1451 M), yang juga dikenal dengan sebutan Brawijaya V.
Sri Prabu Kertawijaya merupakan putra dari Sri Wikramawarddhana dan Kusumawarddhani (putri Hayam Wuruk dan Sri Sudewi), yang dalam kekuasaan memegang gelar Bhre Lasem. Sri Wikramawarddhana sendiri adalah putra dari Singhawarddhana Bhre Paguhan, cucu dari Bhatara Kertawarddhana yang menikahi seorang selir bernama Citra Resmi atau Rani Paguhan, seorang perempuan muslim asal Paguwan—sebuah kawasan yang kini juga termasuk dalam kompleks situs purbakala Biting, Lumajang.
Dengan demikian, garis keturunan Sri Prabu Kertawijaya dapat ditelusuri secara langsung hingga ke leluhur Majapahit generasi awal. Ia merupakan putra dari Sri Wikramawarddhana, yang sebelumnya menjadi raja Majapahit menggantikan mertuanya, Hayam Wuruk. Wikramawarddhana sendiri adalah putra dari Singhawarddhana Bhre Paguhan, seorang bangsawan penting Majapahit yang merupakan anak dari Sri Kertawarddhana dengan selirnya bernama Citra Resmi, seorang perempuan muslim asal Paguwan. Melalui jalur keturunan ini, Sri Prabu Kertawijaya menjadi bagian dari mata rantai dinasti Majapahit yang tidak hanya kuat secara politik, tetapi juga membawa pengaruh kultural dan religius yang berakar dari kawasan Lamajang Tigang Juru—wilayah yang kini dikenal sebagai Lumajang, dengan peninggalan arkeologis utamanya berupa Situs Biting.
Dari keturunan yang sama pula lahir Maharani Suhita, kakak perempuan Sri Prabu Kertawijaya, yang naik takhta lebih dahulu dan memerintah sebagai ratu Majapahit antara 1429–1447 M.
Naiknya Wikramawarddhana sebagai Maharaja Majapahit menggantikan mertuanya, Sri Rajasanagara Hayam Wuruk, ditandai oleh tiga perubahan besar. Pertama, meletusnya Perang Paregreg akibat konflik perebutan kekuasaan antara dirinya dan Bhre Wirabhumi, adik iparnya, yang juga putra Hayam Wuruk dari selir. Kedua, dikeluarkannya Prasasti Patapan yang menandai pengakuan formal terhadap tanah perdikan untuk seorang janggan, yaitu pendeta lokal dalam ajaran Kapitayan yang juga dapat merujuk pada ulama Islam. Ketiga, berkembangnya sastra rakyat berbentuk kidung dari kawasan timur Majapahit seperti Kidung Sudamala, yang mencerminkan perubahan orientasi spiritual di masa kemunduran ajaran Syiwa-Buddha.
Baca Juga : Kisah Sahabat Malaikat Maut dan Tanda Kematian pada Uban Rambutnya
Pengaruh spiritual dan sosial yang berbeda ini juga tampak dalam arsitektur peninggalan anak-anak Wikramawarddhana, seperti Candi Sukuh dan Candi Cetho di lereng Gunung Lawu, yang bergaya unik dan menyimpang dari konvensi candi Hindu-Buddha Majapahit.
Sri Prabu Kertawijaya sendiri memiliki beberapa istri beragama Islam, dan dari keturunannya lahirlah sejumlah tokoh penting dalam sejarah Islam Nusantara. Mereka antara lain adalah Aria Damar (Adipati Palembang), Raden Patah (pendiri Kesultanan Demak), Bathara Katong (Adipati Panaraga), Ratu Adi Rani Pengging, Aria Lembu Peteng (Adipati Madura), Aria Lembu Sora (Adipati Sukadana), Raden Wangsaprana (bergelar Syaikh Belabelu), dan Raden Bondan Kejawen yang dikenal pula sebagai Ki Ageng Tarub.
Tak hanya melalui garis darah, Sri Prabu Kertawijaya juga menunjuk tokoh-tokoh Muslim ke jabatan strategis. Arya Teja diangkat sebagai Adipati Tuban, Arya Lembu Sura sebagai penguasa Surabaya, dan Sayyid Es (Syekh Suta Maharaja) sebagai Adipati Kendal. Sunan Ampel atau Ali Rahmatullah bahkan diberi kehormatan sebagai imam besar di Surabaya.
Langkah ini tidak hanya menunjukkan toleransi, melainkan juga strategi integrasi kekuasaan: dengan merangkul kelompok Muslim yang tengah berkembang, Majapahit tetap menjaga kestabilan di tengah ancaman disintegrasi.
Dengan demikian, Situs Biting bukan hanya menyimpan sejarah lokal Lumajang, tapi juga menjadi simpul penting dalam narasi transisi kekuasaan dari Hindu-Buddha ke Islam di Jawa.
Kawasan sekitar situs menyimpan banyak nama tempat yang memiliki nilai aetiologis penting. Nama “Biting” berasal dari kata Jawa Kuna biting yang berarti benteng. Nama Kutorenon, dahulu disebut Arnon (dalam Negarakertagama), berkembang menjadi Renon (Kawi: pasir/debu) dan kemudian secara lisan menjadi Ketonon (terbakar), mencerminkan pergeseran fonetik dan makna dalam memori kolektif masyarakat.
Nama-nama desa seperti Jogoyudan (Jaga Yuddha) menunjukkan fungsi militeristik. Desa-desa sekitar seperti Paguwan, Purwosono, Petahunan, Babakan, dan Sukorejo merupakan bagian integral dari zona administrasi dan keagamaan pada masa kerajaan. Paguwan, secara khusus, dikaitkan dengan asal-usul para selir dan istri raja, termasuk ibu dari Bhre Paguhan.
Situs Biting bukan sekadar situs arkeologis; ia adalah medan pembacaan ulang sejarah Jawa Timur dan bahkan Nusantara. Ia menunjukkan bahwa kerajaan-kerajaan besar seperti Majapahit tidak terpusat semata di Trowulan, melainkan menyebar dalam bentuk “kerajaan-kerajaan saudara” atau satelit seperti Lamajang.
Dalam lanskap historiografi Indonesia modern, Situs Biting harus ditempatkan dalam posisi strategis: sebagai bukti konkret eksistensi Lamajang Tigang Juru, warisan Sri Kertawijaya, dan sebagai simpul penting transisi menuju Islamisasi Jawa. Penelitian lebih lanjut dan konservasi serius harus dilakukan, termasuk menjadikan situs ini sebagai warisan budaya nasional yang terintegrasi dalam kurikulum pendidikan sejarah Indonesia.
Penulis berpendapat bahwa kita tidak boleh berhenti pada narasi-narasi besar dan tokoh-tokoh karismatik semata. Justru dari situs-situs sunyi seperti Biting, kita dapat membangun kembali fondasi sejarah yang sejati—sejarah rakyat, sejarah lokal, dan sejarah yang membentuk jati diri bangsa.
Situs Biting adalah saksi: bahwa jejak kejayaan tidak selalu tertulis di prasasti, tapi juga tersimpan dalam lapisan tanah dan ingatan yang diam.
Berikut narasi baru yang sudah disusun ulang secara utuh, naratif, dan tetap berdasarkan data lengkap historiografi yang Anda berikan:
Sri Prabu Kertawijaya: Menegaskan Identitas Brawijaya V dalam Historiografi Majapahit
Siapakah sebenarnya sosok Brawijaya V? Pertanyaan ini menjadi perdebatan panjang dalam historiografi Majapahit. Dalam banyak versi Babad Tanah Jawi dan tradisi lisan, Brawijaya V kerap disebut sebagai raja terakhir Majapahit yang digulingkan oleh Kesultanan Demak. Namun ketika menelusuri jejak sejarah berdasarkan sumber primer seperti Pararaton dan Prasasti Waringin Pitu, muncul nama-nama raja yang lebih kompleks dalam alur kepemimpinan Majapahit, dengan puncaknya pada Dyah Ranawijaya (Girindrawardhana) yang menaklukkan Bhre Kertabhumi pada 1478.
Sebutan "Brawijaya" sejatinya tidak ditemukan dalam prasasti atau dokumen resmi Majapahit. Istilah ini berkembang kemudian, melalui tradisi kronik dan babad Jawa yang menyematkan gelar simbolik kepada para penguasa Majapahit, khususnya dari kalangan laki-laki, yang memerintah pada masa akhir kejayaan kerajaan. Dalam kerangka silsilah simbolik ini, Raden Wijaya dikenal sebagai Brawijaya I, Jayanegara sebagai Brawijaya II, Hayam Wuruk sebagai Brawijaya III, dan Wikramawarddhana sebagai Brawijaya IV. Maka secara berurutan, Sri Prabu Kertawijaya lebih layak disebut sebagai Brawijaya V.
Sri Prabu Kertawijaya memerintah antara tahun 1447 hingga 1451 M. Ia adalah penguasa sah yang meneruskan garis legitimasi Majapahit di tengah fondasi kerajaan yang mulai rapuh. Menurut Pararaton, pemerintahannya berakhir tragis akibat pembunuhan yang dilakukan oleh penerusnya sendiri, Sri Rajasawarddhana (Dyah Wijayakumara), yang merupakan menantunya dan bergelar Bhre Pamotan.
Setelah kematian Sri Prabu Kertawijaya, Majapahit memasuki masa-masa yang sarat pergolakan. Rajasawarddhana sendiri naik takhta bukan di pusat Majapahit, melainkan di Daha (Keling-Kahuripan), sebuah isyarat akan mulai terpecahnya struktur kekuasaan. Pemerintahannya yang singkat digantikan oleh Hyang Purwawisesa, penguasa yang membuka ruang kompromi dengan tokoh-tokoh Islam di pesisir, seperti Raden Patah, Raden Kusen, dan Bhattara Katong.
Putra Hyang Purwawisesa, Bhre Pandansalas Dyah Suraprabhawa, kemudian mewarisi tahta dengan gelar Singhawikramawarddhana. Namun ia hanya bertahan dua tahun sebelum digulingkan dalam kudeta oleh Bhre Kertabhumi pada 1468. Bhre Kertabhumi inilah yang dalam banyak narasi populer dianggap sebagai Brawijaya V. Namun secara kronologis, jika penguasa-penguasa sebelumnya tetap dihitung, maka ia lebih tepat disebut sebagai Brawijaya IX.
Bhre Kertabhumi bukan hanya tidak memiliki posisi sebagai raja kelima setelah Hayam Wuruk, tetapi juga memerintah setelah serangkaian raja yang sah menurut sumber sejarah yang tersedia. Artinya, penempatan dirinya sebagai Brawijaya V merupakan kekeliruan historiografis yang berakar dari penyederhanaan tradisi lisan dan pengaburan kronologi dalam naskah-naskah babad.
Pemerintahan Sri Prabu Kertawijaya sendiri berlangsung dalam masa genting. Ia menyaksikan menguatnya pengaruh Islam di pesisir utara Jawa, terutama melalui sosok Sunan Ampel. Di saat bersamaan, Kesultanan Malaka tengah berkembang menjadi kekuatan maritim baru, yang mempercepat tergesernya hegemoni Majapahit dalam jaringan perdagangan regional.
Dengan latar itu, Sri Prabu Kertawijaya bukan hanya sekadar raja transisional, melainkan figur penting dalam fase awal kemunduran Majapahit. Ia mengemban kekuasaan dalam situasi yang kian rentan oleh konflik internal dan tekanan eksternal dari kerajaan-kerajaan Islam yang sedang tumbuh. Meskipun pemerintahannya hanya berlangsung selama empat tahun, posisi dan peran strategisnya menandai perubahan penting dalam sejarah imperium terakhir di Nusantara sebelum transisi ke masa Islam.
Oleh karena itu, dalam kajian historiografi yang ketat, penting untuk memilah antara mitos dan fakta. Berdasarkan sumber-sumber primer dan rekonstruksi kronologis yang lebih akurat, maka dapat ditegaskan bahwa Brawijaya V yang sejati adalah Sri Prabu Kertawijaya (1447–1451 M), bukan Bhre Kertabhumi (1468–1478 M) sebagaimana lazim dipercaya dalam tradisi populer.